Rabu, 11 Mei 2011

Guru Perempuan Kurang Berambisi Memimpin Sekolah

Yayasan Edukasia Plus baru-baru ini mengadakan Seminar dan Lokakarya, di Aula Dinas Pendidikan Provinsi Jabar. Dalam kegiatan tersebut salah satunya terungkap bahwa mayoritas tenaga guru di Indonesia terdiri dari kaum Hawa. Namun sayang mereka dinilai lemah dalam hal kepemimpinan. Bahkan hampir tak berambisi tampil menjadi pemimpin di lembaga pendidikan.
……………………………..

Masih dalam rangka memeriahkan hari Kartini dan Hardiknas, seminar dan lokakarya ini digelar. Tak tanggung-tanggung, narasumber seminar dan lokakarya ini menghadirkan, Ellin Rozana dari Institut Perempuan, Iwan Hermawan, S.Pd, MM dari FGII, Prof. Dr. K.H Miftah Faridl, Ketua MUI Jabar, dan Dr. Ir. Hetifah Sjaifudian, MPP anggota DPR RRI Komisi X, dengan mengambil tema “Dampak Partisipasi Perempuan di Ruang Public dan Politik Terhadap Kualitas Peradaban Bangsa”. Acara seminar ini di hadiri kalangan mahasiswa PLS UPI Bandung, LSM, Guru Paud dan organisasi Islam.
Menurut satu pengurus Yayasan Edukasia Plus, Dra. Lilis Hasanah, kegiatan ini bertujuan untuk mempersiapkan perempuan yang berkualitas serta memberikan pemahaman kepada perempuan yang berkiprah di dunia kerja, termasuk mereka yang disebut sebagai pendidik.
“Bagaimanapun perempuan itu, ada plus dan minusnya dalam kiprahnya sebagai wanita pekerja tetapi yang penting perempuan ketika memilih berkiprah di luar rumah supaya tidak melepaskan kodratnya sebagai perempuan,” jelas Lilis.
Menurut Lilis, bagi perempuan sekarang menjadi satu kebutuhan untuk mengaktualisasikan dirinya. Tidak ketinggalan pula ibu-ibu lansia dalam menghadapi tantangan globalisasi sekarang ini, tentu saja dengan kemampuan yang relative mereka miliki, perempuan bebas mengaktualisasikan dirinya.”Ketika perempuan berkualitas ,diharapkan menyiapkan anak-anak yang berkualitas pula”, terang Lilis.

Tak Ada Larangan Bekerja
K.H.Miftah Farid, menyoroti tentang eksistensi perempuan di segala bidang. Menurutnya setiap Allah berfirman selalu di dahului dengan kata-kata “hai orang-orang yang beriman” dan bahkan ketika turun perintah berjihad. Oleh karena itu yang mulia di sisi Allah adalah orang beriman baik perempuan atau laki-laki. Pria dan wanita harus maju tapi tidak keluar dari aturan karena Islam mempunyai aturan khusus bagi wanita dan laki-laki, bahkan bagi perempuan sangat diistimewakan.
“Kalau perempuan punya kemampuan yang lebih sesuai dengan disiplin ilmunya kenapa tidak diberikan jabatan kepadanya karena barang siapa menyerahkan pada sesuatu yang tidak sesuai dengan kemampuannya tidak pantas, maka tunggulah kehancurannya”,papar K.H. Miftah Farid.
Menurut K.H.Miftah Farid, banyak tokoh-tokoh pejuang Islam berasal dari kaum perempuan. Jadi tidak ada larangan khusus untuk seorang perempuan bekerja atau berniaga. Kalaupun tidak, perempuan itu bisa menjadi pendorong semangat buat suami dalam menunaikan kewajibannya mencari nafkah untuk keluarganya, atau mendidik anak-anaknya supaya menjadikan generasi yang unggul.
Sementara itu Dr. Ir. Hetifah Sjaifudian, MPP, memaparkan tentang estetika pembangunan. Menurut Hetifah, pembangunan itu untuk apa dan untuk siapa. Kalau tujuan pembangunan berperspektif perempuan berarti meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan perempuan, meningkatkan peranan perempuan dalam berbagai bidang pembangunan, memenuhi hak-hak dasar perempuan juga melindungi perempuan dari berbagai tindakan diskriminasi dan kekerasan.
Pemerintah pun mempunyai kebijakan untuk perempuan, yaitu dari peraturan perundangan berupa (UU, Kepres, NSPK, Permen, Kepmen) dari Kelembagaan (Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Komnas perempuan, Komisi perlindungan anak Indonesia dan P2TP2A), dari Penganggaran (Anggaran berspektif gender) dan Pendataan (penyediaan data terpilah).
Tapi pada kenyataannya masih kita jumpai perlakuan tak ramah pada perempuan di lapangan, sebagai contoh penyiksaan TKI Perempuan yang banyak terjadi di luar negeri. Di kantor perempuan belum banyak mendapatkan posisi strategis, dan di ranah politik pun perempuan masih di kotak-kotakan kaum pria. “Meskipun di sisi representasi ada peningkatan, di sini kita dilihat dari kematangan politik bukan gelar yang di ke depankan,” papar Hetifah.
Hetifah memberikan motivasi kepada perempuan untuk meningkatkan kualitas dirinya sehingga bisa menyaingi kemampuan para pria untuk bersama-sama bekerja demi kemajuan bangsa.

Di Ruang Publik & Politik
Sedangkan dari Institut Perempuan Ellin Rozana, menyampaikan mengenai peran perempuan merambah ruang publik dan politik. Menurut Ellin, awal mula peran perempuan di ranah politik adalah pada tahun 1928, ketika sekitar 30 organisasi perempuan mengikuti kongres perempuan di Yogyakarta yang di prakarsai oleh tiga tokoh perempuan Ibu Suwardi (Nyi Hajar Dewantara), Ni Suyatin dan Ny. Sukonto.
Menurut Ellin R.A. Kartini adalah pelopor idealisme. “Perlu kita hargai karena pada saat itu beliau sudah bisa membaca dan menulis bahkan mempunyai link teman-temannya di Belanda.” Kata Ellin.
Kata Ellin, latar belakang mengapa perempuan merambah ranah publik dan politik, tak lain agar mereka mampu mendorong program-program perempuan, mendorong lahirnya kebijakan yang melindungi perempuan dan menghormati HAM perempuan dan lainnya yang mengarah pada kemajuan dan penghargaan pada perempuan.
Namun sayang, lanjut Ellin, selama ini banyak hambatan atas partisipasi perempuan, diantaranya nilai-nilai patriarkis, pentafsiran ajaran yang bias patriarki, aturan hukum yang bias gender serta kendala-kendala kelembagaan yang masih menghalangi akses perempuan di ranah publik dan politik. Selain itu, juga banyak lagi kendala lainnya.

Mayoritas Guru, Perempuan
Dari Forum Guru Independen Indonesia, Iwan, menyampaikan permasalahan guru perempuan di Indonesia, menurut Iwan guru adalah pendidik professional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah.
“Jumlah guru yang dimiliki pemerintah sebanyak 2,7 juta guru dan 59%-nya adalah perempuan. Saat ini kalaupun masih ada diskriminasi pada guru perempuan lebih disebabkan karena faktor internal dan eksternal dari guru perempuan itu sendiri”, terang Iwan.
Iwan melanjutkan, dari sisi internal adanya paradigma berpikir yang konservatif atau masa bodoh dengan apa yang terjadi di lingkungan sekolah. Kurangnya mempelajari regulasi keguruan maupun pendidikan sehingga tidak mempunyai alasan untuk menuntut haknya, dan kurang adanya motivasi untuk berorganisasi. Dari eksternal adanya tata nilai agama, sosial budaya yang umumnya lebih mengutamakan laki-laki dari pada perempuan. Adanya bias budaya yang seolah-olah perempuan bukan sebagai pencari nafkah dan dilihat dari kemampuan fisik bahwa kaum wanita adalah kaum yang lemah. “Padahal dalam PP 74 tahun 2008, Guru mempunyai kesempatan untuk berperan dalam penentuan kebijakan pendidikan, dalam artian guru di sini guru laki-laki dan perempuan sama haknya,” ujar Iwan.
Akhirnya Iwan menyarankan kepada guru perempuan harus, memiliki paradigma berpikir kritis, menguasai regulasi keguruan dan pendidikan, harus mempunyai motivasi dalam berorganisasi dan berambisi merebut kepemimpinan di sekolah.
(nung/ganesha)

Tidak ada komentar: