Kamis, 11 Agustus 2011

Ramadhan, Sekolah Hebat & Gratis

Bulan Ramadhan merupakan bulan yang mempunyai banyak kelebihan dan keistimewaan. Kedatangannya pun selepas dua bulan yang juga tidak kurang keistimewaannya yaitu Rajab dan Sya’ban. Puasa di bulan Ramadhan bahkan bisa diibaratkan sekolah khusus yang ajaran barunya selalu dibuka setiap tahun dengan tujuan pendidikan praktis dalam menyerap nilai-nilai yang paling tinggi.
.......................
Pada suratkabar KOMPAS tanggal 6/7/2011, di halaman utama tertulis judul berita “Adakah Sekolah Bagus, tapi Gratis?” Di halaman yang sama ada juga judul: “Cari Sekolah, Kok, Susah Sekali?” Maka, atas kenyataan itu, wajar jika ada yang berkata: “Sekolah Semakin Sulit dan Mahal.”
Mari perhatikan sekitar kita. Di saat awal tahun ajaran baru masih terasa suasana ketika para orangtua sibuk memikirkan dan mencarikan sekolah untuk anak-anak mereka. Suasana prihatin mencuat, saat melihat fakta tentang sulitnya mendapat sekolah (yang baik) lantaran biaya sekolah yang semakin mahal, seperti tercermin di dua judul berita yang dikutip di paragraf pertama tulisan ini.
Tapi, alhamdulillah, kita mendapat kesempatan belajar di sekolah hebat dan gratis selama satu bulan penuh yaitu lewat ibadah puasa Ramadhan. Di bulan Ramadhan, kita diwajibkan untuk berpuasa. ”Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.” (QS Al-Baqarah [2]: 183).” Ujar Arif Rahman Hakim dalam sebuah tulisannya di Hidayatullah.
Menurut Arif, ramadhan itu sekolah. Bahkan sekolah itu gratis. Meman benar, puasa Ramadhan adalah semacam sekolah karena dengannya kita dididik secara sistimatis dalam hal kebaikan. Benar, sekalipun kita mendapatkan pendidikan yang berkualifikasi terbaik ternyata untuk itu kita tak harus pusing memikirkan biayanya, karena cuma-cuma.

Ramadhan adalah bulan untuk belajar. Belajar apa?
“Pertama, belajar peka terhadap lingkungan sekitar. Dengan berpuasa, kita dapat merasakan bagaimana orang yang kurang beruntung menahan lapar dan dahaga setiap hari. Kita yang berpuasa, masih dapat makan dan minum setelah saat berbuka tiba. Bayangkanlah Si Miskin saat mereka harus menahan lapar dan dahaga selama berhari-hari.” Kata Arif, yang juga alumnus Unair dan peminat masalah sosial-keagamaan
Ia menjelaskan bahwa bulan Ramadhan juga memberikan kesempatan besar untuk berbagi kepada sesama. Bagi yang memberikan makanan berbuka kepada orang yang berpuasa, akan mendapatkan pahala sebesar yang didapat orang yang berpuasa itu tanpa mengurangi pahala orang tersebut. Pahala tersebut akan diberikan Allah, meskipun yang diberikan untuk berbuka itu hanya sebuah kurma atau seteguk air. Maka, sungguh merugi jika di bulan penuh berkah ini kita tak belajar peka terhadap keadaan sekitar.
“Yang kedua, belajar lebih sabar. Puasa mendidik kita untuk lebih sabar. Inti puasa adalah menahan hawa nafsu. Semua nafsu,seperti nafsu makan-minum, nafsu marah, nafsu syahwat, kita kendalikan.” Katanya.”Kesabaran itu ada tiga macam: sabar menghadapi musibah, sabar untuk taat, dan sabar menghindari maksiat” (HR Ibnu Abud-Dunya). Lalu, bagaimana dengan ungkapan yang popular di tengah-tengah masyarakat bahwa “Sabar itu ada batasnya”? Ungkapan itu tak berdasar. Kita harus ikhlas menerima dan menghadapi segala macam masalah yang ada.” Tambahnya.
Dalam Al-Quran dikatakan,”Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan, sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk.” (QS Al-Baqarah [2]: 45).
Jika memperhatikan ayat di atas, sabar (bersama shalat) merupakan media penolong terpenting saat kita disergap masalah. Dengan demikian, maukah kita membatasi sabar yang berarti mempersempit dan bahkan menutup peluang kita untuk keluar dari masalah yang mengepung kita? Maka, dengan logika sederhana itu, bagi kaum beriman sabar itu sungguh tidak berbatas.
“Ketiga, belajar disiplin. Bulan Ramadhan tanpa sadar mengajarkan kita berdisiplin. Contoh kecil, waktu makan menjadi lebih teratur. Waktu sahur, kita bersegera bangun. Saat berbuka puasa, kita bahkan sudah bersiap-siap di depan makanan beberapa menit sebelumnya. Sementara, jika di hari-hari di luar Ramadhan, banyak dari kita yang makan tanpa jadwal yang jelas karena berbagai alasan. Akibatnya apa? Karena tidak disiplin dengan pola makan, maka kita berpeluang dihampiri berbagai penyakit.” Ujar Arif.
Sedangkan keempat, belajar jujur. Puasa mengajarkan kita untuk jujur. Lewat puasa Ramadhan kita dilatih berlaku jujur. Misal, sekalipun kita memiliki kesempatan untuk makan dan minum di tempat terlindung, tapi itu tidak dilakukan karena kita sedang berpuasa dan yakin bahwa perbuatan apapun pasti dilihat Allah. Saat berpuasa, kita dilatih untuk menyadari bahwa Allah selalu hadir di manapun kita berada.
