Kamis, 04 November 2010

Guru Kritis, Rawan Intimidasi?

Dalam satu bulan terakhir ini, cerita tentang guru-guru kritis di Indonesia kurang mengenakan. Mereka terpojok pada posisi yang tak menguntungkan. Salahkah guru berpikiran kritis pada lembaga sekolah atau intansi pendidikan?
......................................................
Kisah teranyar tentang guru kritis terjadi pada awal Oktober 2010 lalu. Sebanyak 12 guru SMAN Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI) 1 Purwakarta, Jawa Barat, mengalami mutasi massal secara sewenang-wenang karena mengkritisi uang dana sumbangan pendidikan (DSP) yang diberikan oleh para orang tua murid.
Awalnya pada 23 Agusutus 2010 mereka dipanggil oleh Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Purwakarta. Pemanggilan terhadap mereka dilakukan pada jam 8 malam. Menurut mereka, para guru ditanya yang aneh-aneh dan merasa seperti para terdakwa. Kemudian, pada 27 Agustus 2010, keluarlah Surat Perintah Kerja (SPK) mengenai mutasi para guru yang kritis tersebut. "Kami sekarang tetap pergi ke SMAN RSBI 1 Purwakarta, tetapi kami tidak mengajar," lanjut seorang guru.
Lanjut mereka yang membuat bingung adalah kepala dinas setempat tidak mengeta-hui mengenai mutasi ini. “Jika tidak mengeta-hui ini, berarti mutasi yang diberikan kepada kami tidak normal dan cacat hukum, untuk itu kami mempertanyakannya," ujar mereka.
Di Jakarta akibat terlalu kritis guru SMAN 6 Jakarta, juga merasa diintimidasi. Tragisnya seolah nasib guru tersebut ada di ujung pena kepala sekolah. "Kami hanya minta transparasi keuangan, guru juga buka tim audit, kami hanya ingin mengetahui keuangan secara global dan kemana saja," ujar seorang guru. Ia mencontohkan dirinya hanya ingin kejelasan keuangan mengenai Bimbingan Belajar ( Bimbel) yang kesannya dipaksakan.
"Semua murid dari kelas 10-12 di SMAN 6 Jakarta harus mengikuti bimbel dengan biaya Rp 80.000/bulan dengan semua siswa di SMAN 6 adalah 1.049 siswa, ya dikalikan saja berapa pendapatannya," katanya. Hal yang sama juga terjadi di Jember Jawa Timur,Tangerang Banten serta seorang guru sukwan di Ciamis yang lewat SMS-nya mengaku dikeluarkan pihak sekolah karena terlalu kritis. Guru-guru kritis ‘dimusuhi’ dan dipandang sebagai ancaman bagi sekolah atau kepala sekolah.

Pola Sama
Forum Musyawarah Guru DKI Jakarta (FMGJ) dan Indonesia Corruption Watch ( ICW), menaruh perhatian khusus pada masalah terintimidasinya para guru kritis. Menurut Ketua FMGJ, Retno Listyarti, Pola intimidasi yang dilakukan sekolah di tiap daerah seperti di Purwakarta, Jakarta, Tangerang, Jember terhadap guru memperlihatkan pola yang sama yaitu dengan memutasi atau dipecat. “Pelakunya juga sama, tidak hanya birokrasi pendidikan tetapi juga dari komite sekolah dan dewan pendidikan," ujar Retno saat mengadukan nasib guru kritis ke Kantor Komnas HAM, Kamis (7/10).
Retno memaparkan, pelaku intimidasi macam-macam, ada yang kepala sekolah kerjasama dengan komite sekolah atau kepala sekolah kerjasama dengan dewan pendidikan. "Ini kan pola yang tidak sehat, guru-guru menjadi tersudut. Rata-rata guru yang kritis juga yang sudah mengajar lebih dari 15 tahun. Jika tidak diadukan ke Komnas HAM ini bisa membunuh karakter guru satu persatu dan menghancurkan pendidikan Indonesia," lanjut Retno.
Lanjut Retno, apa yang dilakukannya merupakan satu gerakan besar untuk perjuangan guru-guru yang kritis. Retno menambahkan, jika seorang guru ktitis menanyakan tentang APBS atau TKD pasti diancam mutasi oleh kepala sekolah.
"Ironisnya lagi, kepala sekolah juga didukung oleh komite sekolah, padahal peran komite sekolah seharusnya sebagai mitra sekolah, kenapa jadi komite sekolah yang mengatur kepala sekolah," tandas Retno.
Kepala sekolah kerap melakukan tekanan-tekanan terhadap guru-guru kritis dengan secara lunak dan kasar. Jika di sekolah swasta, kata dia, pasti dilakukan pemecatan oleh yayasan, di sekolah negeri pasti akan dimutasi ke daerah yang terpencil seperti, misalnya, ke Kepulauan Seribu."Jika ada masalah di sekolah pasti guru yang disalahkan. Seperti pada Ujian Nasional yang gagal, misalnya, pasti guru yang disalahkan, tidak becus mengajar," ungkap Retno.
Ada Aturannya
Pertanyaannya, apakah sekolah tak butuh guru-guru yang kritis? Dan tak ada tempat bagi guru kritis kecuali mutasi atau pemecatan? Atau mungkin ternyata alergi bila dikritisi, baik oleh gurunya sendiri atau pihak lain?
Menanggapi hal itu Mendiknas Muhammad Nuh, memilih berkata hati-hati. “Dalam hal ini kembali lagi bahwa konsep dasarnya adalah pendidikan, jangan dijadikan komoditas politik, karena nanti ranahnya bisa ke politik," ujar Muhamad Nuh. Ia menambahkan mutasi guru itu bisa saja, karena guru tidak hanya mengajar dan menetap di satu sekolah.
"Guru bertugas mengajar di semua sekolah yang berada di kabupaten/kota, jadi sah saja jika dimutasi. Ini juga bisa mengembangkan karier guru," lanjut Nuh.
Menurut Nuh, mutasi itu harus dipertimbangkan dengan jelas karena ada mutasi akademik dan mutasi non akamedik. "Mutasi hanya boleh dilakukan jika itu termasuk dalam kategori mutasi akademik, karena guru tersebut sudah jago misalnya di Sekolah A kemudian di sekolah lain kekurangan guru, maka dia bisa saja dimutasi ke sekolah lain," tambah Nuh.
"Yang tidak boleh dilakukan adalah mutasi non akademik, seperti meminta transparasi keuangan kemudian dimutasi oleh sekolah," tandas Nuh.
Meminta transparasi keuangan yang kerap dikritisi guru kritis, Nuh menjelaskan bahwa hal itu juga harus ada prosedurnya. “Juga harus ada mekanismenya, jika tidak diberi oleh pihak sekolah guru tidak boleh memaksa. Artinya tidak semua keinginan guru dituruti bukan, jika ada 100 guru dan harus dituruti semua ya pusing juga," ujar Nuh.
Nuh setuju bila guru-guru seharusnya justru mampu berpikir kritis dan mengajarkan pada anak didiknya untuk mengembangkan sikap kritis. Masalahnya masih ada pihak sekolah sendiri atau kepala sekolah/komite bahkan dewan pendidikan yang alergi terhadap sebuah kritik. Mereka justru lebih memilih mengambil jarak atau bersikap hati-hati terhadap para guru kritis. Maka bila kondisinya seperti itu pembelajaran berpikir kritis pada para siswa sudah tak relevan lagi.
Sementara itu seorang kepala sekolah di Ciamis, yang tak mau disebutkan namanya mengatakan, dirinya justru sangat butuh guru-guru yang krtitis. “Mereka bisa menjadi alat kontrol, sebab sebagai manusia bisa saja kita keliru. Kritis boleh asal benar apa yang dikritisnya. Bukan mengada-ngada tanpa bukti,” ujarnya. (ganesha/berbagai sumber)

Tidak ada komentar: