Kamis, 19 Mei 2011

OSN Bukti Kerasnya Daya Saing Siswa

Dalam satu bulan terakhir ini di seluruh Indonesia, marak dilangsungkan kegiatan Olimpiade Sains Nasional (OSN). Para siswa bersaing menjadi yang terbaik, di tingkat lokal, nasional bahkan internasional. Benarkah nilai plus dari kegiatan ini luar biasa?
..................................................
Tak terkecuali di Priangan Timur. Tepatnya di Kabupaten Ciamis. Disdik Kab. Ciamis baru-baru ini menggelar Olimpiade Sains Nasional (OSN). OSN untuk tingkat SLTA, bertempat di SMA Negeri 2 Ciamis.
Menurut Kasi Kurikulum SMA/SMK Dinas Kabupaten Ciamis, Dra. Laela Maya Nurhayati, M.Sc., kegiatan OSN ini sebagai salah satu upaya meningkatkan daya saing siswa dalam menyongsong masa depan bangsa.
“OSN tujuannya memotivasi siswa SMA untuk berkreasi dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan dan teknologi sesuai minat dan bakatnya.” ujar Laela.
Laela melanjutkan, Kegiatan Olimpiade Sains Nasional merupakan program Kemendiknas yang dilaksanakan secara berjenjang dari tingkat kabupaten/kota, tingkat Provinsi sampai tingkat Nasional. Di ajang inilah akan terlihat betapa kerasnya persaingan para siswa meraih tempat terbaik di daerahnya.
Kegiatan lomba ini menurut Laela, berlangsung selama 2 hari, dengan materi lomba, program studi IPA (Matematika, Fisika, Kimia dan Biologi) dan program materi IPS (Komputer, Ekonomi, Astronomi dan Kebumiaan).
“Lomba OSN ini melibatkan 29 sekolah tingkat SMA, dengan jumlah peserta lomba untuk program studi IPA 162 orang dan program studi IPS 164 orang”terang Laela.
Sementara itu dalam sambutannya Kasi SMA, Drs. H. Dede Hermawan, MM, mewakili Kepala Dinas Pendidikan Kab. Ciamis, menyambut baik kegiatan OSN dan mengucapkan selamat melaksanakan seleksi. “Semoga dengan terselenggaranya kegiatan lomba OSN ini dapat memacu meningkatkan semangat belajar anak didik sehingga lebih berprestasi” ungkapnya. Hadir pada pembukaan lomba OSN ketua MKPS dan jajaran pengawas Disdik Kab. Ciamis.

Bikin Bangga
Sejarah telah mencatat bahwa lewat ajang OSN telah melahirkan juara-juara sains Indonesia yang mampu menjadi juara di tingkat internasional untuk bidang Fisika, Matematika, Biologi, Kimia, Geosains dan Komputer.
Konon kegiatan OSN merupakan implementasi salah satu kebijakan pendidikan nasional yaitu peningkatan mutu, relevansi pendidikan dan peningkatan daya saing serta bertujuan untuk menjaring siswa-siswa yang unggul dibidang sains, menumbuh-kembangkan sikap kompetitif yang sehat di kalangan siswa dan memacu peningkatan mutu pendidikan di bidang sains dan teknologi. Melalui OSN diharapkan pula terbangun keseimbangan antara ilmu dan moral sehingga siswa memiliki integritas dan moral yang terbangun dari nilai kejujuran, kerja keras dan saling menghargai dalam setiap perlombaan.
Sementara itu Dirjen Manajemen Pendidikan Dasar Menengah (Mandikdasmen), Prof. Suyanto, pernah mengatakan bahwa OSN ini merupakan event besar yang dilaksanakan Depdiknas. "OSN ini luar biasa. OSN sangat dibanggakan oleh sekolah dan pelajarnya. Bahkan orang tua pun ikut bangga karena anak-anaknya ikut dalam OSN," jelasnya.

Perlu Dukungan Pemerintah Daerah
OSN saat ini bukan sekedar ajang kompetesi prestasi semata tetapi telah menjadi sebuah pertarungan prestise (kebanggaan) dari siswa, sekolah, dan daerah/propinsi. Prestasi yang dicapai di OSN berdampak luas, antara lain menjadi motivasi bagi siswa lain untuk lebih meningkatkan prestasi belajarnya, citra sekolah di mata masyarakat lebih meningkat, lebih prestisius dan tercipta budaya mutu untuk lebih meningkatkan kinerja dan prestasi sekolah. Prestise Dinas pendikan propinsi juga diperoleh lewat prestasi yang dicapai di OSN bahkan menjadi nilai plus dari sebuah keberhasilan kinerja dan proses pembinaan. Pada saat yang sama image daerah pun dengan sendirinya akan meningkat dan ini akan berdampak dalam peningkan kinerja di daerah.
Namun yang harus diperhatikan adalah komitmen dan good will dari semua pihak pada OSN ini. Bila ada dukungan penuh dari pemerintah daerah, tentu akan memberikan kontribusi yang berarti bagi pencapaian prestasi dan prestise daerah itu sendiri, sebaliknya, bila OSN murni hanya hajat dinas pendidikan/kemdiknas, tanpa dukungan pemerintah daerah, jangan banyak berharap hasilnya akan lebih optimal mengangkat nama daerah.
(nung/ap/gns)

Rabu, 11 Mei 2011

Guru Perempuan Kurang Berambisi Memimpin Sekolah

Yayasan Edukasia Plus baru-baru ini mengadakan Seminar dan Lokakarya, di Aula Dinas Pendidikan Provinsi Jabar. Dalam kegiatan tersebut salah satunya terungkap bahwa mayoritas tenaga guru di Indonesia terdiri dari kaum Hawa. Namun sayang mereka dinilai lemah dalam hal kepemimpinan. Bahkan hampir tak berambisi tampil menjadi pemimpin di lembaga pendidikan.
……………………………..