Dengan gambaran di atas, sungguh menyenangkan, bukan? Ramadhan adalah sekolah dengan kurikulum hebat tapi tak menarik bayaran sedikitpun. Bersyukurlah jika kita masih berkesempatan bersekolah gratis di Madrasah Ramadhan. Belum tentu tahun depan kita mempunyai kesempatan yang sama. Untuk itu, sebagaimana murid yang mau masuk sekolah, maka fisik dan mental harus dipersiapkan secara baik dalam menyambut sekolah gratis ini. Rugi jika kita akan mendapatkan pelajaran hebat tapi kita tidak siap menerimanya. Jadi, jangan sia-siakan Ramadhan.
Kelak, setelah puasa Ramadhan selesai, seharusnya setiap orang menjadi lebih baik karena sudah ditempa di Madrasah Ramadhan. Misal, orang yang dulu malas-malasan shalat lima waktu, seharusnya menjadi sadar dan rutin mengerjakannya di luar bulan Ramadhan.

Menuju Taqwa
Imam Nur Suharno, seorang bloger dan pendidik mengatakan setelah sebulan penuh dididik Ramadhan, ilmu pun didapat, maka langkah selanjutnya adalah mengamalkannya di sebelas bulan berikutnya. Islam menginginkan orang yang berilmu mengamalkan ilmunya demi kebaikan diri dan orang lain. Ilmu pada seseorang ibarat sebatang pohon dan amal sebagai buahnya. Perintah belajar dan menuntut ilmu bertujuan meningkatkan kuantitas dan kualitas amal muslim. Dengan amal itu pula, muslim memperoleh kebahagiaan di dunia dan selamat di akhirat.
Karenanya, hakikat dari belajar atau menuntut ilmu adalah perubahan, dari yang tidak tahu menjadi tahu, dan setelah mengetahui kemudian mengamalkannya. Sedangkan manusia yang tidak mampu lagi berubah (setelah belajar/menuntut ilmu) sejatinya ia telah mati. Oleh karena itu, jadilah manusia pembelajar, karena dengan belajar berarti akan ada perubahan, perubahan adalah keniscayaan, karena orang yang cerdas (sang pembelajar) adalah orang yang jeli untuk mengetahui dan mengakui kelemahan dirinya.” Dari kesadaran tersebut, ia perbaiki dirinya agar selanjutnya ia dapat melakukan yang terbaik dalam hidup ini.” Pesan Iman.
Artinya ini saatnya bagi kita menggunakan keistimewaan puasa untuk membentuk manusia baru. Rasulullah SAW bersabda, “Barang-siapa berpuasa dengan niat mencari pahala dari Allah SWT, maka ia keluar dari bulan Ramadhan sebagaimana bayi baru lahir. Wallahu a’lam.
Kini Alhamdulillah, Ramadhan telah tiba. Maka, bagi kita yang beriman, pasti akan menyambut datangnya “Bulan pendidikan dan pelatihan” ini dengan penuh antusias. Sebab, bulan Ramadhan hanya datang setahun sekali. Artinya, butuh waktu cukup panjang agar kita dapat bertemu dengan bulan mulia ini, itupun dengan catatan jika masih ada nikmat umur buat kita.
Dengan demikian, kehadiran bulan suci Ramadhan seharusnya membuat umat Islam senang dan bahagia. Lalu, berpuasalah dengan niat ikhlas untuk mengharap Ridho Allah.
Akhirnya, semoga Allah menerima setiap amalan kita di Ramadhan dan menjadikan kita manusia yang ber-taqwa. Mudah-mudahan kita dapat belajar dengan baik dan ikhlas selama Ramadhan. Pelajari dan amalkan setiap ilmu yang didapat. Untuk itu, maksimal-kan setiap ibadah kita dalam mengisi ramadhan ini. Dan mari kita jadikan bulan mulia ini menjadi “sekolah” untuk keluarga dan anak-anak kita. “Ramadhan, marhaban!”
(sumber: hidayatullah/ imam centre/gns)

Selasa, 02 Agustus 2011

PLPG Ternyata Menyenangkan & Kaya Informasi

Di tahun 2011 sertifikasi guru mengalami perubahan secara fundamental. Salah satu diantaranya adalah kuota untuk jalur portofolio dan PLPG sudah ditetapkan. Jalur lain yakni Pemberian Sertifikat Pendidik Langsung (PSPL). Guru yang akan mengikuti PLPG terdiri dari guru yang sejak awal memilih jalur PLPG dan guru yang memilih jalur portofolio akan tetapi tidak lulus tes awal.
Benarkah jalur PLPG ternyata lebih efektif mencetak guru profesional? Berikut penelusuran Ganesha di lapangan.
.........................................
“Hebat, mendapat banyak informasi...!”
Seru Dedah, S.Pd., guru SDN 3 Baregbeg saat Ganesha (25/7) menanyakan kesan-kesannya waktu mengikuti Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG). Hal senada juga disampaikan oleh Hj. Cicih Kurniasih, rekan satu tempat mengajar Dedah.
“Menambah wawasan dan pengetahuan,” kata Hj. Cicih.
Mereka berdua telah mengikuti program sertifikasi guru jalur PLPG pada tanggal 6 Juli sampai 16 Juli 2011(gelombang kedua).
Selama mengikuti PLPG, Dedah ditempatkan di Hotel Pajajaran Tasikmalaya bersama 215 peserta lain. Mereka tidak hanya berasal dari Kabupaten Ciamis tetapi ada juga peserta dari Kabupaten Garut dan Tasikmalaya. Menurutnya, para peserta tersebut terbagi atas 6 kelas. Dengan masing-masing kelas terdiri atas 36 orang peserta yang dibagi menjadi 3 kelompok. Sedangkan Hj. Cicih ditempatkan di Hotel Santosa dengan jumlah peserta lebih sedikit, yaitu sekitar 72 orang. Satu kamar diisi oleh 4 orang peserta. Dedah menjelaskan, jadwal kegiatan selama PLPG sangat padat. Mulai dari pukul 7.30 pagi hingga pukul 8.30 malam. Diselingi istirahat beberapa kali untuk makan dan sholat.
Peer Teaching
Selama mengikuti kegiatan tersebut, mereka dibimbing oleh instruktur yang bergelar doktor dan professor. Berasal dari Universitas Siliwangi, UPI dan Universitas Galuh.
Kegiatan ini, menurut Dedah yang mengajar di kelas IV, menekankan pada program perencanaan, pelaksanaan, peragaan dan evaluasi dalam mengajar. Selain itu, ada perubahan dalam RPP, yaitu ada komponen eksplorasi, elaborasi dan konfirmasi serta diselipkan materi pendidikan berkarakter dalam setiap mata pelajaran.
“Maksud dari elaborasi yaitu terwujud kerjasama dan diskusi diantara para siswa. Sedangkan konfirmasi adalah penguatan materi yang telah disampaikan dengan meluruskan materi-materi yang kurang jelas”, terang Dedah yang pernah meraih gelar Juara ketiga Guru Berprestasi tahun 2008 tingkat Kabupaten Ciamis.
Materi yang disampaikan dalam PLPG, menurut Hj. Cicih, diantaranya adalah cara menyusun RPP dan PTK. Para peserta sebelum mengikuti PLPG ditugaskan membuat RPP dan PTK. Tugas tersebut kemudian dibahas bersama peserta lain dan instruktur. Para peserta dibimbing oleh instruktur bagaimana cara menyusun RPP dan PTK yang benar. Dengan RPP yang baru tersebut diharapkan anak-anak lebih aktif dan kreatif.
Selain itu, mereka diharuskan mempraktekan cara mengajar (peer teaching) dihadapan rekan-rekannya yang lain dengan diamati oleh instruktur. Usai praktek mengajar, instruktur memberikan penilaian dan pengarahan pada peserta tentang bagaimana cara mengajar yang benar.
“Peer teaching ini dilakukan 2 kali ditambah 1 kali ujian peer teaching”, jelas Hj. Cicih yang mempunyai pengalaman mengajar selama 34 tahun.
Pada saat awal kegiatan, Dedah menerangkan, para peserta diharuskan menjalani pre test. Kemudian pada hari terakhir mereka diharuskan menjalani post tes. Nilai-nilai tersebut disatukan dengan nilai lain yang diberikan instruktur pada peserta saat mengikuti pelatihan. Hasil akumulasi nilai ini sangat menentukan kelulusan peserta.
“Yang telah mengikuti PLPG tidak otomatis lulus sertifikasi”, jelas Hj. Cicih. Nilai sertifikasi dan kelulusan dapat dilihat di kampus UNSIL.
Langsung Diterapkan
Dedah mengharapkan, setelah mengikuti PLPG guru harus benar-benar professional. Melaksanakan tugas dengan baik sesuai peraturan.
“Setelah dipraktekan di kelas ternyata respon anak-anak sangat bagus”, ujar Dedah mencoba menerapkan ilmu yang diperolehnya selama PLPG.
Kepala SDN 3 Baregbeg Dede Kurniasih berpendapat, para guru yang baru mengikuti PLPG tersebut kinerjanya meningkat.
“Mereka terlihat lebih kreatif, lebih bagus mengajarnya dan lebih semangat”, jelasnya. Diapun berharap agar kinerja yang sudah bagus tersebut tetap dipertahankan.
“Apalagi saat ini pemerintah telah banyak memberikan perhatian pada guru”, kata Dede. Dia pun menilai, program sertifikasi melalui jalur PLPG hasilnya lebih bagus dibanding melalui jalur portofolio.
“Kalau hasil PLPG dipraktekkan di sekolah, Insyaalloh kualitas pendidikan akan meningkat”, pungkas Dede.
Dedah dan Hj. Cicih juga memberikan tips-tips yang diberikanuntuk para calon peserta PLPG angkatan berikutnya. Agar mereka dapat mengikuti kegiatan ini dengan baik dan lancar.
Tips yang pertama adalah menjaga kesehatan.“Makan yang cukup dan banyak makan buah-buahan dan sayuran”, terang Dedah.
Tips berikutnya, selama di kelas para peserta harus aktif. Bila ada yang tidak jelas harus berani bertanya pada instruktur. Dan jangan takut menjawab bila disodori pertanyaan oleh instruktur.
“Para instruktur memberikan perhatian pada peserta yang aktif. Mereka memberikan poin penilaian untuk peserta yang bertanya atau menjawab pertanyan. Jangan takut salah dalam menjawab”, kata Dedah. Tips terakhir adalah mengerjakan tugas-tugas yang diberikan instruktur. Jangan sampai ada yang tertinggal. “PLPG itu menyenangkan dan tidak menakutkan. Tak usah membawa uang banyak karena makanan dan keperluan lain sudah disediakan panitia.” ujar keduanya.
