Senin, 22 Oktober 2012

Mengukur Ketulusan Hati Seorang Guru

Ada seorang guru mengabdikan diri dengan menerima murid-muridnya belajar selepas maghrib di rumahnya.  Secara berkelompok murid-murid belajar bersama sang guru. Dengan ikhlas, di sela waktu istirahatnya, sang guru memberi pelajaran tambahan hingga isya’ menjelang.
.......................................
Selang beberapa saat kegiatan berlangsung murid yang belajar semakin berkurang. Sang guru heran, apa ada yang salah pada dirinya? Mencoba bercermin mengupas diri. Tak ada yang keliru. Dia tidak memungut biaya atas apa yang dilakukannya membimbing murid di malam hari. Tidak pernah sekalipun kata kasar terlontar menghadapi murid yang beragam kepandaian, bahkan bila saat ia berlebih rezeki, ia hidangkan roti dan makanan kecil lain untuk murid-muridnya. Kenapa?
Salah satu murid akhirnya bercerita bahwa sebagian murid takut belajar tambahan di malam hari karena sepulang belajar mereka selalu diganggu hantu penunggu pohon besar di pinggir kampung.  Sang guru berang, merasa siswanya terganggu haknya untuk meraih ilmu. Akhirnya selepas isya, setelah semua murid pulang, sang guru mendatangi hantu penunggu pohon besar.  Ditantangnya setan berkelahi karena telah mengganggu muridnya. Perkelahian seru tak terhindarkan, semangat membela hak muridnya mampu memompa semua kemampuan lahir bathin sang guru hingga dapat mengalahkan hantu penunggu pohon besar. 
Sang guru pun menang, makhlus halus penunggu pohon besar segera akan diusir dari tempatnya tinggal selama ini. Namun makhlus halus itu merayu sang guru untuk tetap bisa tinggal di pohon besar. Dia berjanji untuk tidak mengganggu murid-murid sang guru dan akan memberikan setumpuk uang dan emas yang akan diberikan esok hari di bawah tempat tidur sang guru selepas memberi pelajaran tambahan pada muridnya. Karena kebesaran hati sang guru, setan penunggu pohon besar diampuninya. 
Esok malam selepas maghrib banyak murid datang, karena pagi hari sudah diberitahu, setan penunggu pohon besar sudah kalah dalam pertarungan.
Riang gembira, suka cita mewarnai suasana belajar mereka. Sang guru merasa sangat bersyukur murid-muridnya dapat belajar tanpa diganggu rasa takut.Selepas isya’ mereka berpamitan.
Saat sang guru akan tidur dan merebahkan diri di pembaringan ia tersenyum, teringat pertarungannya degan setan penunggu pohon besar.  Semakin lebar senyumnya mengingat kemenanggannya. Tiba-tiba sang guru teringat akan janji setan penunggu pohon besar yang akan memberikan harta kekayaan atas kemenangannya. Tapi setelah dilihat di bawah pembaringannya ternyata tidak ada satupun emas dan uang seperti yang djanjikan.  Sang guru marah besar!
“Dasar setan tukang bohong! Penipu!” makinya.
Tanpa berpikir dua kali sang guru mendatangi setan penunggu pohon besar.  Ditagihnya janji setan penunggu pohon besar. Karena tetap ingkar akhirnya perkelahian terjadi.  Seru dan sengit! Melebihi pertarungan sebelumnya. Tapi kali ini sang guru tidak beruntung. Nafsu amarah dan keinginan atas harta menutup ketulusan hatinya, ia pun kalah.
***
Kisah di atas hanya sebuah illustrasi, bagaimana ketulusan hati seorang guru tiba-tiba dapat diukur hanya karena godaan materi atau harta. Motivasi agar muridnya bisa memperoleh ilmu darinya sebenarnya tak kalah hebat dengan motivasi dirinya untuk memiliki materi. Namun sayang, “Yang di Atas” justru tak mengabulkan keinginan yang kedua itu.
Bagaimana dengan Anda?
Mungkin  Anda tak peduli apakah ketulusan hati seorang guru selama ini terukur atau tidak? Atau bahkan tak mau tahu apakah diri Anda punya ketulusan hati  sebagai seorang guru? Namun kisah semirip di atas, bukan tak mungkin pernah terjadi pada Anda. Pada saat itu ketulusan hati Anda bisa nampak atau sebalik tidak nampak. Bisa terlihat makin dalam atau sebalinya kian dangkal bahkan telah hilang.
Apa sih ketulusan hati itu?
Ada yang beranggapan bahwa suatu ketulusan tidak bisa diukur dengan kata-kata, maupun bentuk materi . Satu ketulusan itu sebenarnya memang sangat sulit untuk digambarkan dan dilukiskan, karena suatu ketulusan akan dirasakan oleh perasaan (hati) yang melakukan tersebut apakah dia punya kepentingan atau memang benar-benar tanpa pamrih (ikhlas). Namun dari kisah tadi, ketulusan hati bisa memiliki beberapa dimensi.
Pertama, seseorang bisa dikatakan tulus jika ia melakukan sesuatu dengan bersungguh-sungguh. Ia sungguh-sungguh dalam mengemban tugas mendididik dan membimbing siswa meraih ilmu, keterampilan dan nilai-nilai hidup.
Kedua, ketulusan hati bermakna melakukan sesuatu tanpa berharap pamrih atau balasan jasa dari manusia. Ia ikhlas dan tulus melaku-kan itu dengan niat mendapatkan pahala keba-ikan. Adapun balasan itu semata dari Allah.
Ketiga, ketulusan hati bermakna keikhlasan untuk melakukan sesuatu atau berbuat. Ia mengerjakan sesuatu tanpa merasa dipaksa, dibebani, disuruh-suruh, atau bahkan diintimidasi. Ia melakukan sebuah pekerjaan atau apapun dengan kemauan dari hati. Dorongan yang utama datang dari dalam dirinya bukan dari luar semata.