Masih dalam rangka memeriahkan hari Kartini dan Hardiknas, seminar dan lokakarya ini digelar. Tak tanggung-tanggung, narasumber seminar dan lokakarya ini menghadirkan, Ellin Rozana dari Institut Perempuan, Iwan Hermawan, S.Pd, MM dari FGII, Prof. Dr. K.H Miftah Faridl, Ketua MUI Jabar, dan Dr. Ir. Hetifah Sjaifudian, MPP anggota DPR RRI Komisi X, dengan mengambil tema “Dampak Partisipasi Perempuan di Ruang Public dan Politik Terhadap Kualitas Peradaban Bangsa”. Acara seminar ini di hadiri kalangan mahasiswa PLS UPI Bandung, LSM, Guru Paud dan organisasi Islam.
Menurut satu pengurus Yayasan Edukasia Plus, Dra. Lilis Hasanah, kegiatan ini bertujuan untuk mempersiapkan perempuan yang berkualitas serta memberikan pemahaman kepada perempuan yang berkiprah di dunia kerja, termasuk mereka yang disebut sebagai pendidik.
“Bagaimanapun perempuan itu, ada plus dan minusnya dalam kiprahnya sebagai wanita pekerja tetapi yang penting perempuan ketika memilih berkiprah di luar rumah supaya tidak melepaskan kodratnya sebagai perempuan,” jelas Lilis.
Menurut Lilis, bagi perempuan sekarang menjadi satu kebutuhan untuk mengaktualisasikan dirinya. Tidak ketinggalan pula ibu-ibu lansia dalam menghadapi tantangan globalisasi sekarang ini, tentu saja dengan kemampuan yang relative mereka miliki, perempuan bebas mengaktualisasikan dirinya.”Ketika perempuan berkualitas ,diharapkan menyiapkan anak-anak yang berkualitas pula”, terang Lilis.

Tak Ada Larangan Bekerja
K.H.Miftah Farid, menyoroti tentang eksistensi perempuan di segala bidang. Menurutnya setiap Allah berfirman selalu di dahului dengan kata-kata “hai orang-orang yang beriman” dan bahkan ketika turun perintah berjihad. Oleh karena itu yang mulia di sisi Allah adalah orang beriman baik perempuan atau laki-laki. Pria dan wanita harus maju tapi tidak keluar dari aturan karena Islam mempunyai aturan khusus bagi wanita dan laki-laki, bahkan bagi perempuan sangat diistimewakan.
“Kalau perempuan punya kemampuan yang lebih sesuai dengan disiplin ilmunya kenapa tidak diberikan jabatan kepadanya karena barang siapa menyerahkan pada sesuatu yang tidak sesuai dengan kemampuannya tidak pantas, maka tunggulah kehancurannya”,papar K.H. Miftah Farid.
Menurut K.H.Miftah Farid, banyak tokoh-tokoh pejuang Islam berasal dari kaum perempuan. Jadi tidak ada larangan khusus untuk seorang perempuan bekerja atau berniaga. Kalaupun tidak, perempuan itu bisa menjadi pendorong semangat buat suami dalam menunaikan kewajibannya mencari nafkah untuk keluarganya, atau mendidik anak-anaknya supaya menjadikan generasi yang unggul.
Sementara itu Dr. Ir. Hetifah Sjaifudian, MPP, memaparkan tentang estetika pembangunan. Menurut Hetifah, pembangunan itu untuk apa dan untuk siapa. Kalau tujuan pembangunan berperspektif perempuan berarti meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan perempuan, meningkatkan peranan perempuan dalam berbagai bidang pembangunan, memenuhi hak-hak dasar perempuan juga melindungi perempuan dari berbagai tindakan diskriminasi dan kekerasan.
Pemerintah pun mempunyai kebijakan untuk perempuan, yaitu dari peraturan perundangan berupa (UU, Kepres, NSPK, Permen, Kepmen) dari Kelembagaan (Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Komnas perempuan, Komisi perlindungan anak Indonesia dan P2TP2A), dari Penganggaran (Anggaran berspektif gender) dan Pendataan (penyediaan data terpilah).
Tapi pada kenyataannya masih kita jumpai perlakuan tak ramah pada perempuan di lapangan, sebagai contoh penyiksaan TKI Perempuan yang banyak terjadi di luar negeri. Di kantor perempuan belum banyak mendapatkan posisi strategis, dan di ranah politik pun perempuan masih di kotak-kotakan kaum pria. “Meskipun di sisi representasi ada peningkatan, di sini kita dilihat dari kematangan politik bukan gelar yang di ke depankan,” papar Hetifah.
Hetifah memberikan motivasi kepada perempuan untuk meningkatkan kualitas dirinya sehingga bisa menyaingi kemampuan para pria untuk bersama-sama bekerja demi kemajuan bangsa.