(Arief/ap/Ganesha)

Sehatkah Anak Guru Bersekolah di Tempat Orang Tuanya?

Guru sebagaimana juga orang tua yang memiliki anak pasti akan menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah yang baik dan mendukung. Para guru justru dianggap orang yang sangat selektif dalam memilih sekolah karena dia sangat mengerti dengan pandidikan. Lalu, bagaimana jika pilihannya adalah menyekolahkan anak di tempat dia bekerja. Sehatkah ini ?.
Beberapa guru banyak yang menyekolahkan anaknya di sekolah tempatnya bekerja dengan berbagai alasan. Ada yang beralasan supaya bisa sekalian berangkat bekerja dan mengantar anak sehingga lebih praktis dan ekonomis. Apalagi jika mengingat usia anaknya yang masih anak-anak dan perlu pengawasan. Dalam usia-usia seperti ini memang masih wajar jika anak bersekolah mengikuti orang tuanya. “Jika anak saya bersekolah di sekolah lain maka biaya yang dikeluarkan akan lebih besar, harus nambah ongkos, juga harus ada pembantu untuk menjemputnya. Jadi, saya putuskan untuk ikut bersekolah di tempat saya bekerja meskipun ada sekolah di tempat saya tinggal” ungkap Elis guru SD yang memiliki anak usia 8 tahun.
Alasan lain yang dikemukakan adalah agar lebih mudah mengawasi anak. Beberapa guru menyekolahkan anak karena alasan ini. Mereka beralasan jika anaknya bersekolah di luar takut terkena pengaruh buruk terutama jika anak mereka pada usia-usia rawan seperti usia SMP atau SMA. “Pergaulan saat ini memang cukup rawan jadi saya putuskan anak saya bersekolah di tempat saya bekerja biar lebih mudah memantaunya. Apalagi anak saya seorang perempuan”ungkap Asep seorang guru SMA.
Selain alasan tersebut, ada juga alasan memberikan pendidikan yang baik bagi anak. Hal itu terjadi jika sekolah tempat orang tuanya bekerja merupakan sekolah favorit. Jadi, tidak ada pilihan lain bagi anaknya bersekolah di tempat orang tuanya bekerja agar mendapatkan pendidikan yang baik kepada anaknya. “Menurut saya justru jika seorang guru, anaknya saja disekolahkan di sekolah lain berarti dia tidak mengakui keunggulan sekolah, tempatnya mengajar. Kalau sudah begini, bagaimana orang lain percaya pada sekolahnya !” ungkap Efendi, seorang guru di sekolah favorit dengan tegas.
Senada dengan Effendi, salah seorang kepala sekolah di sebuah SMP di Ciamis malah menganjurkan agar para guru menyekolahkan anak di tempatnya bekerja. Hal itu, selain untuk menunjukkan kualitas sekolah kepada masyarakat juga untuk menambah jumlah siswa. Apalagi saat ini sekolah berlomba-lomba menambah jumlah siswa karena ada kewajiban sertifikasi guru mengajar 24 jam. “Saya melihat sangat ironis ketika gurunya menyekolahkan di tempat lain sedangkan di berkoar-koar agar para lulusan bersekolah di tempatnya bekerja” ungkap kepala sekolah yang enggan dituliskan namanya itu.
Anak guru bersekolah di tempat orang tuanya bekerja memang sah dan tidak melanggar hukum. Akan tetapi, memang harus diakui biasanya muncul berbagai persoalan sosial dan psikologis di sekolah ketika seorang anak guru bersekolah di tempat orang tuanya bekerja. Salah satunya adalah anak menjadi manja dan kurang mandiri karena merasa selalu dekat dengat orang tuanya. Anak menjadi tidak terlatih jauh dari orang tua. Jika ada apa-apa tinggal panggil orang tuanya.
Menurut seorang psikolog anak, Armiya, salah satu hal yang dapat melatih kemandirian adalah jauh dari orang tua. “Saya melihat bahwa anak-anak yang kos, misalnya cenderung lebih bisa mendiri dibandingkan anak yang tinggal dan bersekolah dengan orang tuanya” jelas Armiya.
Dampak lain adalah seringnya terjadi kecemburuan dari anak-anak lain apalagi jika anak tersebut menjadi rangking terbaik. Sudah sering muncul istilah kalau anak guru rangking pertama sangat sulit disaingi oleh anak-anak yang lain karena akan dibantu orang tuanya. Atau ada juga yang sering mengungkapkan bahwa jika anak guru jadi rangking pertama hal itu karena nepotisme orang tuanya. Apalagi kalau guru tersebut mengajar anaknya secara langsung. “Anak saya cukup pandai dan berhasil menjadi rangking tiga di kelasnya namun untuk menjadi rangking dua dan rangking satu rasanya sulit karena keduanya adalah anak guru di sekolah itu”ungkap Komar orang tua siswa yang kini duduk di kelas delapan sebuah SMP swasta.
Keberadaan anak guru di sekolah tempatnya bekerja juga sering membuat rekan guru lain canggung dalam memberikan penilaian. Beberapa guru menjadi serba salah jika memberikan nilai rendah terhadap anak rekannya apalagi kalau orang tua dari anak tersebut adalah guru senior atau guru yang pangkatnya lebih tinggi. Biasanya para guru mencari aman dengan tidak memberikan nilai rendah kepada anak guru rekannya itu. Atau juga malah sebaliknya jika seorang guru tidak suka dengan orang tua si anak bisa saja akan mempengaruhi nilai si anak.
Melihat beberapa efek negatif itu maka sangat disarankan agar anak guru tidak bersekolah di tempat orang tuanya apalagi jika anak memasuki usia remaja seperti SMP dan SMA. Hal tersebut diungkapkan pengamat pendidikan, Sartono. Menurutnya, boleh saja guru menyekolahkan anak di tempatnya bekerja tetapi jangan terus-terusan sampai tingkat atas karena akan mempengaruhi mental dan psikologis anak. “Menurut saya kalau pada usia-usia anak-anak bolehlah dia ikut orang tuanya bersekolah tetapi pada tingkat remaja seperti SMP, SMA atau Perguruan Tinggi sebaiknya dia disekolahkan di sekolah lain agar membuatnya mandiri” jelas Sartono.
Hal senada diungkapkan Andi, seorang lulusan SMA Ciamis yang kini diterima menjadi mahasiswa PTN di Bandung. Menurutnya, salah satu alasan melanjutkan pendidikan di kota besar adalah belajar mandiri dan mengenal lingkungan baru yang mungkin berbeda dengan lingkungannya selama ini. “Di Bandung saya sudah kenal teman-teman dari seluruh Indonesia bahkan dari luar negeri, hal ini menambah pengalaman bagi saya. Saya juga akan jadi anak kos yang membuat saya mudah-mudahan akan lebih mandiri lagi” harapnya.
Menurut Andi, mungkin di daerahnya jika dilihat dari pendidikan saat ini sudah sama dengan di kota besar tetapi di kota besar dia akan menjumpai berbagai hal baru yang tidak dijumpai di daerahnya. “Jadi, bukan hanya belajar di sekolahnya saja tetapi juga belajar dari lingkungannya” tambah Andi.
Sementara itu, hal yang unik bisa kita jumpai di pesantren-pesantren. Beberapa kiai di pesantren yang ditemui Ganesha mengungkapkan kalau mereka menyekolahkan anak di pesantren lain dan bukan di pesantrennya. Tak jarang jarak pesantrennya cukup jauh. Para Kiai tersebut beralasan agar anak-anak mandiri dan memiliki pengalaman di tempat yang baru. “Selain itu, jika dipesantrenkan di sini rata-rata mereka manja dan susah diatur karena merasa orang tuanya pimpinan pesantren” ungkap Kiai Hidayat salah seorang pimpinan pondok pesantren.
Menurut Kiai Hidayat, di pesantrennya juga dia mendidik anak dari kiai lain sahabatnya. Jadi, biasanya antara para kiai sering terjadi titip menitip mendidik anak dan hal itu sudah lumrah dilakukan di kalangan pesantren.
Seorang pengamat pendidikan anak lain mengungkapkan bahwa sebenarnya menyekolahkan anak baik bagi guru ataupun orang yang lainnya memang memiliki berbagai dimensi. Selain dimensi ekonomi, ada juga dimensi psikologi dan edukasi. Oleh karena itu, jika dilihat secara psikologis dan edukasi menurutnya seorang anak guru akan lebih baik jika disekolahkan di sekolah lain tetapi jika secara ekonomis tidak mendukung maka menyekolahkan anak di tempat orang tuanya terpaksa dilakukan.
Menurutnya, jika memang terpaksa, anak guru bersekolah di tempat orang tuanya bekerja maka harus dilakukan langkah-langkah antisipasi baik dari orang tua, rekan guru, maupun sekolah. Dalam pengaturan jadwal, perlakuan dan sikap dari para guru juga harus mempertimbangkan kondisi mental dan psikologis anak, teman-temannya serta guru-gurunya.
Dalam pergaulan sehari-hari di sekolah, anak-anak guru tersebut harus diperlakukan sama dengan anak-anak lainnya. Begitu juga para guru harus memperlakukan sama antara anak guru dengan lainnya. Orang tua anak juga harus memahami secara objektif kemampuan anaknya jika memang dinilai rendah oleh guru yang lain.
Sekolah juga harus proporsional dalam memberi kesempatan kepada semua siswa sehingga tidak terkesan anak guru diistimewakan. Bahkan, jika dinilai berpengaruh buruk pada anak tersebut, sebaiknya sekolah lebih baik mengambil kebijakan agar anak tersebut tidak diajar oleh orang tuanya.
Secara umum, harus diakui memang umumnya anak-anak guru memiliki potensi kecerdasan yang lebih baik dibandingkan dengan anak-anak lainnya. Hal ini mungkin karena orang tuanya adalah orang yang mengerti cara mendidik anak. Oleh karena itu, penanganan anak-anak guru, harus benar-benar baik agar potensi mereka dapat berkembang lebih baik di masa mendatang.
(Nana Ramdhana)
Guru sebagaimana juga orang tua yang memiliki anak pasti akan menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah yang baik dan mendukung. Para guru justru dianggap orang yang sangat selektif dalam memilih sekolah karena dia sangat mengerti dengan pandidikan. Lalu, bagaimana jika pilihannya adalah menyekolahkan anak di tempat dia bekerja. Sehatkah ini ?.
Beberapa guru banyak yang menyekolahkan anaknya di sekolah tempatnya bekerja dengan berbagai alasan. Ada yang beralasan supaya bisa sekalian berangkat bekerja dan mengantar anak sehingga lebih praktis dan ekonomis. Apalagi jika mengingat usia anaknya yang masih anak-anak dan perlu pengawasan. Dalam usia-usia seperti ini memang masih wajar jika anak bersekolah mengikuti orang tuanya. “Jika anak saya bersekolah di sekolah lain maka biaya yang dikeluarkan akan lebih besar, harus nambah ongkos, juga harus ada pembantu untuk menjemputnya. Jadi, saya putuskan untuk ikut bersekolah di tempat saya bekerja meskipun ada sekolah di tempat saya tinggal” ungkap Elis guru SD yang memiliki anak usia 8 tahun.
Alasan lain yang dikemukakan adalah agar lebih mudah mengawasi anak. Beberapa guru menyekolahkan anak karena alasan ini. Mereka beralasan jika anaknya bersekolah di luar takut terkena pengaruh buruk terutama jika anak mereka pada usia-usia rawan seperti usia SMP atau SMA. “Pergaulan saat ini memang cukup rawan jadi saya putuskan anak saya bersekolah di tempat saya bekerja biar lebih mudah memantaunya. Apalagi anak saya seorang perempuan”ungkap Asep seorang guru SMA.
Selain alasan tersebut, ada juga alasan memberikan pendidikan yang baik bagi anak. Hal itu terjadi jika sekolah tempat orang tuanya bekerja merupakan sekolah favorit. Jadi, tidak ada pilihan lain bagi anaknya bersekolah di tempat orang tuanya bekerja agar mendapatkan pendidikan yang baik kepada anaknya. “Menurut saya justru jika seorang guru, anaknya saja disekolahkan di sekolah lain berarti dia tidak mengakui keunggulan sekolah, tempatnya mengajar. Kalau sudah begini, bagaimana orang lain percaya pada sekolahnya !” ungkap Efendi, seorang guru di sekolah favorit dengan tegas.
Senada dengan Effendi, salah seorang kepala sekolah di sebuah SMP di Ciamis malah menganjurkan agar para guru menyekolahkan anak di tempatnya bekerja. Hal itu, selain untuk menunjukkan kualitas sekolah kepada masyarakat juga untuk menambah jumlah siswa. Apalagi saat ini sekolah berlomba-lomba menambah jumlah siswa karena ada kewajiban sertifikasi guru mengajar 24 jam. “Saya melihat sangat ironis ketika gurunya menyekolahkan di tempat lain sedangkan di berkoar-koar agar para lulusan bersekolah di tempatnya bekerja” ungkap kepala sekolah yang enggan dituliskan namanya itu.
Anak guru bersekolah di tempat orang tuanya bekerja memang sah dan tidak melanggar hukum. Akan tetapi, memang harus diakui biasanya muncul berbagai persoalan sosial dan psikologis di sekolah ketika seorang anak guru bersekolah di tempat orang tuanya bekerja. Salah satunya adalah anak menjadi manja dan kurang mandiri karena merasa selalu dekat dengat orang tuanya. Anak menjadi tidak terlatih jauh dari orang tua. Jika ada apa-apa tinggal panggil orang tuanya.
Menurut seorang psikolog anak, Armiya, salah satu hal yang dapat melatih kemandirian adalah jauh dari orang tua. “Saya melihat bahwa anak-anak yang kos, misalnya cenderung lebih bisa mendiri dibandingkan anak yang tinggal dan bersekolah dengan orang tuanya” jelas Armiya.
Dampak lain adalah seringnya terjadi kecemburuan dari anak-anak lain apalagi jika anak tersebut menjadi rangking terbaik. Sudah sering muncul istilah kalau anak guru rangking pertama sangat sulit disaingi oleh anak-anak yang lain karena akan dibantu orang tuanya. Atau ada juga yang sering mengungkapkan bahwa jika anak guru jadi rangking pertama hal itu karena nepotisme orang tuanya. Apalagi kalau guru tersebut mengajar anaknya secara langsung. “Anak saya cukup pandai dan berhasil menjadi rangking tiga di kelasnya namun untuk menjadi rangking dua dan rangking satu rasanya sulit karena keduanya adalah anak guru di sekolah itu”ungkap Komar orang tua siswa yang kini duduk di kelas delapan sebuah SMP swasta.
Keberadaan anak guru di sekolah tempatnya bekerja juga sering membuat rekan guru lain canggung dalam memberikan penilaian. Beberapa guru menjadi serba salah jika memberikan nilai rendah terhadap anak rekannya apalagi kalau orang tua dari anak tersebut adalah guru senior atau guru yang pangkatnya lebih tinggi. Biasanya para guru mencari aman dengan tidak memberikan nilai rendah kepada anak guru rekannya itu. Atau juga malah sebaliknya jika seorang guru tidak suka dengan orang tua si anak bisa saja akan mempengaruhi nilai si anak.
Melihat beberapa efek negatif itu maka sangat disarankan agar anak guru tidak bersekolah di tempat orang tuanya apalagi jika anak memasuki usia remaja seperti SMP dan SMA. Hal tersebut diungkapkan pengamat pendidikan, Sartono. Menurutnya, boleh saja guru menyekolahkan anak di tempatnya bekerja tetapi jangan terus-terusan sampai tingkat atas karena akan mempengaruhi mental dan psikologis anak. “Menurut saya kalau pada usia-usia anak-anak bolehlah dia ikut orang tuanya bersekolah tetapi pada tingkat remaja seperti SMP, SMA atau Perguruan Tinggi sebaiknya dia disekolahkan di sekolah lain agar membuatnya mandiri” jelas Sartono.
Hal senada diungkapkan Andi, seorang lulusan SMA Ciamis yang kini diterima menjadi mahasiswa PTN di Bandung. Menurutnya, salah satu alasan melanjutkan pendidikan di kota besar adalah belajar mandiri dan mengenal lingkungan baru yang mungkin berbeda dengan lingkungannya selama ini. “Di Bandung saya sudah kenal teman-teman dari seluruh Indonesia bahkan dari luar negeri, hal ini menambah pengalaman bagi saya. Saya juga akan jadi anak kos yang membuat saya mudah-mudahan akan lebih mandiri lagi” harapnya.
Menurut Andi, mungkin di daerahnya jika dilihat dari pendidikan saat ini sudah sama dengan di kota besar tetapi di kota besar dia akan menjumpai berbagai hal baru yang tidak dijumpai di daerahnya. “Jadi, bukan hanya belajar di sekolahnya saja tetapi juga belajar dari lingkungannya” tambah Andi.
Sementara itu, hal yang unik bisa kita jumpai di pesantren-pesantren. Beberapa kiai di pesantren yang ditemui Ganesha mengungkapkan kalau mereka menyekolahkan anak di pesantren lain dan bukan di pesantrennya. Tak jarang jarak pesantrennya cukup jauh. Para Kiai tersebut beralasan agar anak-anak mandiri dan memiliki pengalaman di tempat yang baru. “Selain itu, jika dipesantrenkan di sini rata-rata mereka manja dan susah diatur karena merasa orang tuanya pimpinan pesantren” ungkap Kiai Hidayat salah seorang pimpinan pondok pesantren.
Menurut Kiai Hidayat, di pesantrennya juga dia mendidik anak dari kiai lain sahabatnya. Jadi, biasanya antara para kiai sering terjadi titip menitip mendidik anak dan hal itu sudah lumrah dilakukan di kalangan pesantren.
Seorang pengamat pendidikan anak lain mengungkapkan bahwa sebenarnya menyekolahkan anak baik bagi guru ataupun orang yang lainnya memang memiliki berbagai dimensi. Selain dimensi ekonomi, ada juga dimensi psikologi dan edukasi. Oleh karena itu, jika dilihat secara psikologis dan edukasi menurutnya seorang anak guru akan lebih baik jika disekolahkan di sekolah lain tetapi jika secara ekonomis tidak mendukung maka menyekolahkan anak di tempat orang tuanya terpaksa dilakukan.
Menurutnya, jika memang terpaksa, anak guru bersekolah di tempat orang tuanya bekerja maka harus dilakukan langkah-langkah antisipasi baik dari orang tua, rekan guru, maupun sekolah. Dalam pengaturan jadwal, perlakuan dan sikap dari para guru juga harus mempertimbangkan kondisi mental dan psikologis anak, teman-temannya serta guru-gurunya.
Dalam pergaulan sehari-hari di sekolah, anak-anak guru tersebut harus diperlakukan sama dengan anak-anak lainnya. Begitu juga para guru harus memperlakukan sama antara anak guru dengan lainnya. Orang tua anak juga harus memahami secara objektif kemampuan anaknya jika memang dinilai rendah oleh guru yang lain.
Sekolah juga harus proporsional dalam memberi kesempatan kepada semua siswa sehingga tidak terkesan anak guru diistimewakan. Bahkan, jika dinilai berpengaruh buruk pada anak tersebut, sebaiknya sekolah lebih baik mengambil kebijakan agar anak tersebut tidak diajar oleh orang tuanya.
Secara umum, harus diakui memang umumnya anak-anak guru memiliki potensi kecerdasan yang lebih baik dibandingkan dengan anak-anak lainnya. Hal ini mungkin karena orang tuanya adalah orang yang mengerti cara mendidik anak. Oleh karena itu, penanganan anak-anak guru, harus benar-benar baik agar potensi mereka dapat berkembang lebih baik di masa mendatang.
(Nana Ramdhana)

Segala Kepribadiannya Selalu Diperhatikan Siswa

Guru Harus Jadi Entertainer Sejati
Mungkin anda (para guru) saat di bangku kuliah pernah diingkatkan dosen, bahwa guru bisa diibaratkan seorang artis. Setiap penampilannya akan selalu diperhatikan oleh siswa dari ujung rambut hingga ujung kaki. Di era sekarang, bukan saja penampilan yang diperhatikan siswa. Kepribadian dan cara mengajar pun bahkan selalu menjadi sorotan.
........................................
Ibaratnya artis, guru setiap hari selalu manggung. Panggung guru yang paling pokok adalah kelas dan seputar lingkungan sekolah, kemudian masyarakat di tempatnya tinggal. Penonton dan penikmatnya yang memiliki ‘karcis’ adalah para siswa di depan atau di sekitar sang guru, dengan tempat dan jam tayang yang sudah diprogram.
Ini berarti guru harus mempunyai keahlian khusus memuaskan penontonnya (siswa), bahkan bukan hanya itu juga harus memberikan sesuatu pada siswa berupa pengetahuan, wawasan, dan nilai-nilai kehidupan. Bila artis lebih fokus memberikan hiburan dan kesenangan belaka, maka guru lebih komprehensif lagi. Lebih dari itu. Artinya lebih berat dari sekedar ‘tugas keartisan.’ Namun, walaupun guru bukan artis, minimal, ia bisa menguasai dasar-dasar ke-intertaineran.
“Bagusnya sih, dalam hal ini, guru dituntut menjadi seorang entertainer sejati untuk selalu menampilkan perannya ‘keartisan’ (pendidik) dengan baik, bila ingin disukai oleh siswanya, dan tujuan pembelajaran dapat tersampaikan dengan efektif,” ujar seorang guru SMA di Kabupaten Bandung Barat.
Karena diibarakan artis, maka anak didik akan selalu memperhatikan guru. Helmi Bakar, seorang guru di Kota Jambi mengatakan, seorang pengajar atau seorang pendidik adalah insan yang dijadikan contoh oleh anak didik mereka. Apa yang dikerjakannya, apa yang diperbuatnya, malahan apa dan bagaimana sikap, tindak tanduknya, perkataannya setiap saat akan diperhatikan oleh anak didik mereka.
“Jadi apa saja yang diperlihatkan oleh seorang pengajar kepada anak didik mereka, maka semuanya akan menjadi perhatian bagi anak didiknya.” Kata Helmi.
Kadisdik Ciamis. H.Akasah menuturkan bahwa para anak didik selalu menilai perilaku gurunya. Bahkan bukan hanya dalam pergaulan mereka dengan temannya di dunia nyata, mereka pun kerap mendiskusikannya di dunia maya yaitu jejaring sosial seperti facebook atau twitter. “Makanya para guru tetap berprilaku guru, baik di sekolah maupun luar sekolah.” ujar Akasah, senin (11/7/2011).
Karena selalu menjadi perhatian siswa, maka hal pertama yang harus ditonjolkan guru di depan anak didik adalah asfek kepribadian. Bukan kepribadian materi (mobil pribadi, laptop pribadi, handphone pribadi), namun berupa gambaran bagaimana individu guru tampil dan menimbulkan kesan positif bagi individu-individu siswa dan yang lainnya.
Secara praktis, kepribadian adalah semua corak perilaku dan kebiasaan individu yang terhimpun dalam dirinya dan digunakan untuk bereaksi serta menyesuaikan diri terhadap segala rangsangan baik dari luar maupun dari dalam. Corak perilaku dan kebiasaan ini merupakan kesatuan fungsional yang khas pada seseorang. Perkembangan kepribadian tersebut bersifat dinamis, artinya selama individu guru masih bertambah pengetahuannya dan mau belajar serta menambah pengalaman dan keterampilan, mereka akan semakin matang dan mantap kepribadiannya.
Tolak Ukur
Kepribadian guru akan selalu dijadikan sebagai tolok ukur. Maka hal ini menjadi sesuatu yang harus selalu diperhatikan oleh pengajar atau pendidik. Menurut Dr. Hj. Zakiah Daradjat, kepribadian itu akan menentukan apakah guru akan menjadi pendidik dan pembina yang baik bagi anak didiknya, ataukah akan menjadi perusak atau penghancur bagi hari depan anak didik terutama bagi anak didik yang masih kecil (tingkat sekolah dasar) dan mereka yang sedang mengalami kegoncangan jiwa (tingkat menengah).
Sering kita dengar oknum pendidik yang tidak berjiwa pendidik, yang tidak mempu-nyai kepribadian sebagai seorang pendidik. Dengan tanpa berpikir panjang oknum tersebut mengadakan hubungan yang tidak wajar dengan anak didik mereka. Misalnya kencan dengan anak didik, berdua-duaan dengan anak didik di tempat yang tersembunyi, sering mengunjungi rumah anak didik dan yang sejenis dengan itu.
Perlakuan, perbuatan seperti itu akan menimbulkan suatu suasana yang tidak baik bagi anak didik, malahan suasana seperti demikian akan mendatangkan kagaduhan, pergunjingan.
Seperti yang dikatakan oleh Zakiah Darajat, apabila para anak didik tidak mampu menyaring dengan baik apa yang dipertontonkan oleh oknum pendidik tersebut, maka ini akan membawa siswa tersebut ke jurang yang negatif, ke kelakuan yang tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku di tengah-tengah masyarakat, dan juga norma agama dan norma yang berlaku di dalam aturan negara. Oleh sebab itu seorang tenaga pengajar atau pendidik harus selalu mengontrol dirinya, sehingga kepribadiannya selalu mencerminkan suatu tindak-tanduk yang bernorma pendidik.
Seorang tenaga pendidik, apa lagi kalau mengajar itu di SLTP dan SLTA, segala sikapnya perlu diperhitungkan dengan sematang-matangnya. Sebab siswa, di SLTA adalah siswa yang sudah mulai kritis dan bersikap berani. Mereka tidak selamanya mau didikte lagi oleh guru-guru mereka. Apa lagi kalau siswa tersebut orang tuanya termasuk yang the have. Biasanya siswa yang orang tuanya mampu dalam bidang material ini, mereka lebih berani dan selalu percaya diri di dalam segala hal. Apa lagi kalau bapaknya juga memegang peranan di sekolah tersebut, misalnya sebagai ketua atau anggota komite.
Perlakuan, tindak tanduk, sikap seorang pengajar harus benar-benar dijaga dengan baik dan terkontrol. Jangan sampai seorang tenaga pengajar salah di dalam berbuat. Sebab harus diingat, bahwa sebenarnya kepribadian seorang guru dalam sebuah ruang kelas yang sempit saja sudah dapat diukur oleh seorang siswa.
(ap/gns/nt)