Kamis, 31 Januari 2008

Menggaungkan Kembali Peran Guru dalam Kerangka Imtaq & Iptek

Gaung program Iman dan Taqwa (Imtaq) serta Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek) di Indonesia dimulai sekitar tahun 1980-an.Walaupun diawali dengan kontroversi, program ini kini terus bergulir.Guru sebagai ujung tombak implementator Imtaq dan Iptek pun tak henti-hentinya berjuang 'meng-imtaq dan 'mengiptekkan' siswanya.Namun di sisi lain, perubahan zaman dan globalisasi juga kian kuat merongrong program ini. Dalam hal ini perlukah kembali meyakinkan peran vital guru atau membiarkan program ini berjalan apa adanya? Berikut laporan tabloid Ganesha..................

Baru-baru ini PGRI Kabupaten Ciamis menggelar seminar nasional pendidikan dengan tema "Guru Sebagai Implementator Imtaq dan Iptek dalam Pembelajaran yang Terintegrasi". Acara yang digelar Kamis, (17/1) di Islamic Centre Ciamis tersebut, menghadirkan pembicara Ketua MPR-RI Dr.H.Hidayat Nurwahid dan Ketua Umum PB-PGRI Prof. Dr. H.Mohamad Surya.Seminar ini berusaha mengaktualkan kembali program Imtaq dan Iptek yang kini seolah terdengar sayup-sayup di balik beragam isu dan fenomena hangat negeri ini.
Dimulai dari Pribadi Guru
Prof. Dr.Muhammad Surya mengatakan peran guru dalam penerapan Imtaq dan Iptek sangat penting. Peran ini harus dilakukan melalui pendidikan holistik, maksudnya adalah pendidikan yang utuh bukan hanya sempalan-sempalan."Imtaq dan Iptek bukan hanya diajarkan tetapi harus holistik, menyeluruh atau menyaturaga." ujar Surya.
Surya menjelaskan dalam UUD 1945 pemerintah wajib mengupayakan suatu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan serta ketakwaan serta akhlak mulia.Amanat ini hanya akan terealisasikan bila Imtaq dan Iptek diajarkan lewat pendidikan dan gurulah garda terdepannya.
Peran guru dalam Iptek misalnya Surya menjelaskan ketika Indonesia baru merdeka, 90% rakyat Indonesia buta huruf. Termasuk sebagian tentara pejuang kemerdekaan."Karena guru banyak anak bangsa bisa salat, tayamum, membaca, menulis dan berhitung. Artinya benar kata Ho Chi Minh, bapak bangsa Vietnam No Teacher No Education.Tanpa ada guru takan ada pendidikan.Artinya pula tanpa guru takan mungkin Imtaq dan Iptek terwujud." kata Surya.
Lanjut Surya itu sebabnya guru harus memahami makna pendidikan yaitu upaya sadar dan terencana untuk mewujudkan tujuan belajar agar peserta didik aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan baik spiritual, keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan dan ahklak mulia serta keterampilan yang diperlukan.
"Ini integritas antara Imtaq dan Iptek." kata Surya.
Yang jadi persoalan adalah bagaimana kualitas iman seorang guru dan kualitas penguasaan ilmu pengetahuan.Kalau Imtaqnya tak kuat, guru pun bisa membunuh murid, memperkosa.
Posisi guru tambah Surya, paling inti adalah berwujud pribadi yang utuh.Peran guru dalam Imtaq dan Iptek dimulai dari pribadinya yang beriman, bertakwa, yang akrab dengan teknologi, karena jaman sekarang ini teknologi sudah sangat akrab dengan kehidupan manusia.
"Sebab masih ada guru yang menyuruh siswanya salat tapi dirinya atau anaknya sendiri tidak salat.Pun jangan sampai guru mampu mendidik anak orang lain tapi tak bisa mendidik keluarganya sendiri. " kata Surya.
Jelas Surya, di sekolah guru juga harus mampu menjadi pelatih, melatih siswa akrab dengan teknologi, melatih dengan Iptek. Guru jangan Butiktek (buta ilmu pengetahuan dan teknologi) dan Butimta (buta iman dan takwa).
Untuk bisa menerapkan Imtaq dan Iptek diperlukan guru yang efektif dan profesional, bukan guru jadi-jadian.Seleksinya adalah ia harus bagus mengajarnya, mengenal siswanya dan profesional.
"Guru harus dekat dengan orangtua siswa, guru lain dan masyarakat.Sikap profesional dan mencintai pekerjaannya." ucap Surya.
Guru dalam Kontek Kenegaraan
Sementara itu Ketua MPR-RI Dr.Hidayat Nurwahid mengatakan, ketika kita bicara guru dalam konteks kenegaraan, guru adalah pengajar bangsa. Maka para guru harus hadir dengan komitmen menciptakan bangsa yang bermartabat melalui pendidikan holistik.
