Minggu, 19 Juni 2011

Lulusan SMK Lebih Hebat dari Sarjana

Siswa-siswi lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) tak perlu merasa kecil hati. Sebenarnya para pengusaha lebih tertarik merekrut lulusan SMK yang siap pakai, ketimbang sarjana yang hanya siap latih. Benarkah?
..................................................
Nilai plus lulusan SMK bukan isapan jempol belaka. Propaganda pemerintah agar alumni SLTP melanjutkan sekolah ke SMK bukan tanpa alasan. Terbukti lulusan SMK siap pakai dan lebih siap mencari penghidupan.
General Manager PT Bara Alam Utama, Retno Nartani, mengatakan bahwa banyak pengusaha tambang yang lebih suka merekrut lulusan SMK. Selain siap pakai, lulusan SMK pun bayarannya tidak terlalu mahal. Daripada sarjana yang hanya siap latih, sementara bayarannya tinggi.
"Sarjana lebih banyak belajar mengenai teori dan tidak terlatih praktik di lapangan. Berbeda dengan lulusan SMK, saat belajar mereka banyak praktik daripada teori," tandasnya, seperti dikutif salah satu media cetak di Bandung.
Selain itu, lanjut Retno, ada anggapan lulusan perguruan tinggi atau sarjana itu manja. Saat keluar dari perguruan tinggi dan mendapatkan pekerjaan, mereka langsung ingin mendapatkan posisi yang tinggi.
"Padahal kenyataan di lapangan, mereka harus menjadi pekerja lapangan dulu untuk penerapan perencanaan dan belajar berinteraksi dengan berbagai kalangan," ujarnya.
Karena keunggulannya itu, tak heran bila pemerintah memprioritaskan SMK. Setiap tahun lulusan SMK dikembangkan dan diperbanyak jumlahnya dibandingkan dengan SMA. Pemerintah menargetkan tahun 2015, perbandingan jumlah sekolah menengah kejuruan (SMK) dan sekolah menengah atas (SMA) di Indonesia mencapai 70 persen banding 30 persen. Kebijakan tersebut dilatarbelakangi kenyataan komposisi tenaga kerja Indonesia mayoritas unskill workers (pekerja yang tidak punya skill atau kompetensi di bidangnya). Dengan program bersekolah ke SMK prestasi pelajar-pelajar SMK akan semakin baik dalam kompetensi akademik maupun kompetensi keterampilan kerja.

Bekerja ke Luar Negeri
Khusus untuk Kabupaten Ciamis, jumlah lulusan SMK cenderung terus bertambah. Berbagai SMK dalam beberapa tahun terakhir di tiap kecamatan terus bertambah. Namun sayangnya banyak lulusan SMK yang berkualitas terhambat oleh sikap orang tua. Hal ini diungkapkan oleh salah seorang kepala SMK di Ciamis. Menurutnya, para siswa lulusannya sebenarnya banyak ditawari kerja dan sekolah di luar negeri namun orang tuanya tidak mengizinkan dengan alasan takut jauh dari orang tua dan berbagai alasan lain.
“Jadinya, kesempatan para lulusan mendapatkan pendidikan dan pengalaman yang lebih baik di luar negeri tidak tercapai. Ini juga rupanya menjadi salah satu kendala dalam peningkatan SDM kita untuk bisa go-internasional.” ujar sang kepsek yang tak mau disebutkan namanya tersebut.
Sebenarnya para orangtua tak perlu cemas bila anaknya ingin mengadu nasib di luar negeri. Pertama, pihak SMK biasanya memiliki program pelatihan magang ke luar negeri. Hal itu bisa dipergunakan untuk melatih keberanian bekerja di luar negeri, seperti ke Korea Selatan, Jepang atau ke Timur Tengah. Kedua, asal pintar memilih peluang karir di luar negeri, dengan prosedur resmi, maka tak perlu risau bila buah hatinya jauh dari tanah air.
Terlebih bahwa pemerintah Indonesia telah menyepakati pengiriman tenaga kerja Indonesia (TKI) formal/ terlatih ke berbagai negara. Contohnya Singapura. Menakertrans, Muhaimin Iskandar, dalam kunjungannya ke Singapura bersama rombongan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono beberapa waktu lalu, sepakat untuk membuka kesempatan kerja yang cukup luas bagi TKI formal di Singapura. Peluang ini, harus dapat dimanfaatkan oleh para lulusan SMK untuk berani bekerja di luar negeri
''Kementerian Tenaga Kerja Singapura memprediksi kebutuhan pasar kerja sektor formal akan meningkat. Kita harus memanfaatkan peluang besar ini,'' kata Menakertrans
Menakertrans menjelaskan, Atase Tenaga Kerja Indonesia di Singapura telah memberikan laporan perihal banyaknya lowongan tenaga kerja formal di sana. Sektor yang bisa diisi oleh TKI antara lain adalah, bidang elektronik, manufaktur, disain produksi manufaktur, teknikal, dan aeronautikal engineering, biomedical, ahli teknologi lingkungan, energi dan air.
Dalam pertemuan ini diperoleh keterangan bahwa UEA pun memiliki banyak lowongan kerja bagi TKI profesional. Antara lain di sektor minyak dan gas, properti, telekomunikasi, perkapalan, perhotelan, restoran, serta café para tenaga medis seperti perawat dan pekerja semi-skilled lainnya.
Jumhur merinci tiap satu perusahaan di Malaysia menyatakan kebutuhan rata-rata 500 orang TKI. Dari 57 perusahaan di Malaysia yang telah mendaftarkan diri, sanggup menampung lebih 200 ribu TKI. Indonesia memanfaatkan peluang tersebut secara maksimal dengan mengirim tenaga terampil.

Filosofi Mencari Ilmu ke Negeri Cina
Para orangtua harus paham bahwa mencari pekerjaan di luar negeri ibaratnya sama dengan filosofi “mencari ilmu ke negeri Cina”. Di mana pun atau ke mana-pun, bekerja tak perlu terhalang tempat.
Lulusan yang sering mendapatkan sikap seperti ini umumnya perempuan. Padahal lulusan perempuan umumnya banyak berprestasi dibandingkan laki-laki, tetapi karena kendala orang tua dan keluarga, maka kesempatan mereka untuk melanjutkan ke sekolah yang lebih baik menjadi terhambat. Masih adanya anggapan bahwa wanita tidak usah sekolah tinggi-tinggi meskipun pintar karena toh akan ke dapur juga, masih sering kita dengar saat ini.
Padahal, tak memandang laki-laki atau perempuan kesempatan bekerja di luar negri sangat terbuka. Menurut pakar TI, Onno W Purbo, soal kompetisi sumber daya manusia (SDM), di luar negeri, hasil karya sangat diandalkan.
”Orang luar negeri kalau mencari tenaga TI tidak membutuhkan surat lamaran, hanya melihat hasil karya. Mereka (perusahaan luar negeri) akan mengetahui kemampuan kita,” tandasnya.
Pria yang telah membuat 40-an buku TI tersebut menjelaskan, kurikulum di SMK malah lebih bagus dari pada kurikulum perguruan tinggi.
”Usia yang paling bagus untuk menjadi programer antara 17-25 tahun. Lebih dari itu agak sulit. Tapi, saat ini kurikulum yang ada di perguruan tinggi sudah telat, malah kalah dengan SMK,” kata Onno.
Lulusan SMK jurusan TI, katanya, memi-liki kemampuan dalam pemrograman, se-dangkan di tataran perguruan tinggi belum tentu memiliki. ”Akibatnya, dibanding lulu-san SMK, justru banyak lulusan PT yang tidak terserap di dunia kerja,” jelasnya.
Kini saatnya para orangtua lebih berani melepas anaknya mencari ilmu dengan bekerja di luar negeri. Anggaplah bahwa bekerja tak ubahnya mencari pengetahuan baru. Walau jauh, kata Rasul, ke negeri Cina pun harus dicari.
Zaman sekarang pada dasarnya yang dibutuhkan industri adalah skill dan etos kerja yang mumpuni bukan hanya sekedar teori. Buah hati, baik laki mapun perempuan, punya peluang sama mengembangkan keterampilannya dalam bekerja di mana pun tempatnya. Buktikan bahwa alumni SMK, bisa lebih hebat daripada sarjana!
(Ganesha)

Selasa, 07 Juni 2011

Emosi Guru Harus Dijaga

Siswa Kian Pintar “Mengadu”
Zaman makin canggih. Teknologi bisa membuat seseorang tersenyum gembira atau sebaliknya menangis sedih. Itu sebabnya, kita harus hati-hati mengghadapi kecanggihan teknologi, termasuk para guru. Dengan teknologi, salah-Salah guru terekspose ke publik karena ‘sebuah kelalaian’ .
......................................

Tugas guru adalah mendidik anak bangsa. Mendidik dengan sabar dan penuh tanggung jawab, namun tak jarang guru menghadapi situasi yang memaksanya emosional. Kesabaran hilang, yang ada kemarahan.
Kemarahan guru berpotensi muncul di dalam kelas atau pada saat pengajaran berlangsung. Biangnya juga tak jarang karena anak didik. Anak didik ‘nakal’ tidak mengerjakan tugas, gaduh, atau berlaku kurang sopan, ‘menggoda’ emosi guru. Bahkan, kritik atau sindiran anak didikpun bukan tak mungkin memicu retaknya emosionalitas seorang pendidik.
Bob Wall dalam bukunya berjudul “Coaching For Emotional Intelligence”, mengingatkan bahwa seseorang harus pintar mengasah emosi. Menurut Bob, langkah awal mengasah emosi dimulai dengan memahami diri sendiri. Apa saja kekuatan dan kelemahan diri sendiri adalah langkah awal dalam mengasah emosi orang lain.
“Dengan memahami diri sendiri, terutama titik-titik kelemahan yang bisa membangkitkan emosi (negatif) kita menjadi lebih siap, jika dikritik anak buah (atau dalam hal ini anak didik). Lalu reaksi apa yang kiranya muncul: malu, marah, atau defensifkah?” kata Bob.
Pemahaman ini juga perlu diikuti dengan memikirkan pengontrolan diri. Maksudnya, kalau kita tahu reaksi-reaksi yang muncul bagaimana kita mengontrol diri ketika emosi (negatif) itu muncul. Artinya, malu atau marah, itu boleh karena bersifat alami, tapi bagaimana menampilkan kemarahan atau rasa malu dengan cara yang benar.
Menurut Dewi Dewo, dalam tulisannya di aksiguru.org., selain karena faktor nakalnya anak didik, emosi guru memuncak juga bisa terjadi karena beban pekerjaan yang menggunung. Banyaknya materi pelajaran yang harus diajarkan membuat para guru seringkali merasa kehabisan waktu untuk menyelesaikan target paket yang harus diajarkan. Tapi, ini bukan alasan untuk menganggap para murid hanya sekelompok massa yang sama rata.
“Setidaknya, pasti ada satu atau dua murid yang memerlukan perhatian khusus. Anda bisa mulai dengan memperhatikan mereka yang sering menimbulkan keonaran, yang nilainya jelek, yang suka bolos. Bisa jadi, apa yang diperbuat berpangkal pada ketidak mampuan mereka mengungkapkan diri secara tepat.” Ungkap Dewi.

Hindari Kekerasan
Di kelas, emosi sering diidentikkan dengan kekerasan, baik suara (verbal) atau fisik. Ia bisa berbentuk perkataan yang keras, kasar, seronok, atau berbentuk gerak fisik yang tak terkontrol seperti menampar, memukul, menjiwir, menendang, mendorong, dan sejenisnya. Namun emosi pun sebenarnya seperti frekuensi volume suara yang bisa kita naikkan atau turunkan sesuai dengan kemauan mengendalikan omosi diri.
Sebagai seorang pendidik, hal yang sangat vital adalah memanajemen emosi menjadi daya yang positif. Jangan sampai emosi seorang pendidik menjadi bumerang bagi dirinya atau bahkan bagi dunia pendidik secara keseluruhan.
“Guru harus fokus pada tugasnya men-didik. Tapi mendidik itu jangan sampai mem-buat siswa tersiksa, tersakiti atau terani-aya,” ujar Ganjar M.Yusuf, anggota DPRD Ciamis pada media massa, baru-baru ini.
Intinya jelas, guru harus menghindarii perkataan yang bakal menyakitkan anak didik. Melukai perasaannya, atau menghindari perlakuan fisik yang melukai siswa, baik luka hati, termasuk juga luka fisik. Kontrol emosi perlu, jangan sampai maksud baik menjadi petaka karena salah cara. Jangan sampai maksud mendidik jadi salah karena kebablasan emosi.

Kian Gampang Terekspos
Guru yang sopan dan menyenangkan saat mengajar, jumlahnya sangat banyak, namun jarang terdengar ceritanya. Sebaliknya ketika ada satu dua orang guru yang lepas emosi, khilaf memarahi anak didik, sangat gampang terekspos ke publik.
Sekarang anak cenderung lebih banyak punya tempat mengadu. Bila ada masalah di sekolah, selain ke orangtua, juga mereka berani mengadu ke lembaga berwajib atau lembaga kepolisian, atau Komnas Perlindungan Anak, wakil rakyat dan lainnya.
Selain itu, saat ini para siswa sangat dekat dengan teknologi komunikasi dan informasi. Internet dan media massa, menjadi dua hal yang paling mudah digunakan atau ‘dikoneksi “ anak sekolah. Ketika ada hal yang tidak menyenangkan, menyakiti dirinya, merasa diperlakukan tidak adil, anak zaman sekarang lebih pintar ke mana ‘peristiwa atau kejadian itu’ harus dikirimkan. Terlebih mereka pun didukung alat canggih di tangannya, seperti handphone dengan berbagai fitur keren, atau laptop/neetbook, maka akses koneksi ke media menjadi hal yang enteng dilakukan.
Kita tak ingin, kepintaran anak didik kita menggunakan kecanggihan teknologi komunikasi, kian terlihat menonjol ketika ia berhasil ‘sending’ (mengirimkan) file rekaman saat guru berbuat khilap di depan mereka. Jangan sampai, “karena nila setitik, rusak susu sebelanga.” Hanya karena lemah mengontrol emosi, nama baik diri dan lembaga jadi tercoreng.
(apon/ganesha)

Dicari, Sekolah yang Benar-benar Berkualitas

Tahun ajaran baru segera datang. Sebagian masyarakat mulai berpikir untuk mencari dan memilih sekolah terbaik bagi anak-anaknya. Namun demikian, mencari sekolah yang baik dan bermutu bukanlah perkara gampang. Meski sudah berlebel, tetap harus hati-hati, jangan sampai salah pilih.
...................................
Untuk buah hatinya nyaman dan terjamin mendapatkan pendudikan berkualitas, akhir-akhir ini sebagian masyarakat mulai sadar soal mutu sebuah lembaga pendidikan. Tak aneh menjelang tahun ajaran baru, para orangtua terlebih dulu berani menyurvei berbagai sekolah untuk mengetahui fasilitas dan keunggulan yang ditawarkan.
Soal profil sekolah, terutama di tingkat SD, SLTP dan SLTA, masih sedikit sekolah yang berani mempublikasikan secara berimbang kondisi terakhir sekolah. Biasanya kalaupun ada publikasi ke masyarakat, yangmenonjol adalah soal kelebihan fasilitas, sementara kekurangan sisi lainnya tak pernah diketahui masyarakat.
“Untuk mendapatkan informasi detai sebuah sekolah memang sulit. Jujur saja, selama ini, publikasi mengenai sekolah yang bermutu di Indonesia memang jarang. Bahkan bisa dikatakan sama sekali tidak pernah dilakukan baik oleh instansi swasta, lembaga swadaya masyarakat, maupun oleh Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) sendiri. Dengan demikian, referensi masyarakat tentang kualitas sekolah-sekolah di Indonesia begitu minim. “ ujar HJ Sriyanto, seorang pengamat pendidikan di Yogyakarta.
Fenomena yang ada kini banyak sekali label-label sekolah, seperti SSN, SSI, SBI, sekolah plus, sekolah model, SBL dan lain sebagainya yang masih membingungkan masyarakat karena tak tahu apa arti di balik label-label tersebut dan apa yang membedakan sekolah dengan label yang satu dengan sekolah label yang lain.
Lanjut, Sriyanto, Pemerintah sebenarnya sejak tahun 2005 telah mengeluarkan peraturan pemerintah (PP) tentang standar nasional pendidikan yang bisa menjadi acuan untuk menilai kualitas sebuah sekolah. Berdasarkan PP Nomor 19 Tahun 2005 misalnya, ada delapan standar yang mesti dipenuhi dalam penyelenggaraan sekolah, yaitu standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan.
Semestinya dengan acuan standar itu pemerintah bisa membuat penilaian terha-dap kualitas sekolah-sekolah dan mengu-mumkan ke masyarakat sehingga publik dengan mudah bisa menentukan sekolah yang dikehendaki. Selain itu, peta mutu pendidikan Tanah Air akan semakin jelas dan dengan demikian dapat diambil kebija-kan-kebijakan strategis untuk peningkatan mutu pendidikan,” kata Sriyanto.

Berkualitas Pasti Beda Biaya?
Saat ini masyarakat lebih banyak yang kenal ‘nama sebuah sekolah’, daripada kualitas sebenarnya dari sebuah sekolah. Mereka mulai terbuka bertanya sana-sini tentang sebuah sekolah, namun karena tak punya barometer penilaian yang pasti, mereka sebenarnya tidak banyak yang tahu pasti sekolah- sekolah mana saja yang telah memenuhi standar berdasarkan PP No 19/2005 tersebut. Bisa diprediksikan sekolah-sekolah yang memenuhi standar tersebut biasanya biayanya akan mahal. Ini karena, di negara ini, sekolah yang berkualitas telanjur identik dengan sekolah mahal. Namun, apakah sekolah yang bermutu selalu harus mahal? Masih adakah sekolah yang bermutu tapi tidak mahal?
Mungkin akan sulit mencari sekolah yang bermutu dengan biaya murah. Akan tetapi, dengan campur tangan, perhatian, dan dukungan berbagai pihak, bukan hal yang mustahil mewujudkan sekolah ber-mutu dengan biaya yang terjangkau. Sebagai inspirasi, ada banyak sekolah hebat yang terlahir dari keprihatinan atas situasi semacam itu. Sekolah yang dipra-karsai orang-orang yang memiliki kecintaan dan perhatian yang besar terhadap dunia pendidikan. Sriyanto mencontohkan, di Yogyakarta ada SD Mangunan yang digagas almarhum Romo Mangun, di Salatiga Bahrudin dengan Sekolah Alternatif Qaryah Thayyibahnya.Sekolaah tersebut terbukti berkualitas, namun justru tidak dengan biaya mahal.

Kata ‘Gratis’ Korbankan ‘Kualitas’
Faktanya sekarang, yang menonjol adalah label sekolah gratis, bukan sekolah berkualitas. Ini tak lepas dari slogan yang terlanjur dilontarkan, yang konon tak jelas apakah dari pemerintah atau para politisi?
Para politisi dan para calon bupati/walikota dan bahkan calon gubernur kebanyakan telanjur menggunakan istilah pendidikan gratis ketika berkampanye untuk menduduki posisinya masing-masing. Pendidikan gratislah yang paling menjadi terkenal beberapa tahun terakhir ini. Dan lima tahun terakhir ini pendidikan gratis banyak dikumandangkan untuk berkampanye para politisi, bupati/walikota dan bahkan gubernur dalam rangka merebut simpati para pemilihnya.
Faktanya tak sedikit para bupati/walikota atau gubernur yang tidak menepati janji kampanyenya. Isu pendidikan gratis justru hanya membelenggu sekolah sebagai akibat minimnya pendanaan operasional di sekolah pada jenjang pendidikan dasar dan menengah yang menjadi sasaran wajib belajar. Mereka, para bupati/walikota dan gubernur yang masuk golongan ini hanya mengandalkan besarnya subsidi dari pemerintah pusat yang sebenarnya sejak awal didesain hanya untuk membantu pemerintah daerah.
Sekali lagi dana dari pemerintah pusat itu hanyalah bantuan. Karena hanya bantuan, maka namanya pun juga menjadi: Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Besaran BOS sebenarnya selama ini hanya cukup untuk menutup biaya operasional sekolah sebesar sepertiga saja. Kecuali, di sekolah dasar di desa-desa, memang BOS sudah bisa menutup semua biaya operasional sekolah. Namun, untuk sekolah yang berada di kota tidak cukup BOS untuk menutup semua biaya operasional sekolah.
Plt Dirjen Pendidikan Dasar Kemdiknas, Prof. Dr. Suyanto, PhD, mengatakan kelompok Pemda yang hanya mengandalkan BOS dari pemerintah pusat untuk menepati janji akan melaksanakan pendidikan dasar gratis inilah yang menjadi persoalan. Sekolah sudah telanjur tidak boleh memungut sumbangan dari masyarakat, sedang pemda sendiri tidak mengalokasikan sejumlah dana untuk membiayai biaya operasional sekolah berdampingan dengan BOS dari pemerintah pusat. “Akibatnya kualitaslah yang menjadi korban di sekolah-sekolah yang diklaim pemda harus gratis itu.” Ujar Suyanto.
Kalau sudah begini lalu bagaimana baik-nya masyarakat memilih sebuah sekolah un-tuk kelangsungan pendidikan anak-anaknya?
Mungkin ketika waktu sudah mepet, tak ada salahnya masyarakat memperhatikan beberapa faktor dari sebuah sekolah. Secara umum sekolah yang berkualitas adalah sekolah yang memiliki visi dan misi yang jelas serta memiliki manajemen yang baik. Sekolah berkualitas yang mampu menghadirkan suasana yang menyenangkan bagi para peserta didiknya, sehingga proses belajar mengajar dapat berjalan secara efektif dan efisien.
Bagaimana mendapatkan informasi ter-sebut? Di samping melalui informasi di mas-yarakat, mereka bisa mengakses melalui media informasi seperti internet, brosur-brosur, surat kabar, tabloid atau majalah, televisi, radio atau media-media lain yang ada. Kita dapat mengkaji, menganalisa, menimbang, memilih dan kemudian memutuskan memilih sebuah sekolah, jangan fokus hanya pada selogfan sekolah gratis, tapi sekolah berkuaitas.
(ganesha)

Perpisahan Sekolah Kian Mewah

MENJELANG akhir tahun ajaran 2011, semua sekolah ‘mau tak mau’ harus menggelar acara perpisahan bagi peserta didik di kelas akhir. Ini sudah mentradisi. Benarkah kini acara perpisahan cenderung jadi adu gengsi dan pertunjukan hedonisme?
........................................................................................

Tinggal sekitar sebulan lagi, mulai tingkat Pra SD, SD, SMP, hingga tingkat SMA, akan melaksanakan acara perpisahan sekolah. Event ini seolah telah wajib digelar sebab bakal tak afdol bila melepas anak kelas akhir tanpa upacara perpisahan.
“Ya tentu kesannya aneh, saat awal-awal penerimaan siswa baru ada upacara dan kegiatan penyambutan buat kita, masak ketika sudah lulus sekolah tak pakai acara pelepasan?” ujar seorang siswa SMA di Ciamis.
Pihak sekolah juga tak bisa mengelak bila anak didiknya yang hendak meninggalkan almamaternya ingin dilepas dalam sebuah acara. Perpisahan sekolah penting sebagai akhir sebuah kenangan seorang siswa menempuh pendidikan di sebuah sekolah.
“Demi kebahagiaan anak, saya setuju ada perpisahan sekolah. Masalahnya jangan sampai perpisahan sekolah membuat orangtua kerepotan bahkan susah,” kata Esih memperingatkan pihak sekolah. Esih, wali murid yang anaknya baru lulus UN SMA.
Lanjut Esih, atas nama perpisahan, biasanya yang paling risau adalah para orangtua siswa. Bukan tidak senang melihat anak gembira. Tapi persoalannya, uang perpisahan terkadang tidak sesuai kantong keluarga. Keluhan ini tak jarang dilontarkan sejumlah wali murid.
Kekhawatiran biaya sangat dirasakan para orangtua siswa di kota besar seperti Jakarta dan Bandung. Menurut mereka, biaya perpisahan memang akan sangat tergantung tempat penyelenggaraan, tetapi mayoritas orangtua murid minta acara digelar di lingkungan sekolah saja, atau paling tidak masih di wilayah sekitar sekolah. “Kalau di luar kota harus mengeluarkan biaya ratusan ribu rupiah. Jadi, cukup di lingkungan sekolah agar tidak memberatkan beban orangtua khususnya orangtua tidak mampu,” kata Purwanto, orangtua murid yang anaknya bersekolah di SMP negeri di kawasan Bintaro, Pesanggrahan, Jakarta Selatan.
Tak pelak, Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo diminta supaya melarang sekolah mengadakan perpisahan di luar kota supaya tidak menimbulkan kecemburuan sosial dengan siswa sekolah lainnya.
“Untuk biaya hidup sehari-hari saja kini makin berat, terutama harga-harga sembako yang menggila. Padahal penghasilan kami justru tidak naik,” kata Purwanto.
Kendati belum menerima acara perpisahan putri sulungnya, Purwanto maupun orangtua peserta didik lainnya amat berharap pihak sekolah dan komite sekolah bersikap arif dengan kondisi sekarang yang makin terjepit. Dengan kata lain, janganlah hanya sekedar gengsi atau untuk menaikkan pamor sekolah perpisahan dipaksakan di luar kota. “Kalau acaranya (perpisahan) di luar kota gratis sih nggak apa-apa, tapi biasanya orangtua terpaksa harus merogoh kocek,” jelasnya.

Sebenarnya Tidak Wajib
Dari Sumatera Barat, Kadis Pendidikan Solok Selatan, Hamudis menegaskan bahwa acara perpisahan sekolah boleh saja dilakukan, sepanjang memperhatikan sedikitnya tiga hal. Pertama, tidak ada paksaan kepada siswa, kedua tidak memberatkan orangtua siswa, dan ketiga, apabila acara perpisahan ke luar daerah harus ada yang bertanggung jawab penuh.
“Untuk acara perpisahan ke luar daerah, juga mesti mengajukan izin kepada Disdik. Dinas akan memberi rekomendasi, sepanjang izin yang diajukan juga melampirkan persetujuan orangtua siswa,” tegas Hamudis.
Menurut Hamudis, acara perpisahan yang paling memberatkan orangtua siswa, yaitu bila digelar di luar daerah. Terhadap hal itu, ia mengimbau dan me-warning pihak sekolah agar tidak terlalu memaksakan dilaksanakannya acara tersebut. “Acara perpisahan sebenarnya hal yang tidak wajib. Jadi jangan diwajibkan. Kecuali kalau para orangtua siswa tidak merasa keberatan,” ujarnya.

Tren Terus Bergeser
Mansyur Semma, seorang observer gaya hidup dan dosen Universitas Hasanuddin Makasar, melihat secara nasional, perpisahan sekolah terus mengalami pergeseran tren. Dari awalnya sederhana namun sakral, berubah ke mewah namun berbalut konsumtif dan hedonis.
“Kian hari gaya hidup metropolis yang konsumtif dan hedonis, memang terus meracuni institusi pendidikan. Padahal gaya hidup tersebut sangat kapitalistik dan cenderung mengadopsi gaya hidup yang liberal. Salah satu buktinya fenomena tersebut dengan mudah diamati pada acara perpisahan sekolah yang kerap dilakukan setiap akhir tahun ajaran,” ujar Semma.
Memang tidak semua sekolah mampu menyelenggarakan acara perpisahan yang mewah, mahal, dan bergaya kapitalis. Ada sekolah yang menyelenggarakan acara perpisahan sangat sederhana. Dilakukan di sekolah, tidak menyewa gedung, tidak mendatangkan artis, serta hanya ditutup dengan doa, nasihat-nasihat perpisahan, dan hiburan kreasi orisinil siswa. Atau menampilkan seni tradisi lokal.
Sayangnya, ada anggapan sekolah-sekolah yang menyelenggarakan acara perpisahan yang sederhana tersebut adalah sekolah-sekolah yang bukan sekolah favorit, bukan sekolah model atau unggulan. Pada umumnya mereka berada di pinggiran kota dan pedesaan.
Sebaliknya sekolah-sekolah yang sudah terjebak gaya metropolis adalah sekolah-sekolah favorit yang ada di perkotaan. Di Jakarta dan Bandung misalnya, ada sekolah-sekolah favorit menyelenggarakan acara perpisahan di hotel dan gedung-gedung mewah, mengundang artis dan menampilkan berbagai acara hiburan serta acara-acara yang cenderung bebas dan glamor. Salah satu acara yang relatif glamour adalah acara prom night.
“Dalam acara prom night tersebut, siswa datang dengan dress code yang sudah ditentukan, wajib membawa pasangan, lalu dalam puncak acara ada penentuan `raja dan ratu prom’,” kata Semma.
Kata Semma, acara ini merupakan tradisi anak-anak sekolah di Barat yang liberal dan kapitalis, tentu sangat bertentangan dengan kesahajaan nilai-nilai budaya ketimuran Indonesia yang normatif dan religius. Acara seperti ini kian marak diadopsi di Jakarta dan beberapa kota besar lainnya di Indonesia. “Bukan tidak menutup kemungkinan acara seperti itu sudah diadopsi di beberapa kabupaten/kota. Hebatnya, acara tersebut tidak hanya dilakukan oleh siswa SMA, tapi juga sudah diadopsi oleh siswa-siswa SMP. Dapat dibayangkan bila siswa-siswi SMP bergaun dewasa dan harus ada pasangan. Apakah mereka tidak dipaksa dewasa dan terlalu dini mempraktekkan gaya hedonis?” kata Semma gundah.
Apakah rangkaian acara glamor tersebut direstui oleh kepala sekolah dan guru-guru? Menurut Semma, diperkirakan ada kepala sekolah yang mengetahui tapi tidak merestui, dan rangkaian acara tersebut berlangsung tanpa kehadiran guru-guru.
Selain itu, ada acara perpisahan sekolah yang dilakukan di luar kota hingga ke luar negeri. Ada SD favorit yang menyelenggarakan acara perpisahan di pulau Bali. Semua murid wajib ikut dan boleh ditemani oleh orang tua, sepanjang orang tua mampu mengeluarkan biaya ekstra. Agenda perjalanan mereka diatur oleh biro perjalanan tertentu.
“Ada seorang anak yang mengaku sangat menikmati perjalanan tersebut. Tubuhnya dipenuhi tato sebagai simbol dan bukti bahwa ia pernah ke Bali. Syukurlah, tato tersebut bukan tato permanen karena akan memudar dalam beberapa minggu,” kata Semma.
Lanjut Semma, ada pula siswa sekolah-sekolah favorit di ibukota melengkapi acara perpisahan dengan berlibur ke pulau Batam lalu menyeberang ke Singapura. Bahkan ada yang melanjutkan hingga ke Australia dan negara-negara lainnya. Seolah tamat sekolah merupakan awal untuk pelesiran dan bersenang-senang menikmati kekayaan orang tua. Patutkah ditiru?
(ap/ganesha/berbagai sumber)