Di Ruang Publik & Politik
Sedangkan dari Institut Perempuan Ellin Rozana, menyampaikan mengenai peran perempuan merambah ruang publik dan politik. Menurut Ellin, awal mula peran perempuan di ranah politik adalah pada tahun 1928, ketika sekitar 30 organisasi perempuan mengikuti kongres perempuan di Yogyakarta yang di prakarsai oleh tiga tokoh perempuan Ibu Suwardi (Nyi Hajar Dewantara), Ni Suyatin dan Ny. Sukonto.
Menurut Ellin R.A. Kartini adalah pelopor idealisme. “Perlu kita hargai karena pada saat itu beliau sudah bisa membaca dan menulis bahkan mempunyai link teman-temannya di Belanda.” Kata Ellin.
Kata Ellin, latar belakang mengapa perempuan merambah ranah publik dan politik, tak lain agar mereka mampu mendorong program-program perempuan, mendorong lahirnya kebijakan yang melindungi perempuan dan menghormati HAM perempuan dan lainnya yang mengarah pada kemajuan dan penghargaan pada perempuan.
Namun sayang, lanjut Ellin, selama ini banyak hambatan atas partisipasi perempuan, diantaranya nilai-nilai patriarkis, pentafsiran ajaran yang bias patriarki, aturan hukum yang bias gender serta kendala-kendala kelembagaan yang masih menghalangi akses perempuan di ranah publik dan politik. Selain itu, juga banyak lagi kendala lainnya.

Mayoritas Guru, Perempuan
Dari Forum Guru Independen Indonesia, Iwan, menyampaikan permasalahan guru perempuan di Indonesia, menurut Iwan guru adalah pendidik professional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah.
“Jumlah guru yang dimiliki pemerintah sebanyak 2,7 juta guru dan 59%-nya adalah perempuan. Saat ini kalaupun masih ada diskriminasi pada guru perempuan lebih disebabkan karena faktor internal dan eksternal dari guru perempuan itu sendiri”, terang Iwan.
Iwan melanjutkan, dari sisi internal adanya paradigma berpikir yang konservatif atau masa bodoh dengan apa yang terjadi di lingkungan sekolah. Kurangnya mempelajari regulasi keguruan maupun pendidikan sehingga tidak mempunyai alasan untuk menuntut haknya, dan kurang adanya motivasi untuk berorganisasi. Dari eksternal adanya tata nilai agama, sosial budaya yang umumnya lebih mengutamakan laki-laki dari pada perempuan. Adanya bias budaya yang seolah-olah perempuan bukan sebagai pencari nafkah dan dilihat dari kemampuan fisik bahwa kaum wanita adalah kaum yang lemah. “Padahal dalam PP 74 tahun 2008, Guru mempunyai kesempatan untuk berperan dalam penentuan kebijakan pendidikan, dalam artian guru di sini guru laki-laki dan perempuan sama haknya,” ujar Iwan.
Akhirnya Iwan menyarankan kepada guru perempuan harus, memiliki paradigma berpikir kritis, menguasai regulasi keguruan dan pendidikan, harus mempunyai motivasi dalam berorganisasi dan berambisi merebut kepemimpinan di sekolah.
(nung/ganesha)

Hardiknas Pecahkan Rekor MURI

Peringatan hari pendidikan nasional (Hardiknas) pada tanggal 2 Mei 2011 terbilang istimewa. Pasalnya pada peringatan tersebut sekitar 12.250 beasiswa diberikan PT Jamsostek kepada pelajar berprestasi. Pemberian beasiswa sebesar ini akan memecahkan rekor MURI.
...............................................
"Kami membagikan sebanyak 12.250 beasiswa serentak di seluruh Indonesia pada peringatan Hardiknas kepada para pelajar berprestasi tingkat SD, SMP, SMA, dan perguruan tinggi," kata Sekjen Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas), Dodi Nandika, saat jumpa pers di Gedung Kemdiknas, Jl Jenderal Sudirman, Jakarta.
Dodi menjelaskan usai upacara peringatan Hardiknas ada MoU Kemendiknas dengan Microsoft dan Intel, penyerahan bantuan PT Proton Edar Indonesia ke SMK, di samping penyerahan beasiswa PT. Jamsostek.
Ia memastikan bahwa secara keselutuhan rangkaian kegiatan Hari Pendidikan Nasional tahun ini melibatkan peran swasta.
Selain itu, acara dengan tema 'Pendidikan Karakter Sebagai Pilar Kebangkitan Bangsa' ini pun mengangkat duta-duta pendidikan nasional guna memajukan dunia pendidikan di Indonesia.
"Mendiknas Mohammad Nuh juga menyerahkan arsip Kemdiknas ke arsip Nasional, dan pengukuhan duta-duta pendidikan. Orang-orang tersebut tidak harus dari public figure, tapi yang paling penting harus punya komitmen yang jelas terhadap jalannya pendidikan informal maupun informal. Serta kami akan memberikan apresiasi terhadap institusi yang memajukan dunia pendidikan," kata pria berkaca mata ini.
Rangkaian kegiatan lainnya adalah penyerahan Ensiklopedia Penerbangan PT Garuda Indonesia, peluncuran Sabak Elektronik PT Balai Pustaka.
Kata Dodi, tujuan peringatan, adalah memperkuat komitmen seluruh pemangku kepentingan pendidikan tentang pentingnya/strategisnya pendidikan bagi peradaban dan daya saing bangsa. Selain itu, sebagai pencanangan pendidikan karakter dan Gerakan Pendidikan Anak Usia Dini dalam rangka mempersiapkan 100 Tahun Indonesia Merdeka (2045).
"Tujuan lainnya untuk mengkomunikasikan atau mensosialisasikan kebijakan dan hasil-hasil pembangunan pendidikan nasional."
Menurut Dodi, Hardiknas yang diperingati setiap tanggal 2 Mei tidak semata dimaksudkan untuk mengenang hari kelahiran Ki Hajar Dewantara, selaku Bapak Perintis Pendidikan Nasional. Namun lebih merupakan sebuah momentum untuk makin memperkokoh kesadaran dan komitmen bangsa akan pentingnya pendidikan bermutu bagi masa depan bangsa.
"Jadi tidak sekedar memperingati tokoh, itu sekedar pijakan awal, tetapi lebih penting upaya kita mengingatkan pentingnya pendidikan bermutu bagi bangsa," katanya.
Dodi menjelaskan, peringatan Hardiknas di lingkungan Kemdiknas dilangsungkan pada 2 Mei 2011 pukul 7.30-9.00 WIB. Kegiatan dirangkai dengan pemberian Satya Lencana Karya Satya kepada 84 pegawai di lingkungan Kemdiknas, yang berdedikasi mengabdikan diri dengan masa kerja 10,20, dan 30 tahun.
Untuk memeriahkan acara tersebut, berbagai acara akan digelar. Diantaranya lomba-lomba ilmiah serta pameran pendidikan.
"Ada juga nyekar ke Makam Ki Hajar Dewantara di Yogyakarta," tutupnya.
Selain itu Mendiknas menghimbau agar Gubernur/Bupati/Walikota juga berkenan melakukan ziarah ke taman makam pahlawan di wilayah masing-masing.