Kata Hidayat, memang sangat tepat, tidak mungkin bicara pendidikan hanya pada tingkat individual, lokal dan klasikal.Juga tidak membayangkan bahwa dari pendidikan yang bersifat individual tersebut hadirlah negara, bangsa, pimpinan bangsa dan negara, membangun bangsa dan negara.
"Pendidikan pasti pada gilirannya nanti baik secara bottom up, ia akan menghadirkan pimpinan negara yang pasti pernah bertemu guru-gurunya. Sebaliknya dari tingkat top down, para penyelenggara negara menghadirkan kondisi yang kondusif untuk penyelenggaraan pendidikan individual, dan klasikal, relasi guru-murid. Keduanya adalah dialetika yang niscaya." kata Hidayat.
Guru dan perannya dalam implementasi Imtaq dan Iptek, menurut Hidayat, mau tidak mau akan bertemu dengan faktor negara. Dan hanya bangsa yang bermartabatlah yang bisa menghadirkan mekanisme pendidikan dan pengajaran yang juga bermartabat.
Hidayat setuju kalau pendidikan Indonesia berorientasi pada kepentingan nasional, maka pendidikan harus bersinerji dengan kebijakan negara.Bila Imtaq dan Iptek dijadikan pijakan pendidikan, maka yang pertama harus dirubah adalah mentalitas para pendidik, anak didik termasuk kebijakan-kebijakan yang lebih dapat menghasilaan pendidikan berkualitas berbasiskan pada pendidikan negara kebangsaan yang berkeunggulan.
"Di Indonesia, pendidikan berkualitas sering dikonotasikan diantaranya sebagai pendidikan bertaraf internasional.Padahal pendidikan bertaraf nasional pun memiliki keunggulan diantaranya dengan basis Imtaq dan Iptek." kata Hidayat.
Tidak semua hal yang bersifat internasional bisa diadopsi. Ia mencontohkan relasi guru murid di Amerika tidak bisa ditiru dalam kontek hubungan guru murid di Indonesia. Menyoal Imtaq dan Iptek yang sempat dipopulerkan B.J Habibie, Hidayat mengatakan bahwa komitmen negara pada hal itu sangat jelas. Bahkan kini melalui UUD 1945 yang diamandemen ada pasal baru yakni pasal 31 ayat 3 dan pasal 31 ayat 5 serta pasal 28, meski awalnya melalui perdebatan yang sengit.
Tiga Nilai
Sedangkan almarhum Prof.Dr.Dedi Supriadi mengatakan ada tiga nilai yang dijunjung tinggi dalam pengembangan iptek di Indonesia: nilai-nilai agama, nasionalisme, dan humanisme universal. Mengenai penegasan tentang basis keagamaan dari pengembangan iptek di Indonesia, menurutnya merupakan suatu terobosan karena sekaligus memecahkan keragu-raguan yang selama ini mengenai relevansi pendidikan yang mengintegrasikan iptek dan imtaq.
"Negara sekuler seperti Inggris sejak tahun 1978 telah memberikan porsi khusus dalam kurikulum pendidikan sainsnya untuk topik "keberagamaan kehidupan". Sesuatu yang terdengar asing selama lima abad sejak zaman Renaissance." kata Dedi.
Ujar Dedi, di Indonesia, kisah tentang integrasi iptek-imtaq memunyai sejarah panjang dan diwarnai dengan kontroversi. Ketika Depdiknas mengembangan prakarsa (melalui apa yang dikenal dengan Projek Imtaq) sejak tahun 1980-an, pada mulanya cukup keras tentangan yang tidak menyetujui adanya usaha mengintegrasikan materi pelajaran keilmuan dengan imtaq (nilai-nilai keagamaan).
Di pertengahan tahun 1980-an itu juga prakarsa ini pernah dibekukan, tapi hidup kembali menjelang 1990-an yang berlangsung hingga sekarang. Sampai sekarang, telah ribuan guru SD hingga SLTA mendapatkan pelatihan tentang bagaimana mengintegrasikan nilai-nilai imtaq dalam mata pelajaran nonagama dan dalam kehidupan sekolah.
"Saya terlibat dalam projek tersebut sebagai Tim Ahli yang diketuai oleh Drs. Achmad Djazuli (mantan Kepala Kanwil Depdikbud Jawa Barat) dengan anggota antara lain Prof. Achmad Tafsir (IAIN Bandung), Dr. Sjaeful Anwar (UPI), dan Dr. Thoyib (UI)." katanya.
Kini integrasi iptek-imtaq bukan hanya untuk agama Islam, melainkan juga agama lain melakukan prakarsa serupa atas dukungan Depdiknas dan Depag. Di Depag, prakarsa ini dikenal dengan pengajaran bernuansa imtaq. Di PPS UPI, integrasi iptek-imtaq tersebut merupakan satu mata kuliah pada Program S-II Pendidikan Umum.
(ap/nung/ganesha)

Tidak ada komentar: