Senin, 28 Februari 2011

Tujuh Tahun Tabloid Ganesha

Awalnya Obrolan di Pinggir Jalan
Tak terasa Tabloid Pendidikan Ganesha pada bulan Maret 2011 telah berusia tujuh tahun. Usia yang masih ‘kanak-kanak’, namun terbi-lang ‘hebat’ bagi sebuah media lokal yang terbit di sebuah kota kecil. Bagaimana kisah berdiri-nya tabloid kebanggaan para guru tersebut? Berikut kisahnya.
………………………………..
Hingga 2011 ini Tabloid Ganesha boleh jadi merupakan satu-satunya media lokal berbentuk tabloid di Kabupaten Ciamis yang mampu mem-buat gebrakan dengan terbit rutin seminggu sekali. Artinya, dalam sebulan media ini hadir selama empat kali, bahkan pada bulan-bulan yang ming-gunya ada lima kali, Ganesha pun terbit lima kali.
“Dulu kita terbit dwimingguan, tapi kewalahan. Lalu terbit bulanan. Dan sekarang bisa mingguan, tadinya seperti mimpi. Kalau mau, ternyata Alhamdulillah kita bisa,” kata Pemred Ganesha, Agus Ponda.
Ponda kemudian bertutur, Ganesha terbit awalnya tak lepas dari niat luhur PGRI Kabupa-ten Ciamis di bawah kepemimpinan H. Wawan Arifien. Waktu itu di awal tahun 2000-an PGRI Kabupaten Ciamis membutuhkan media untuk mempererat dan mendekatkan pengurus dan anggotanya. Kondisi tersebut tak lepas dari peran PGRI sebagai organisasi profesi dan juga organisasi perjuangan.
Perjuangan PGRI yang dimaksud harus dimak-nai positif. Konon sebelum tahun 2000-an, PGRI terus menyuarakan aspirasinya terkait berbagai masalah nasional. Salah satunya menuntut kesejah-teraan bagi para guru PNS dan pengakuan lebih manusiawi tentang profesi guru pada level nasional.
Tak aneh, zaman itu PGRI banyak turun ke jalan, baik di Ciamis maupun di Jakarta dan kota-kota lainnya di Indonesia.
“Inilah mungkin yang menjadi salah satu dasar dibutuhkannya media khusus milik PGRI. Yang jelas, waktu itu Pak Haji Wawan ingin membuat guru lebih tercerahkan ketika terhimpit berbagai masalah,” kata Ponda.
Berdirinya Ganesha juga konon tak lepas dari kecintaan H. Wawan Arifien pada dunia menulis. Potensi yang sebenarnya juga ada pada para guru yang tergabung dalam PGRI.
“Waktu itu Pak Haji sering menulis di media massa lokal. Bahkan sangat dekat dengan para jurnalis. Dari kedekatan itu timbulah keinginan untuk membuat media sendiri, made in PGRI,” kata Ponda. Ia masih ingat di tahun 2004 suatu malam H. Wawan dan beberapa jurnalis ngobrol di pinggir trotoar. Intinya akan lebih ideal kalau PGRI sebagai organisasi profesi terbesar di Ciamis, punya media cetak sendiri.
“Saya pernah menyarankan PGRI punya media sendiri. Minimal ada efektifitas dalam penyam-paian program dan kegiatan keorganisasian pada para anggota,” ujar seorang jurnalis lokal.
PGRI waktu itu sempat akan membuat suple-men khusus di sebuah media massa lokal, namun tak jadi. PGRI memilih membuat sendiri. Namun kendala SDM sempat menghadang. PGRI tak punya SDM yang khusus dalam hal pengelolaan media massa. Maka H. Wawan mengajak beberapa jurnalis untuk membantu PGRI mendirikan media cetak.
“Dari situ, kita presentasi di hadapan para pengurus PGRI di Wisma Guru. Mereka setuju, dan akhirnya dimulailah proses pendirian tabloid ini dan Pak Haji Wawan memberinya nama Tabloid Ganesha,” kenang Ponda.

Tak Mudah
Membuat media cetak ternyata tak mudah. Saat itu diputuskan kantor redaksi Ganesha di sebuah aula di lantai 2 Wisma Guru. Komputer pun cuma ada satu unit, Pentium 2 dengan harddisk terbatas. Personil wartawan hanya beberapa orang.
“Waktu itu kita kompak, ada saya, Kang Nana, Deni, Andri, Wawan Iswandi, Yuda, itu personil awal ditambah dewan redaksi dari PGRI,” kata Ponda. Namun, mereka masih terbatas dalam hal layout media. “Kita masih belajar. Kalau bikin berita sudah cukup pengalaman, tapi kalau layout masih meraba-raba,” tambah Ponda.
Bukan hanya itu karena bentuknya tabloid, survey pun dilakukan ke beberapa percetakan di Bandung dan Cirebon menyangkut harga dan tek-nis. Hingga akhirnya cetakan pertama dilakukan di Granesia (Pikiran Rakyat Bandung).
“Cetak edisi-edisi awal, repot sekali. Kita bawa CPU ke Granesia Bandung, bongkar harddisk. Nginep di mushola,” ujar Ponda. Ia menceritakan betapa besarnya peran para pengurus dan aktivis PGRI pada saat pendirian Ganesha. Setiap kali nyetak, mereka mengantar dengan membawa kendaraan sendiri, harus menunggu cetak, nginep, penuh perjuangan.
“Pak Said Kelana, Pak Asep Saeful Rahmat, Pak Mastur (KUPTD Cimaragas), Pak Epi Rus-wandi, rela nungguin proses cetak atau setting,” kata Yuda, bagian layout Ganesha. Dan kelelahan itu sirna ketika selesai cetak edisi pertama.
“Kalau di redaksi yang paling sering nemanin kita itu Pak H. Lili, (almarhum) Pak Asep Suherman. Sering ngelembur. Kompak, di mana ada Pak Lili, di situ ada Pak Asep,” ujar kru redaksi lainnya. “Sering pula ada Pak Gandar Herdiana,” tambahnya.
Kepemimpinan Ganesha juga beberapa kali berganti. Nama-nama seperti Drs. H. Gandar Herdiana, Drs. Lili Suherli, Asep Saeful Rahmat, S.IP., M.Si., (alm) M.R. Subekti, Drs. Didi Rus-wendi, Dr. Gumilar, hingga Edi Rusyana Noer pernah memegang posisi strategis di perusahaan dan keredaksian Ganesha.
Sementara menyikapi perkembangan Ganesha, “Di antara bis kota dilarang saling mendahului, tapi kalau ‘boyot’ yaah disiap saja...,” ujar Neng Ayu Berliani. Ini merupakan keniscayaan pers-pektif kompetitif yang sehat dan dinamis.

Terbit Mingguan
Setelah kepengurusan PGRI berganti dari H. Wawan Arifien ke H. Tatang, diputuskan Ganesha harus terbit seminggu sekali. Awalnya cukup ragu. Sebab personil redaksi dan wartawan Ganesha sangat terbatas. Idealnya, sebuah media massa untuk terbit mingguan harus punya personil puluhan orang. Tapi setelah dicoba hanya dengan beberapa jurnalis dan redaksi, Ganesha bisa hadir mingguan.
Eksistensi Ganesha juga tak lepas dari kebijakan pengurus baru PGRI. “Ganesha itu aset yang besar, Tak ada alasan untuk tidak dilanjutkan, meskipun pengurus PGRI berganti-ganti,” ujar Edi Rusyana Noer, salah seorang Pengurus PGRI Kabupaten Ciamis suatu hari.
Ketua PGRI Kabupaten Ciamis H. Tatang pun menghendaki Tabloid Ganesha harus terus terbit. “Ganesha itu salah satu aset warisan yang besar dari Kepengurusan PGRI di bawah pimpinan Pak Haji Wawan. Masak kita tak melanjutkannya?” kata H. Tatang pada Ganesha.
Kini Ganesha menjadi satu-satunya media pendidikan milik PGRI sebuah kabupaten di Priangan Timur. Ganesha juga menjadi satu-satunya tabloid media cetak lokal yang terbit rutin mingguan di Kabupaten Ciamis.
“Kita hadir bukan pesaing bagi media massa lain, tapi Ganesha juga ingin sejajar dengan media lainnya,” kata Edi Rusyana, Pimpinan Umum Ganesha. Edi juga berharap pada usianya yang ke tujuh tahun Ganesha makin berkualitas dan memberi nilai plus bagi pembacanya, terutama para insan pendidikan.
“Kita tak ingin terlena karena sanjungan, kita juga butuh masukan dan kritik dari pembaca. Semuanya demi kemajuan bersama, baik Ganesha, PGRI, maupun dunia pendidikan,” tutup Edi.
(Tim Ganesha)

Minggu, 20 Februari 2011

Kepala Sekolah Diminta Lakukan Waskat DAK

Rp 64 Milyar Segera Cair
Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk pendidikan tingkat sekolah dasar maupun sekolah menengah pertama untuk tahun anggaran 2010, akan segera cair tahun 2011 ini. Hal itu karena petunjuk pelaksanaan (Juklak) dan petunjuk teknis (Juknis) penggunaan dana tersebut sudah turun dari pemerintah pusat.
......................................................
Berkenaan dengan akan digulirkannya DAK, di Ciamis Jawa Barat, Dinas Pendidikan Kabupaten Ciamis mengadakan pembukaan kegiatan sosialisasi Dana Alokasi Khusus tahun anggaran 2010, Kamis (17/2). Kegiatan yang mengambil tempat di aula SMAN 2 Ciamis berlangsung hingga tanggal 19/2 ini dibuka oleh Sekretaris Daerah Kabupaten Ciamis H. Tahyadi Ahmad Satibi mewakili Bupati Ciamis.
Peserta sosialisasi adalah Kepala UPTD Pendidikan Kecamatan, Kepala SD dan Kepala SMP. Nampak hadir pula dalam acara pembukaan tersebut Asda III Ana, Kadisdik Kabupaten Ciamis H. Akasah selaku tuan rumah, perwakilan Kodim 0613 Ciamis, Kejaksaan Negeri Ciamis, dan undangan lainnya.
H. Akasah dalam laporannya menjelaskan kegiatan ini diikuti oleh 158 Kepala SD, 140 Kepala SMP dan 36 Kepala UPTD Pendidikan Kecamatan serta unsur terkait dengan jumlah total peserta 342 orang. Pengguliran DAK ini bertujuan untuk menuntaskan permasalahan di bidang sarana pendidikan. Menurut H. Akasah, untuk SD, DAK digunakan untuk membangun gedung perpustakaan beserta mebelairnya dan sarana pendidikan yang meningkatkan mutu pendidikan. Dana yang disediakan sebesar Rp. 40.753.900.000,-.
Sedangkan untuk tingkat SMP dengan dana sebesar Rp. 17.943.300.000,- dibangun ruang kelas baru dan merehabilitasi ruang kelas yang rusak serta sarana pendidikan yang meningkatkan kualitas pendidikan. Total dana DAK tahun anggaran 2010 yang digulirkan untuk SD dan SMP ditambah biaya umum kurang lebih sebesar Rp. 64 miliar.
Sedangkan H. Tahyadi sebelum membacakan sambutan Bupati Ciamis mengingatkan agar para Kepala Sekolah melakukan pengawasan melekat (waskat) pada bawahannya. Terutama dalam bidang kebersihan, ketertiban dan kedisiplinan.
“Saya orang yang paling senang disiplin. Dengan disiplin pekerjaan akan lancar”, ujarnya. Selain itu, dia mengingatkan agar bekerja dengan transparan. Permasalahan akan timbul bila tidak transparan, contohnya dalam bidang keuangan.
Bupati Ciamis dalam sambutannya yang dibacakan oleh Sekda menjelaskan tujuan dari pengucuran DAK adalah untuk menunjang penuntasan program Wajib Belajar 9 tahun yang bermutu, merata dan berkeadilan. Diharapkan dengan DAK dapat tersedia ruang kelas dan perpustakaan yang layak secara fisik untuk kegiatan belajar mengajar. Selain itu juga untuk tersedianya buku dan alat peraga sehingga bisa belajar secara efektif dan efisien. Berbeda dengan tahun lalu, mulai tahun anggaran 2010 ini, pelaksanaan pembangunan dengan DAK menggunakan jasa pihak ketiga melalui lelang. Sedangkan pihak sekolah dan Komite Sekolah sama sekali tidak dilibatkan langsung.
Walaupun menggunakan jasa pihak ketiga H. Tahyadi berpesan pada para Kepala Sekolah agar turut mengawasi pembangunannya.
“Siapapun pemenangnya harus diawasi, terutama kualitas”, tegasnya. Kualitasnya minimal sama dengan saat dikelola Komite Sekolah. Bahkan kalau bisa, menurut H. Tahyadi, kualitasnya lebih bagus.
Selain di SMAN 2 Ciamis, kegiatan tersebut juga diselenggarakan di aula Gedung Pramuka Cabang Ciamis.
(arief/ganesha)

Anda Termasuk Guru yang Cerdas?














Banyak yang bertanya mending pintar atau mending cerdas? Memangnya berbeda antara cerdas dan pintar?
..........................
Makna cerdas ternyata berbeda dengan arti pintar. Padahal selama ini banyak orang mengaku lebih pede dengan kepintarannya, daripada disebut cerdas.
Jelasnya, orang cerdas pasti pintar. Akan tetapi, orang pintar belum tentu cerdas. Oleh sebab itu, cerdas tidak boleh diterjemahkan sama dengan pintar.
Orang cerdas lebih dari sekedar pintar. Jika orang pintar menguasai banyak ilmu pengetahuan dan intelektualnya bagus, orang cerdas tidak hanya menguasai banyak ilmu pengetahuan saja, tetapi ia mampu mempergunakan ilmu pengetahuannya untuk menolong dirinya dalam setiap situasi.
Menurut Asep Koswara, seorang wid-yaiswara dari Jawa Timur, dari pola pikir orang cerdas dapat dihasilkan ide-ide cemerlang. Lanjut Asep, alam dan manusia diciptakan dalam keseimbangan. Demikian pula kecerdasan manusia perlu dikelola se-cara seimbang. Mengelola hanya kemam-puan intelektual saja tidaklah seimbang. Demikian pula bila hanya fokus pada nilai spiritual, tidak juga seimbang. “Keseluru-han kecerdasan perlu dikelola, dikembang-kan, dan dimanfaatkan secara seimbang. Menjadi selaras dan seimbang adalah kun-ci menuju bahagia dan sukses,” kata Asep.
Dalam dunia pendidikan seringkali guru berhadapan dengan kalimat “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Pertanyaan lagi, apa sih arti cerdas?
Seorang teman di facebook mengutak-atik kata “cerdas”. Kata “Smart” dalam bahasa Inggris dapat berarti cerdas, pintar, tampan, cepat, gegabah, sakit, sombong, angkuh, congkak, golongan elite. Kata “Intellect” dapat berarti cerdas, pandai, terpelajar, intelligence. Kata “Clever” dapat berarti; pandai, cakap, cekatan, cerdik dan terampil. Di dalam bahasa Arab, kata “Zakiy” dapat berarti; cerdas, pandai, cepat mengerti atau memahami. Kata “’Ab-qariy” berarti; genius, cerdas, pandai. Dan kata “Maahir” bersinonim dengan kata “Baari’” atau “Muahhal” yang berarti; mahir, pandai, pintar, mampu, cakap dan ahli.
Jika disamakan arti kata diantara kedua bahasa ini, maka kata “smart” berarti “Zakiy”, kata “Intellect” berarti “’Abqariy” dan kata “Clever” berarti “Maahir” yang menunjukkan adanya perbedaan arti dan maksud antara kata cerdas dan pintar.
Dahulu, bahasa Indonesia menggunakan kata Maahir, namun karena gengsi dicap sebagai bahasa yang ketinggalan zaman serta kuatnya pengaruh dari barat, maka penggunaan kata Maahir menjadi punah dan digantikan dengan kata Intellectual. Kata ini selalu dijadikan sebagai tolak ukur dalam menilai seseorang apakah ia intelek atau tidak melalui bahasa yang berbau terasi, seperti; akulturasi, penetrasi dan lain-lain yang ia gunakan. Padahal kata kata “Maahir” yang kaya akan arti, lebih pantas dan tepat sasaran maupun tujuan dalam penggunaan. Dengan kata lain, kata “Cerdas atau smart dan intellect” lebih condong berarti pada kecerdasan berfikir dan mengeluarkan fikiran, sedangkan kata “Pintar atau Mahir” lebih condong pada arti pandai dan ahli dalam berbuat.
Kita tidak dapat menyalahkan generasi muda maupun generasi mendatang secara langsung, jika mereka terpelajar namun bukan sebagai seorang pelajar karena memang mereka diciptakan sebagai generasi yang cerdas. Contoh kasus; seorang anak yang bersekolah di sebuah SMU atau kuliah, jika orang tuanya menyuruhnya untuk ke pasar atau toko membeli minyak goreng, pasti karena kecerdasannya, ia akan menjawab dengan berbagai alasan. Namun jika ia pintar (Mahir) maka pastilah ia akan bergegas untuk pergi membelinya. Contoh lain; seorang anak diberikan uang jajan sedikit oleh orang tuanya, pasti ia akan banyak beralasan untuk mendapatklan yang lebih banyak lagi, baik dengan cara merayu ataupun berbohong dengan kecerdasan yang ia miliki. Namun jika ia Pintar (Mahir) maka ia akan menerima dan memaklumi kondisi orang tuanya serta menghargai pemberian tersebut.
Dari contoh-contoh di atas menunjukkan bahwa orang cerdas belum tentu pintar (mahir) dan orang pintar sudah tentu ia mahir meski belum tentu ia cerdas. Orang pintar (mahir) pasti akan melakukan sesuatu jika mengetahui dan menyadari bahwa hal itu adalah baik dan tidak akan melakukkannya jika perbuatan tersebut bertentangan dengan nilai dan norma. Sedangkan orang cerdas belum tentu akan melakukannya karena masih memikirkan untung dan ruginya. (baca : perbandingan pintar vs bodoh).

Bagaimana dengan Guru?
Menurut seorang Trainer Pendidikan dan Peneliti, Asep Safaat, tantangan dunia pendidikan di masa depan semakin berat. Guru sebagai salah satu bagian penting dari pendidikan, harus mampu menjadi manusia pembelajar yang cerdas dan kreatif. Guru akan menjadi cerdas jika mereka mampu mengakses seluruh sumber ilmu pengetahuan dari buku, lingkungan sekitar, internet, media masa, dan puspa ragam sumber ilmu pengetahuan lainnya.
“Guru yang cerdas berpikir terbuka dalam merespon perubahan yang terjadi, beradaptasi dengan perkembangan pendidikan yang terjadi, dan mampu mengoptimalkan sumber daya yang ada menjadi sebuah inovasi baru di dunia pendidikan adalah beberapa ciri penting guru kreatif.” Kata Asep.
Singkatnya guru cerdas adalah guru yang memiliki banyak ilmu pengetahuan disertai dengan kemampuan menggunakan ilmu pengetahuannya itu untuk menolong diri dan lingkungannya dalam menghadapi setiap situasi. Di tangan guru cerdas, setiap persoalan pendidikan di sekolah dapat diatasi. Oleh sebab itu, guru cerdas sangat dirindukan oleh siswa. Dari guru cerdas, siswa belajar banyak tentang ilmu pengetahuan dan bagaimana menggunakan ilmu pengetahuannya itu dalam kehidupan.
Kecerdasan seorang guru yang dirindukan siswa tentu saja tidak hanya sekedar cerdas intelektual saja, tapi meliputi berbagai kecerdasan lainnya, seperti kecerdasan sosial, emosional, dan kecerdasan spiritual. Guru yang cerdas secara intelektual, sosial, emosional, dan spiritual tentu saja merupakan aset termahal dalam dunia pendidikan.
Para siswa akan bangga memiliki guru cerdas. Bahkan, bukan hanya sebatas bangga, melainkan mereka juga akan belajar banyak darinya. Para siswa merasa tenang berada di samping orang dewasa yang cerdas. Mereka pun dapat tumbuh menjadi cerdas seperti gurunya.
(apon/berbagai sumber/ganesha)

Minggu, 06 Februari 2011

Batu Tulis Ditemukan di Gunung Pasir Cabe

Puluhan Tahun Sempat “Disembunyikan”
Hari itu anak-anak kelas 3, 4, 5, dan 6 SD Padaringan 2 Purwadadi Ciamis menjelajah ke Pasir Cabe sebuah tempat di Desa Sukamukti Kotif Banjar. Mereka dipimpin Dede Suryana, S.Pd., guru sekolah tersebut.
“Kegiatan ini dilakukan setiap empat tahun sekali untuk lebih mengenalkan anak pada kondisi alam bebas”, jelas Dede.
Ternyata bukan hanya itu. Konon para siswa tersebut sengaja diajak sang guru untuk melihat batu-batu bersejarah di gunung atau ‘pasir’ tersebut.
“Saya sebenarnya menemukan batu-batu bersejarah sejak saya kecil dan sekarang akan ditunjukkan kepada anak-anak,” ujar Dede.
Ganesha pun terkejut. Untuk membuktian kebenaran penemuan itu Dede ditemani Wawan mengajak Ganesha.
Kami pun melakukan penjelajahan menuju puncak gunung Pasir Cabe yang terletak di Kawasan Desa Sukamukti Banjar beberapa Km dari arah perkebunan Batulawang Banjar, Minggu, (23/1) Perjalanan menuju puncak gunung memerlukan waktu lebih kurang setengah jam pendakian yang ditempuh dengan berjalan kaki.
Di puncak gunung ter-nyata terdapat batu-batuan besar yang menandakan se-pertinya dahulu telah berdiri suatu bangunan kerajaan. Batu-batuan itu seperti tapak-tapak kaki dari bina-tang layaknya tapak kaki kerbau, harimau, juga tela-pak kaki manusia serta telapak tangan manusia. Namun belum ada penelitian lebih lanjut mengenai keberadaan batu-batuan besar tersebut. Warga masyarakat menganggap tempat tersebut biasa dan menjadikannya tempat peristirahatan un-tuk duduk-duduk atau terkadang membuat nasi liwet serta menginap di tempat itu.
Menurut Wawan, guru honorer MI Karang Malang dirinya sering bermain ke Pasir Cabe bersama teman-tamannya meng-gunakan motor trail. “Bahkan kami sering menginap di sana untuk menikmati alam sekitar,” ungkap Wawan.
Ada satu batuan yang belum pernah dilihat warga, batuan itu ditemukan oleh Dede di suatu tempat tersembunyi yang tidak terlewati oleh masyarakat pada umumnya. “Semula saya lewat ke jalan ini tidak sengaja, namun ketika mau menggali tanah tiba-tiba terasa keras dan ketika dibersihkan dari rerumputan yang menghalanginya, tampak sebuah guratan tangan sebentuk tulisan.” jelas Dede.

Ditemukan Sejak Bocah
Yang menarik, Dede mengaku menemu-kan batu-batu bersejarah tersebut sejak puluhan tahun yang lalu tepatnya ketika ia masih bocah. Kini setelah puluhan tahun berlalu ia masih ingat akan batu-batu yang dulu sempat ia “sembunyikan”.
Ketika hal itu dikonfirmasikan kepada sesepuh Gunung Pasir Cabe, Sunaryo, bahwa memang di Gunung Pasir Cabe tersebut dulunya adalah tempat bermain Prabu Kian Santang. Batuan itu merupakan guratan atau tulisan Prabu Kian Santang sewaktu belajar menulis bahasa Arab yang baru masuk Islam.”Dulu Prabu Kian Santang belajar menulis bahasa Arab di bebatuan dan berkelana dari tempat yang satu ke tempat lain seperti di Ciung Wanara dan Batu Tulis Bogor sampai saat ini masih ada jejaknya.” Ungkap Sunaryo.
Lebih jauh Sunaryo juga mengatakan bahkan Gunung Sangkur yang berdampingan dengan Gunung Pasir Cabe pun mempunyai seja-rah tersendiri tentang Sang-kuriang dan Dayang Sumbi.
Sampai saat ini menurut penduduk sekitar, setiap malam Rabu Kliwon sering terdengar alunan gamelan degung yang berasal dari puncak Gunung Cabe. Namun hal ini tidak dirasakan sebagai suatu keangkeran karena warga sekitar sudah terbiasa mendengar alunan degung tersebut. Warga juga mempunyai keyakinan ada dua kehidupan di dunia ini yaitu alam nyata dan alam gaib yang penting tidak saling mengganggu. (emas/ganesha)

Guru Tambah Repot

Kelulusan Siswa Juga Ditentukan Nilai Rapor
Jadwal Ujian Nasional 2011 kian dekat. Sejumlah daerah sibuk mempersiapkan hajatan tahunan tersebut, mulai dari sosialisasi hingga pembahasan pelik lainnya. Dan yang lebih bakal repot adalah para guru, sebab kini nilai rapor tak bisa dipandang sebelah mata. Siswa bisa tak lulus gara-gara nilai rapornya jeblok.
......................................
Di Tasikmalaya misalnya, menjelang UN MKKS SMP Kabupaten ini terus disibuk-kan dengan rapat-rapat, yang hampir satu pekan berlangsung. Mereka harus mengam-bil lokasi di empat titik, yang disesuaikan dengan sub rayon masing-masing, wilayah Utara, Timur, Selatan dan Barat.
“Kami memang sedang sibuk-sibuknya, mempersiapkan segala sesuatunya dalam rangka menyambut UAAS dan UN ini, kami tahun ini harus lebih siap,” tutur Abu Hayat S.Pd., M.Pd., saat ditemui Ganesha, sebelum menuju ke ruangan rapat, yang diadakan di SMP N I Singaparna.
Bagi Abu, pentingnya para kepala se-kolah berkumpul, yakni untuk mensera-gamkan pemikiran, juga dalam rangka me-rumuskan soal-soal, yang imbasnya menja-di usulan untuk ke pusat. “Memang baru kali ini ujian lokal dilaksanakan terlebih dulu ketimbang ujian nasional, jadi otoma-tis kita dulu yang kebagian membuat soal, makanya saya dan teman-teman ingin opti-mal dalam merumuskan soal,” tutur kepala sekolah SMP N I Sukarame ini semangat.
Abu yang sudah punya pengalaman, bagaimana, menghadapi anak yang tidak lulus, untuk mengikuti ujian persamaan ini, akhirnya mengungkapkan bahwa UN bukan sesuatu yang harus di takuti, tapi UN harus diikuti oleh anak, dan diimbangi oleh doa dan usaha,” Saya menghadapi UN sudah biasa dan tenang saja, toh sekarang nilainya juga memasukan nilai rapor, jadi tidak ada data yang bisa dimanipulasi, namun seadanya, kalau nilai rapotnya bagus, maka bisa menolong manakala, nanti nila UN ada yang jatuh,”kata Abu.
Jangan Sepelekan Rapor
Hal senada pun diungkapkan oleh, Drs. Teddy Sutardy, kepala sekolah SMPN I Padakembang. Menurutnya, UN, memang harus disikapi dengan kesiapan dari orang tua, guru, siswa, dan kepala sekolah, dan baru nanti hasilnya akan terlihat, “Saya opti-mis anak-anak, akan terlihat lebih siap, dan sekarang kita bisa menolong mereka, kalau saja mereka nilai rapornya bagus,” katanya.
Sementara Wakasek Kurikulum SMA N I Singaparna, Drs. H. Asep, menanggapi UN, sedikit mengeluh karena pekerjaan guru bertambah. Saat ini, karena melibatkan nilai rapot untuk menentukan nilai UN, maka para guru pun atomatis sibuk untuk mengakumulasikan nilai rapot, “Saya nilai sekarang guru akan lebih repot, dan ini mau tidak mau harus mereka kerjakan, “ katanya.
Tapi di sisi lain, Asep pun merasa bang-ga, karena nilai rapot akhirnya diperhitung-kan dalam menentukan kelulusan siswa. tidak berdasarkan nilai UN semata. “Saya senang, sekarang rapot, yang merupakan jerih payah guru dan siswa sehari-hari dapat dihargai, dan memberikan kontribusi bagi kelulusan siswa,” katanya.
Untuk menentukan kelulusan, saat ini memang tidak berdasarkan UN semata, namun berdasarkan dua penilaian, yakni Ujian lokal, dan UN, dan itu ada dua penggabungan nilai, yang nantinya akan dijadikan satu,”Jadi kita harus membuat laporan nilai ujian lokal, yang nantinya dilaporkan ke pusat, dan baru mereka yang menentukan kelulusan,” kata Abu Hayat.
(deanur/ganesha)