Tetap Jaga Ketulusan Hati
Di zaman sekarang banyak godaan pada guru agar membuang jauh-jauh ketulusan hati.  Tuntutan dan realitas kebendaan bukan tak mungkin mengikis ketulusan seorang guru. Tuntutan ekonomi, status sosial, bahkan gengsi kerap menyeret guru untuk mencampakan nilai-nilai itu.
Di samping masih banyak guru yang tulus, tak sedikit pula yang kian berani bersuara lantang menuntut “pamrih” berupa gaji atau penghasilan yang layak. Puncaknya lahir sertifikasi guru, penghasilan bertambah.
Di satu sisi, sertifikasi guru adalah buah keikhlasan sebagian guru dalam menjalankan tugasnya, di sisi lain ada yang beranggapan inilah hasil ‘jeritan’ guru yang tak tahan berlama-lama bekerja tanpa pamrih, agar diberi “balasan jasa” yang manusiawi.   
Maka kini seolah ketulusan hati telah mulai terkikis, tergantikan oleh keinginan mendapat ‘balasan jasa yang cukup. Serrtifikasi (baca: kenaikan gaji) hampir menjadi tujuan, membutakan ikrar pendidik untuk membawa siswa menuju cita-cita.
Sertifikat profesi menjadi akhir dari perjalanan pendidik dalam karirnya.  Bahkan kegagalan dalam sertifikasi menjadi seperti ‘ingkarnya setan penunggu pohon besar atas janjinya’ yang harus langsung di protes dan didemo.  Kegagalan tidak lagi dijadikan cermin evaluasi untuk lebih mengembangkan diri.
Meningkatnya kesejahteraan pendidik dengan sertifikat profesi seharusnya akan menjadi janji untuk selalu berbuat profesional dalam mendidik seperti amanat UU No. 20 tahun 2003. Kenaikan gaji dari sertifikasi hendaknya dijadikan senjata untuk memperkaya kompetensi,  supaya siswa merasakan kenikmatan belajar dalam suasana menyenangkan, aktif dinamis dan dialogis.
Walau sudah mendapat sertifikasi ketulusan hati seorang guru  harus tetap tergambar dengan memberikan layanan terbaik kepada peserta didik-nya. Mampu menjadi mata air bagi peserta didik untuk menghilangkan rasa haus dan dahaga akan ilmu. Jeli melihat kebutuhan dan kondisi siswa.
Ketulusan hati diperlukan oleh seorang guru karena guru menghadapi benda hidup yaitu manusia. Ketulusan hati diperlukan oleh seorang guru karena guru yang baik itu bukan hanya pengajar tapi juga pendidik. Bukan hanya pelajaran atau pengetahuan, tapi juga moral agama dan sosial, di mana kesabaran dan ketulusan hati ada di dalamnya.
                                                                                                                 (agus ponda/ganesha)

Tidak ada komentar: