Selasa, 13 Maret 2012

Dialog Pendidikan Kian “Seru”

Ada Koreksi Diri Hingga Usulan
Ini agenda baru insan pendidikan di Ciamis, namanya Dialog Pendidikan. Kegiatan bulanan yang digagas PGRI dan FKPS Kabupaten Ciamis ini sudah beberapa kali dilakukan. Di ruang ini kepala dinas dan jajarannya berbincang dengan para pendidik. Terbuka dan jujur-jujuran.
............................
Dialog Pendidikan di Aula Wisma PGRI Kabupaten Ciamis.kian ‘seru’ dan menarik. Pada Dialog Pendidikan yang digelar (6/2) salah satu yang mendapat perhatian serta respon peserta dialog adalah pernyataan Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Ciamis, H. Akasah, bahwa tak salah menilai diri sendiri, baik guru maupun kepala sekolah atau siapa pun asal mengedepankan kejujuran.
Kata Kadisdik, jangankan menilai diri sendiri secara individu atau perseorangan, secara kelembagaan pun ada yang dinamakan evadir atau EDS.
Reaksi dan respon peserta terfokus pada kata ‘kejujuran’. Untuk lebih menajamkan makna agar tidak terjadi salah menafsirkan. H. Akasah pun menjelaskan, kejujuran memang hal yang seringkali didengung-dengungkan dan sangat diharapkan oleh siapa pun, di mana pun, dan dalam kondisi bagaimana pun. Namun, ikhwal kejujuran memang sulit sekali direalisasikan apalagi dalam hal penilaian atau menilai diri sendiri.
“Maka dari itu, guru jangan arogan, sebab siswa pun menilai guru. Kepala sekolah jangan arogan, sebab para guru dan TU menilai kepala sekolah, pengawas pun jangan arogan, sebab para kepala sekolah turut menilai pengawas. Intinya transparansi dan introspeksi harus menjadi ruh objektivitas penilaian, apalagi dengan PKG dan PKB disadari atau tidak proses implementasinya jelas ada celah untuk menilai para penilai. Di sinilah betapa pentingnya peran karakter yang menjadi fundamen akan munculnya kesadaran dan kejujuran atas apa dan siapa yang dinilai dan yang menilai,” ujar Kadisdik
Hal senada dikemukakan oleh Ketua MKKS SMP Kabupaten Ciamis, Dr. H. Aning Effendi, bahwa betapa pentingnya ‘ngaji diri’. Sedangkan Kepala SMPN 2 Ciamis, Dr. Agus Sumantri, mengatakan, jika ingin ada perubahan, maka warga pendidikan harus terdorong atau ada kemauan untuk berubah. Kuncinya menurut Agus Sumantri adalah semangat untuk maju dan pendidikan harus bebas dari kepentingan politis. Hal lain yang disampaikan Agus Sumantri adalah try out pengayaan harus dievaluasi secara komprehensif.
Kepala SMPN 1 Ciamis, Agus Yudhono, S.Pd., M.Pd. berpendapat lain terkait evaluasi try out pengayaan. Menurut Agus Yudhono, evaluasi try out pengayaan telah sepenuhnya dilakukan, baik dalam evaluasi internal sekolah maupun evaluasi tingkat kabupaten maupun provinsi. Bahkan Agus Yudhono menyarankan agar pengayaan tidak hanya dilaksanakan bagi siswa yang akan melaksanakan UN saja. Pengayaan dimulai dari kelas VII dan VIII yang dimantapkan di kelas IX. “Agar semua itu bisa berjalan, maka di setiap sekolah perlu dibangun komitmen, diadakan pengawasan, dan monitoring,” jelas Agus Yudhono.
Menanggapi berbagai pertanyaan, masalah, usulan, saran, dan bahkan kritikan yang muncul dalam dialog, Kadisdik tak tertinggal dari tersenyum. Senyuman kadisdik yang terkesan ‘tenang dan matang’. “Apapun yang muncul saat ini merupakan problem solving yang akan dijadikan catatan khusus tentang plus-minus bidang pendidikan, khususnya bagi Dinas Pendidikan untuk seoptimal mungkin bisa ditindaklanjuti. Jika ada hal yang meragukan, maka semua kembali ke norma atau atauran dan juklak-juknis. Jangan sampai hal yang diwacanakan dalam tataran informasi lisan lebih dipercaya dari apa yang tersurat dalam aturan. Apabila semua telah mampu melakukan hal yang demikian, maka berbagai kendala dan kesalahan akan bisa diminimalisasi,” tegas H. Akasah.
Masalah keinginan atau niat untuk berubah itu merupakan hak sekaligus kewajiban apalagi bagi insan pendidikan. Kata Akasah, setiap insane pendidik harus berubah dan jangan alergi dengan peruba-han, harus jadi agent of change. “Tapi per-ubahan yang mana dulu? Kita harus pandai memilah dan memilih. Guru harus cerdas! Perubahan yang signifikan bermanfaat, baik bagi pribadi dan untuk seluruh umat manusia berikut alam semesta. Artinya, cari dan ikuti perubahan-perubahan yang mengarah pada peningkatan kesadaran pentingnya nilai-nilai keikhlasan dan profesional dalam melaksanakan tugas atau kewajiban,” katanya.
Ia menekankan perlunya komitmen, pengawasan, dan monitoring evaluasi, intinya agar setiap individu mengerti akan tupoksi dan secara kelembagaan pun akan terwujud kondusivitas yang riil dan murni.
Salah seorang peserta menilai, Dialog Pendidikan tersebut sangat berarti bagi kepentingan serta keperluan kemajuan sistem, manajemen, kebijakan, teknis, dan prespektif proses di lapangan, terutama menyangkut gerak langkah para pengawas dan guru yang melaksanakan kebijakan pemerintah pusat, provinsi, hingga Dinas Pendidikan.
Menginjak putaran kedua, Dialog Pendidikan nampaknya kian menarik. Makin banyak hal yang diungkapkan sebagai masalah. Tanggapan-tanggapan pun kian dibutuhkan sebagai penjelas atau solusi.
(Ayu Berliani/Ganesha)

Menilai Perilaku Siswa dari Sudut Angkot

Sesekali cobalah naik angkutan umum semisal angkot. Ada banyak cerita yang bisa ditemukan di sana. Tentang sosok sang supir, atau kisah para penumpang di dalamnya. Dalam ruang mobil sempit itu terekam potret kehidupan masyarakat kita. Termasuk perilaku para siswa. Ternyata ada segi negatif siswa kita yang terungkap dan cukup membuat kita tersenyum kecut. Apakah saja itu?
……………………………………….
Angkot merupakan kendaraan umum favorit warga perkotaan dan daerah di sekitarnya. Secara golongan, mereka (pengguna angkot) adalah masyarakat menengah ke bawah. Keunggulannya, selain ongkos relatif murah, angkot memiliki banyak tujuan berbagai sudut kota, sehingga memudahkan mobilitas warga kota. Ya, angkot memang membidik masyarakat umum sebagai konsumennya.
Tak dipungkiri angkutan kota sangat besar perannya bagi dunia pendidikan. Setiap pagi dan siang bahkan sore, angku-tan ini mengangkut para siswa ke sekolah atau pulang sekolah. Siswa tiba di sekolah atau sampai ke rumah karena naik angkot.
Meskipun anak sekolah bukan penumpang utama angkutan kota, namun para awak angkot tidak memandang rendah potensi uang saku anak sekolah. Meskipun tarifnya sudah dipatok pemerintah daerah lebih rendah dari orang dewasa, penumpang jenis anak sekolah, cukup menggairahkan para supir untuk menambah penghasilan harian mereka.
“Ya, begitulah Kang. Meski cuma seceng, (seribu) kalau anaknya banyak kan lumayan juga buat nambah setoran,” ujar salah seorang supir angkot 09 di Ciamis.
Meski hanya penumpang kategori ‘kelas dua,” anak sekolah justru jadi andalan pemasukan duit bagi awak angkot. Keberadaan mereka yang pasti ada setiap hari (kecuali hari libur), tak disia-siakan mereka. Terlebih ketika penumpang dewasa sepi, anak sekolah jadi gantinya. Angkotpun di jam pergi dan pulang sekolah tak kosong melompong.

Kritikan Supir
Para awak angkot di Ciamis, sebagian besar berperilaku positif dalam memperlakukan penumpangnya. Sopan, tidak ugal-ugalan, dan cukup tertib. Namun ada juga satu dua yang belum terpuji melayani penumpangnya. Misal terburu-buru ketika menaikan atau menurunkan penumpang, atau meminta tarif lebih besar ketimbang tarif resmi. Konon, angkot supir tembak yang terkadang berprilaku kurang mengenakan.
Kita sering menyorot bagaimana perilaku awak angkot. Sebagai konsumen, kecenderungannya penumpang ingin dilayani bak raja. Maka sah saja bicara ini itu tentang angkot. Positif dan negatifnya. Sebaliknya para awak angkutan kota dan juga angkutan umum juga berhak menilai konsumennya. Menilai penumpangnya.
Tentang penumpang berjenis anak sekolah, ada beberapa keluhan yang terlontar dari awak angkot.
Pertama, supir angkot mengeluhkan sikap cuek anak sekolah ketika ditawari naik angkot. “Kita memperlakukan anak sekolah dengan baik, karena anak supir juga ada yang masih sekolah. Tapi tak jarang mereka terlalu cuek,” kata seorang supir angkot Ciamis.
Sebagai contoh, katanya, ketika anak pulang sekolah, angkot berhenti menunggu mereka. Sang supir berteriak menawarkan angkotnya pada anak sekolah yang ber-jalan keluar sekolah. Tak ada satu pun jawaban dari anak, dan ketika mereka tiba di pinggir jalan mereka tak mau naik angkot.
“Ya kita sering mengira diamnya mereka berarti mau naik angkot kita sehingga kita tunggu. Eeh, ternyata tak naik. Kalau tak mau, ya kasih kode geleng kepala ke gimana, jangan diam saja!” ujar sang supir kesal.
Para supir merasa heran bila mendapati anak sekolah seperti itu. Sehingga akhirnya terkadang terlontar pertanyaan yang menohok dunia pendidikan. “Gimana sih, cara guru mengajar anak sekolah? Masa ditanya supir saja, anak sekolah tak bisa memberi jawaban?”
Menurut mereka, rasa kesal pasti muncul akibat perilaku cuek anak sekolah seperti itu. “Kita sih udah sering, ada kesal sih, tapi sudah biasa. Cuma di angkot kan juga ada penumpang dewasa. Nah mereka itu juga sebel kalau liat anak begitu. Waktu kan uang, katanya,” akunya.
Mereka merasa, supir angkot juga perlu dihargai. Ini berarti, anak sekolah yang cuek seperti itu dinilai kurang menghargai orang lain. Terlebih mereka (supir) angkot adalah orang dewasa dan lebih tua. Siswa memang selayaknya bisa menghargai semua orang, bukan hanya orangtua dan gurunya, tapi juga orang lain tanpa pandang bulu.
Kedua, anak sekolah jaman sekarang cederung manja. Perilaku manja itu membuat gemes supir angkot. Ini realita. Saat pulang sekolah angkot dipadati anak OSIS (SMP/SMA). Angkot berhenti karena ada anak yang memintanya berhenti, artinya sampai tujuan. Setelah si anak turun, angkot perlahan melaju lagi. Baru beberapa meter, secara mendadak harus kembali berhenti karena ada anak yang memintanya berhenti lagi.
“Padahal jaraknya cuma 7 atau 10 meteran dari anak tadi berhenti. Kenapa gak tadi sekalian? Emangnya jarak segitu sudah tak sanggup jalan kaki karena kecapean?” cerita sang supir Angkot Ciamis juga.
Coba bandingkan. Ini sangat berbeda dengan anak sekolah jaman dulu. Anak jaman dulu malah pergi dan pulang sekolah jalan kaki. Jarak kiloan meter ditempuh tanpa lelah, tanpa keluhan. Memang hingga kini pun anak sekolah di daerah masih banyak yang berjalan kaki ke sekolah karena tak ada alat transportasi. Tapi untuk di kota angkot dan angkutan lainnya bejibun.
“Sekarang jamannya beda, Kang. Banyak angkutan. Kita senang saja dapat duit dari anak sekolah, tapi masa sampai segitunya (manja) anak sekarang? Masalahnya kita takut macet atau bikin kaget kendaraan di belakang,” aku supir itu.
Ketiga, kata supir angkutan umum, anak sekolah terlalu santai. Di sepanjang jalan Banjar –Ciamis, pagi-pagi, berjejer anak OSIS yang mau sekolah ke Ciamis. Angkutan umum seperti carry dan bus menawarkan kendaraan-nya pada anak sekolah. Tapi mereka tak mau. “Alasannya, ada anak bilang, masih pagi, Mang!” kata si supir carry Banjar-Ciamis.
Padahal kata supir itu, mobil masih kosong. Memang, mereka dari rumah masih pagi, tapi tak segera naik angkutan umum.
“Ingin santai di pinggir jalan kali, padahal kalau datiag pagi ke sekolah kan bisa santai juga di sekolah?” kata si Supir.
Supir ini berlogika, makin siang, makin banyak penumpang. Juga penumpang dewasa. Kalau dimepetkan ke jam masuk sekolah, mereka bukan tak mungkin malah kesiangan. Herannya, kata dia, banyak anak OSIS baru mau naik kendaraan umum ketika waktu jam sekolah tinggal beberapa menit lagi. Akibatnya penumpang berjubel, dan malah tak bisa semua terangkut.
“Jelas pasti ada yang terlambat ke sekolah. Padahal sudah dari pagi sekali mereka berdiri di pinggir jalan,” kata si Supir keheranan.

Ambil Hikmah
Keluhan dan kritik dari para awak angkutan umum, tentang perilaku kurang positif anak sekolah perlu ditanggapi dengan bijak. Bagaimana pun mereka adalah masyarakat yang berhak menilai. Anak sekolah adalah anak-anak masyarakat dan akan hidup di tengah masyarakat pula.
Lepas dari rumah atau kosan, sebelum sampai ke sekolah, ke hadapan para guru, para supir angkotlah yang pertama kali berhubungan dengan anak-anak sekolah. Para awak angkutan umumlah yang paling dulu melihat perlilaku mereka dan tentu juga masyarakat di dalam angkot.
Nampaknya, tak perlu malu, ada kekura-ngan dari hasil pendidikan di sekolah yang tertangkap pihak lain. Anak-anak sekolah adalah produk SDM yang belum “jadi” . Masih bisa dibentuk, diluruskan dan diperbaiki. Mungkin benar kata para supir, tentang menghargai orang lain, berinteraksi sosial, kemandirian, berpikir dan bertindak cerdas serta perilaku disiplin menghargai waktu, masih perlu ditingkatkan aplikasinya dalam kehidupan anak didik kita.
Sebelum banyak membahas perlunya pendidikan karakter, para supir angkot itu sudah menyadarkan kita. Ternyata dari sudut sempit ruang angkot saja, kita bisa menemukan seperti apa perilaku anak-anak kita di pagi, siang, dan sore hari.
(agus ponda/ganesha)