Pendidikan Karakter
Sementara itu menurut Mendiknas, Muhammad Nuh, Pendidikan karakter menjadi tema peringatan Hari Pendidikan Nasional tahun ini.
“Tema peringatan Hardiknas tahun ini adalah Pendidikan Karakter sebagai Pilar Kebangkitan Bangsa. "Subtema adalah Raih Prestasi, Junjung Tinggi Budi Pekerti,” kata Nuh.
Mendiknas mengatakan, pendidikan karakter tidak hanya untuk membangun karakter pribadi berbasis kemuliaan semata, tetapi secara bersamaan juga bertujuan membangun karakter kemuliaan sebagai bangsa, yang bertumpu pada kecintaan dan kebanggaan terhadap bangsa dan negara.
Dengan tema tersebut, peringatan Hardiknas diharapkan tidak hanya sebagai kegiatan seremonial seperti biasanya, tetapi harus diwujudkan dalam kegiatan nyata.
Ditambahkan Mendiknas, Hardiknas adalah upaya mengampanyekan pentingnya pendidikan bermutu bagi kejayaan bangsa. "Mudah-mudahan, segala upaya dunia pendidikan menjadi bagian dari masyarakat luas," kata M.Nuh.
Selain itu, peringatan Hardiknas tahun ini juga bertujuan untuk menggugah komitmen seluruh pemangku kepentingan pendidikan untuk mencanangkan pendidikan karakter. Kemdiknas mencanangkan pendidikan karakter melalui gerakan pendidikan anak usia dini (PAUD) sebagai persiapan menyambut 100 tahun kemerdekaan Indonesia serta mengomunikasikan kebijakan dari hasil pembangunan pendidikan nasional. Acara puncak peringatan tersebut akan dilaksanakan pada 20 Mei mendatang di JICC Expo, Kemayoran, dan rencananya akan dihadiri oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
(gns/dari berbagai sumber)

Kelas Ribut? Jangan Melulu Salahkan Siswa!

Tak jarang terjadi, saat jam pelajaran berlangsung suasana kelas malah ribut. Siswa banyak bicara atau bergerak tak sesuai tujuan pengajaran. Guru jengkel, siswa pun disalahkan.
.....................................
DALAM konsep pembelajaran dikenal prinsip bahwa semua pengajaran pasti bertujuan. Ini berarti bahwa dalam proses pembelajaran harus diupayakan agar semuanya bertujuan bagi terselenggaranya pembelajaran yang efektif, baik yang terkait dengan komunikasi maupun benda-benda di kelas.
Masalah timbul ketika didapat siswa ribut di dalam kelas. Guru harus bijaksana, mungkin siswa ribut biasanya ada sesuatu yang tidak beres dengan proses pembelajaran yang diselenggarakan oleh guru. Atau, ada sesuatu yang lebih menarik bagi siswa dibanding proses pembelajaran. Itu sebabnya, maka hal yang membuat siswa lebih tertarik itu harus didayagunakan untuk mendukung proses pembelajaran.
“Guru harus mampu membaca suasana hati siswa ketika mengajar, kemudian menyesuaikan aktivitas pembelajaran dengan suasana hati siswa. Ini penting, agar proses pembelajaran berlangsung mulus,” ujar Heni, seorang guru Ciamis saat dimintai pendapat.
Menurut Heni, idealnya, guru menyesuaikan proses pembelajaran dengan suasana hati setiap siswa di kelas. Namun ini agaknya tidak mungkin. Oleh karena itu cukuplah jika guru menyesuaikan proses pembelajaran dengan suasana hati sebagian besar siswa di kelas.

Manajemen Kelas Ala Carolyn
Berkaitan dengan ‘tidak beresnya’ sebuah kelas, pakar manajemen kelas, Carolyn Evertson, membedakan antara intervensi minor dan moderasi dalam menangani perilaku siswa bermasalah.
Menurut Carolyn, beberapa masalah hanya membutuhkan intervensi minor atau kecil. Masalah-masalah yang kerap muncul biasanya mengganggu aktifitas belajar di kelas. Misalnya, murid mungkin ribut sendiri, meninggalkan tempat duduk tanpa ijin, bercanda sendiri, memainkan HP, atau memakan permen di kelas.
“Strategi yang efektif antara lain guru harus menggunakan isyarat non verbal.
Jalin kontak mata dengan siswa. Kemudian beri isyarat dengan meletakkan telunjuk jari di bibir anda, menggeleng kepala, atau menggunakan isyarat tangan untuk menghentikan perilaku tersebut,” kata Carolyn.
Dalam kondisi itu guru harus terus melanjutkan aktifitas belajar.
Lanjut Carolyn, biasanya terjadi suatu jeda dalam transisi aktifitas dalam kegiatan belajar mengajar, di mana pada jeda tersebut murid tidak melakukan apa-apa. Pada situasi ini, siswa mungkin akan meninggalkan tempat duduknya, mengobrol, bercanda, dan mulai ribut. “Strategi yang baik adalah bukan mengkoreksi tindakan mereka, tetapi segera melangsungkan aktifitas baru berikutnya,” pesannya.
Fenomena yang paling sering dilakukan guru adalah mendekati siswa yang ribut.
Saat siswa mulai bertindak menyimpang. Guru cukup mendekatinya, maka biasanya dia akan diam.
Penting pula guru terus mengarahkan perilaku siswa. Jika siswa mengabaikan tugas yang diperintahkan guru, sebaiknya siswa diingatkan tentang kewajiban itu. Guru bisa berkata, “Baiklah, ingat, semua harus menyelesaikan soal matematika ini.”
Suasana ribut juga bisa muncul ketika siswa melakukan kesalahan kecil saat tidak memahami cara mengerjakan tugas. Untuk mengatasinya guru harus memantau siswa dan memberi petunjuk jika dibutuhkan.
Selanjutnya, Carolyn pun memberi tips yang agak tegas. Para guru bisa menyuruh siswa berhenti dengan nada tegas dan langsung menjalin kotak mata dengan murid, dan bersikap asertif agar siswa menghentikan tindakannya.
“Buat pernyataan, singkat dan pantau situasi sampai murid patuh. Strategi ini bisa dilakukan dengan mengkombinasikan strategi mengarahkan perilaku murid. Penting pula siswa diberi pilihan. Berilah siswa tanggung jawab dengan memilih dua pilihan, bertindak benar atau menerima konsekuensi negatif. Beri tahu siswa apa tindakan benar itu dan apa konsekuensi bila melanggar,” kata Carolyn.
Carolyn mengingatkan, situasi “lebih gawat” bisa terjadi di dalam kelas. Untuk itu guru harus melakukan intervensi moderat. Beberapa perilaku siswa yang salah membutuhkan intervensi yang lebih kuat ketimbang yang baru saja dideskripsikan pada intervensi minor di atas, misalnya, ketika siswa menyalahgunakan aktifitasnya, mengganggu, cabut dari kelas, mengganggu pelajaran, atau mengganggu pekerjaan murid lainnya.
“Strategi yang bisa dilakukan, banyak pilihan, misalnya jangan memberi privilege atau aktifitas yang mereka inginkan. Bila guru memperbolehkan murid untuk berkeliling kelas atau mengerjakan tugas dengan siswa lain dan ia malah menyalahgunakan privilege yang guru berikan atau mengganggu pekerjaan temannya, maka guru bisa mencabut privilege-nya,” kata Carolyn.
Selain itu guru dan siswa dapat membuat perjanjian behavioral. Atau membuat perjanjian yang bisa disepakati oleh semua siswa. Perjanjian ini harus merefleksikan masukan dari kedua belah pihak, yaitu guru dan siswa. Jika muncul problem dan siswa tetap keras kepala, guru bisa merujuk pada kesepakatan bersama yang telah dibuat.
“Bila cara-cara tadi belum juga ampuh, pisahkan atau keluarkan siswa dari kelas. Ini dapat dilakukan bila siswa tidak mengindahkan peringatan, “Anda bisa memisahkan ia dari siswa di sekitarnya ataupun mengeluarkannya dari dalam kelas,” kata Carolyn. Cara ampuh lainnya, mengenakan hukuman atau sanksi. Namun ia mengingatkan, menggunakan hukuman sebaiknya tidak melakukan tindakan kekerasan, tetapi bisa dilakukan dengan memberikan tugas mengerjakan soal atau menulis halaman tambahan.

Trik Lain
Dalam sebuah tulisan di www.gurusukses.com, ada beberapa trik lain bagaimana mengatasi keributan yang tak diinginkan di dalam kelas. Pertama, masukilah dunia siswa. Guru dapat memasuki dunia siswa dalam pembelajaran melalui pertanyaan pancingan yang mengarah pada sesuatu yang sedang menjadi topik perbincangan siswa. Atau, guru mencermati apa yang sedang menarik perhatian siswa, kemudian membicarakan sesuatu yang menarik dari apa yang diperhatikan siswa tersebut. Sebentar saja. Tujuannya adalah untuk membawa siswa kepada pelajaran.
Selanjutnya, mencari hubungan apa yang diperbincangkan tadi dengan materi pelajaran, sehingga siswa memberikan perhatian kepada pelajaran. Namun jangan dipaksakan! Jika sebentar saja perhatian siswa kembali ke hal di luar pelajaran, maka berarti pelajaran hari itu memang tidak menarik bagi siswa.
Dalam situasi seperti ini guru harus cerdas dan kreatif untuk mengubah pelajaran yang tidak menarik itu menjadi menarik bagi siswa. Guru harus menemukan, apakah karena metode yang tidak tepat, materi yang terlalu sulit, komunikasi yang monoton tidak menginspirasi, atau karena tidak digunakannya media pembelajaran yang sesuai?
Apabila sudah ditemukan penyebab tidak menariknya pelajaran bagi siswa (kalah menarik dibandingkan dengan situasi di luar kelas), maka segera temukan solusinya, dan terapkan dalam pembelajaran. Guru akan menemukan bahwa sebenarnya tidak sulit mengelola situasi di kelas agar fokus pada pembelajaran ketika seorang guru memang sudah mencintai pekerjaannya, mencintai murid-muridnya, dan berkomitmen untuk memberikan yang terbaik bagi kemajuan dan keberhasilan murid-muridnya. Selamat mencoba!
(gns/dari berbagai sumber/nt)

Agar Siswa Betah Menimba Ilmu

Menyulap Sekolah Jadi “Rumah”
Cerita anak yang bolos, malas berada di sekolah boleh jadi muncul lantaran si Anak merasa tak nyaman di sekolah. Sekolah malah menjadi tempat yang dirasa ‘menyiksa” bagi anak. Sekolah harus didesain layaknya sebuah rumah yang bikin betah penghuninya. Bisakah?
……………………………………..

Menyulap sebuah sekolah menjadi rumah, bukan dari segi desain, bukan pula dengan makan, mandi dan tidur di sekolah. Tapi atmosfer, suasana, feel at home, itu yang harus tercipta. Bukankah guru di sekolah adalah orangtua kedua bagi anak-anak didik?
Menurut Muhammad Muhransyah, dalam tulisannya di sebuah media massa, di mana pun anak-anak bersekolah, baik di desa, maupun di kota, yang berbahasa asing atau bahasa kita sendiri, semua itu sesungguhnya bukanlah penentu apakah anak akan terdidik dengan baik atau tidak. Banyak hal yang lebih penting dari nilai-nilai realistis, bahwa sekolah bukan hanya ditentukan nilai yang tinggi. Tentu penekanan aspek psikologis dan nilai-nilai humanis lebih dikedepankan.
“Jangan sampai ketika bel tanda pelajaran dimulai, anak-anak masuk ke kelas dengan muka tegang, kaku dan tanpa semangat. Sebaliknya saat bel istirahat atau bel pulang menjadi dewa penolong dan penyelamat mereka dari sekolah. Mereka berlarian keluar dengan mimik muka cerah dan ceria. Jangan seperti itu, “ kata Muhransyah.
Sekolah idealnya menjadi tempat di mana anak-anak memulai pelajaran dengan muka ceria, semangat dan penuh antusias, dan ketika bel pulang adalah saat-saat berpisah yang menyedihkan.

Beberapa Sebab
Konsep sekolah yang dapat membuat betah para siswa seperti apakah yang diinginkan para orangtua siswa?
“Buat saya sekolah itu bisa membuat anak kita happy, baik itu ketika mau berangkat dan sepulang sekolah. Faktornya bisa begitu karena dua hal, fasilitas dan sistem pembelajarannya,” kata Santi Maulizal, seorang ibu di Jakarta.
Sementara itu menurut Muhammad Fajri, dalam vhajrie27.wordpress.com, saat ini,, khususnya di Indonesia sekolah tak sedikit yang sudah tidak menjadi tempat yang menyenangkan bagi siswa. Kekeluargaan, kasih sayang, kebebasan berekspresi diri siswa, sedikit demi sedikit mulai menghilang. Hal itu diakibatkan oleh banyak faktor.
“Pertama, ketika guru dengan segala otoritasnya menjadi galak dan memandang siswa sebagai objek. Kedua, ketika guru memandang siswa sebagai tabularasa (kertas kosong) sehingga harus dicorat-coret dengan seenaknya. Saat itu pulalah terjadi ketidaksejajaran antara siswa dan guru sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan.” Ujarnya.
Faktor selanjutnya, ketika proses pembelajaran dari awal hingga akhir dikuasai sepenuhnya oleh guru. Hal ini membuat siswa kehilangan kebebasan mengekpresikan siapa dia sebenarnya. Kemudian lingkungan fisik sekolah, baik di dalam kelas maupun lingkungan sekolah menjadi tempat yang tidak enjoy bagi siswa. Lingkungan sekolah yang kaku dan penataan kelas yang terlihat kumuh dan monoton membuat siswa tidak betah di lingkungan sekolah.
“Dan terakhir, adalah peraturan sekolah yang ketat. Artinya peraturan sekolah yang memiliki aturan detail yang menuntut banyak kepada siswa membuat siswa ingin lari dari kanyataan.” Jelas Muhammad Fajri.
Beberapa faktor di atas lanjut Muhammad Fajri, akan membuat siswa tidak enjoy di sekolah. Siswa merasa sekolah bukan lagi tempat yang menyenangkan untuk belajar. Siswa akan memilih pergi meninggalkan (membolos) kelas sebagai tindakan protes mereka terhadap perilaku guru, proses pemelajaran, disiplin yang ketat maupun lingkungan sekolah yang kurang bersahabat.
“Nantinya siswa mencari tempat di luar sekolah yang cukup aman untuk mengeks-presikan dirinya secara bebas tanpa harus dikontrol dan ditekan secara otoriter oleh siapa pun. Siswa secara berkelompok mereka akan mencari tempat yang enjoy seperti ke mal, duduk-duduk di jalanan atau di jembatan, atau tempat-tempat lain yang cukup aman bagi mereka.” Katanya.
Dampak akhirnya yang sangat tidak diharapkan, sesuai dengan perkembangan individu, ketika siswa merasa aman di luar sekolah, dia bisa mengekpresikannya melalui hal-hal yang negatif seperti, minum-minuman keras, penggunaan obat-obat terlarang, dan bahkan perkelahian.

Tak Perlu Biaya Mahal
Untuk membuat sekolah sebagai istana belajar siswa yang mengasyikan, tidak terlalu membutuhkan biaya dan tenaga yang begitu banyak. Sehingga minimal dengan adanya menejemen berbasis sekolah, pihak sekolah memiliki kewenangan penuh untuk menjadikan lingkungan sekolah, guru dan pembelajaran yang menyenangkan bagi siswa, sehingga siswa tidak banyak keluar membolos atau mencari tempat-tempat yang lebih aman baginya.
Selain itu pihak Dinas Pendidikan Daerah berperan penting, terutama dalam membuat peraturan-peraturan umum tentang sekolah. Sehingga sekolah menjadi benar-benar tempat menyenangkan bagi anak didik dapat terwujud. Dalam kaitan ini, menurut UNESCO, ada empat pilar pendidikan yang harus dijalankan sekolah yakni learning to know (belajar mengetahui) learning to bicame him/herself (belajar hidup), learning to do (belajar bekerja), dan learning to live together (belajar hidup bersama).***
(apon/dari berbagai sumber)

Masih Banyak Guru ‘Sakti’ di Sekitar Kita

Mengajar Tanpa Persiapan
Kesaktian tak hanya dimiliki para pendekar/jawara di masa lalu atau mereka yang ahli ilmu beladiri. Para guru pun di zaman millenium justru tak sedikit yang ‘sakti madraguna.’ Seperti apakah para guru sakti tersebut?
………………………………………………………....

Di masa kini masih banyak dijumpai, guru dalam mengajar, tidak lebih dari mengandalkan apa yang di kepala. Singkatnya tanpa persiapan pun berani masuk kelas. Guru-guru ini merasa ‘hebat’ untuk materi yang akan diajarkan.
Menurut Thomas Rosid, seorang mantan Ketua MGMP Bahasa Inggris SMK di Semarang, para guru seperti itu mewarisi kesaktian dari ‘masa lalu’ yang terus melekat. Atau lebih keren disebut ‘guru sakti’.
“Para guru sakti ini mengajar siswa terbiasa dengan tangan kosong. Karena sangat saktinya ia tidak perlu membawa apapun ke kelas. Siswa pun terkesima dengan kesaktian sang guru. Padahal, alhasil guru hebat seperti itu ternyata menghasilkan siswa sekarat,” ujar Rosid serius.
Rosid menyayangkan, masih banyak guru sakti di zaman sekarang. Padahal seharusnya sudah semakin punah. Guru sakti semacam itu tak perlu dilestarikan. Sebab guru sakti seperti itu malah tidak dianjurkan oleh ‘pakem’ mengajar jaman sekarang.
Seorang penulis di website juga dengan kritis menyorot guru-guru sakti. Charlest Sibudeak Naso mengungkap, banyak guru mengajar tanpa persiapan.
“Apa jadinya? Pastilah situasinya ‘amburadul’. Guru macam itu tak bisa fokus pada tugas, pelajaran tidak menarik, dan suasana kelas kacau!” kata Charlest, geregetan. Guru sakti, tetap menjadi fenomena lama yang terus ada.
Padahal para guru tahu, bahwa tugas guru yang paling utama adalah mengajar, dalam pengertian menata lingkungan agar terjadi kegiatan belajar pada peserta didik. Namun berbagai kasus menunjukkan bahwa di antara para guru banyak yang merasa dirinya sudah dapat mengajar dengan baik, meskipun tidak dapat menunjukkan alasan yang mendasari asumsi itu. Asumsi keliru tersebut seringkali menyesatkan dan menurunkan kreatifitas, sehingga banyak guru yang suka mengambil jalan pintas dalam pembelajaran, baik dalam perencanaan, pelaksanaan, maupun evaluasi.
Kalau kita sedikit mau berteori, menurut para ahli pendidikan, resep keberhasilan proses belajar-mengajar sebenarnya sederhana saja, yaitu: (1) guru siap mengajar, dan (2) siswa siap belajar. Sayangnya, meskipun sederhana, tidak semua bisa melakukannya. Oleh karena itu, jangan heran kalau tidak semua proses belajar dapat berjalan dengan baik.

Pentingnya Persiapan Mengajar
Dalam kaitannya dengan perencanaan, guru dituntut untuk membuat persiapan mengajar yang efektif dan efisien. Namun dalam kenyataannya, dengan berbagai alasan, banyak guru yang mengambil jalan pintas dengan tidak membuat persiapan ketika mau melakukan pembelajaran, sehingga guru mengajar tanpa persiapan. Mengajar tanpa persiapan, di samping merugikan guru sebagai tenaga profesional juga akan sangat mengganggu perkembangan peserta didik. Banyak perilaku guru yang negatif dan menghambat perkembangan peserta didik yang diakibatkan oleh perilaku guru yang suka mengambil jalan pintas dalam pembelajaran.
Sebenarnya para guru menyadari bahwa persiapan memiliki peran penting dalam pembelajaran, namun masih banyak guru sering tidak membuat persiapan mengajar, khususnya persiapan tertulis. Ada kalanya guru membuat persiapan mengajar tertulis hanya untuk memenuhi tuntutan administratif, atau disuruh oleh kepala sekolah karena mau ada pengawasan ke sekolahnya. Mungkin anda pernah mendengar ucapan kepala sekolah yang menyerukan agar guru-guru membuat persiapan mengajar karena mau ada pengawas, atau ada penilaian di sekolahnya. Sungguh suatu kekeliruan besar, karena persiapan mengajar adalah suatu persiapan yang harus dibuat guru untuk melakukan pembelajaran, bukan untuk disuguhkan kepada pengawas.
Agar tidak tergiur untuk mengambil jalan pintas dalam pembelajaran, guru hendaknya memandang pembelajaran sebagai suatu sistem, yang jika salah satu komponennya terganggu, maka akan mengganggu seluruh sistem tersebut. Sebagai contoh, guru harus selalu membuat dan melihat persiapan setiap mau melakukan kegiatan pembelajaran, serta merevisi sesuai dengan kebutuhan peserta didik, dan perkembangan zaman.
Harus selalu diingat, mengajar tanpa persiapan merupakan jalan pintas, dan tindakan yang berbahaya, yang dapat merugikan perkembangan peserta didik, dan mengancam kenyamanan guru itu sendiri.
Mengajar dengan tanpa persiapan hasilnya memang berantakan. Ini adalah salah satu sebab mengapa siswa sering mengalami kesulitan memahami apa yang guru sampaikan. Atau kalau tidak karena salah cara menyiapkan prosedur pembelajarannya. Guru seperti itu kadang anehnya, menanyakan sampai mana pelajaran pada pertemuan terakhir. Ini indikasi guru tidak melakukan persiapan, yang tahu justru siswa. Tapi apa yang bisa siswa lakukan terhadap guru semacam itu?
Dari beberapa sumber, banyak temuan di lapangan yang layak untuk direnungkan demi peningkatan kualitas pendidikan. Agar kegiatan belajar-mengajar (KBM) menarik dan efektif, persiapan mutlak perlu. Lebih baik lagi didokumentasikan. Dokumen ini bisa menjadi pedoman, arah, dan tujuan, sekaligus laporan kegiatan. Di dalamnya terinci apa yang dilakukan, ke mana kegiatan diarahkan, apa tujuan pembelajaran, dan bagaimana tujuan mesti dicapai.
Beberapa pertanyaan sering terlontar: Haruskah guru membuat persiapan secara tertulis? Perlukah semua yang dilakukan ditulis rinci? Bisakah mengajar tanpa persiapan? Tampaknya masalah utama di sini bukan perlu/tidaknya dokumen itu, melainkan lebih pada penulisannya.
Harus diakui, dokumen pembelajaran punya fungsi strategis. Dari sini guru bisa merancang dan menyiapkan strategi untuk tampil mengajar secara optimal. Hanya saja, bisakah dibuat sederhana, tidak harus rinci dan bertele-tele?

Terlalu Banyak Beban?
Ada tudingan, karut-marutnya pendidikan di negeri ini salah satunya akibat berbagai beban guru yang sangat rumit dan menyita waktu, tetapi tidak selalu relevan dengan peningkatan kualitas pendidikan.
Guru-guru sakti ini, umumnya mengaku sulit menyiapkan dokumen KBM yang demikian banyak dan begitu rinci. Bayangkan, tak kurang dari sepuluh dokumen harus disiapkan setiap kali mengajar. Empat di antaranya yang paling rumit membuatnya adalah rencana pelaksanaan pembelajaran interaktif (RPPI), silabus,agenda mengajar, dan analisis ulangan harian.
Untuk RPPI, misalnya, harus ditulis apa materi pokok pembelajaran, metode yang dipakai, model pembelajaran interaktif yang dipilih, kecakapan hidup (life skill) yang ditanamkan, indikator pencapaiannya, materi esensial yang dibahas, standar kompetensi dan kompetensi dasar yang ingin dicapai, serta dijelaskan bagaimana kegiatan pembelajaran dilakukan secara urut dan rinci.
Itu baru menyangkut persiapan, belum tindak lanjutnya. Dua hal paling rumit dan membuat frustrasi adalah tugas koreksi dan analisis ulangan harian. Dengan jumlah siswa di tiap kelas yang begitu besar, tugas seperti itu akan menyita waktu hingga tugas yang lain terbengkalai.
Namun, bagaimanapun alasannya, membuat persiapan mengajar sangat penting dilakukan guru sebelum masuk kelas atau memulai pembelajaran. Mengajar tanpa persiapan ibarat tentara maju perang tanpa strategi dan amunisi memadai. Kalaupun harus dibuat rinci , banyak guru justru tidak sungguh-sungguh membuat perangkat pembelajaran itu.
Kegagalan guru dalam mengajar sering terjadi sebagai akibat kesalahan mendasar yang tidak disadari telah dilakukan oleh guru. Melalui tulisan ini para guru semoga terinspirasi untuk tidak melakukan kesalahan yang sama. Guru harus terus melakukan koreksi diri secara reflektif sehingga pada gilirannya sanggup memberikan yang terbaik buat peserta didik yang diampunya. Ini menjadi autocritic buat para guru.
Sebetulnya setiap guru memiliki potensi untuk berhasil menjalankan tugasnya sebagai agen pembelajaran yang handal. Keberhasilan guru ini secara nyata dapat dilihat dari keberhasilan murid-murid ketika mengikuti proses dan mencapai tujuan pembelajaran. Tanpa keberhasilan murid, maka apa pun yang dilakukan guru tidak ada nilainya.
Sistem pembelajaran tanpa persiapan yang masih dilakukan banyak guru harus mulai ditinggalkan. Mereka harus siap dengan persiapan dan media pembelajaran interaktif.
Guru itu harus profesional, baik yang belum lulus sertifikasi apalagi yang telah lulus sertifikasi guru. Keengganan membuat persiapan mengajar harus dibuang jauh-jauh. Jangan bermain-main dengan resiko besar bila pembelajaran di kelas berlangsung seadanya dan tanpa arah.
Salah satu ciri keprofesionalan seorang guru adalah menyusun perencanaan pembelajaran secara benar. Dengan persiapan yang terencana baik, maka hasil pembelajaran siswa dapat menggembirakan semua komponen pembelajaran. Ingin berhasil dalam mengajar, buat persiapan secara matang. Persiapan mengajar itu ibarat skenario dalam film. Tidak akan ada film yang baik dan enak ditonton tanpa skenario yang baik. Begitu pula, tidak akan ada pembelajaran yang berhasil tanpa persiapan yang benar.