Rabu, 21 Desember 2011

Ini Kata Dr. Sulistyo:

Tak Sembarang Orang Bisa Jadi Guru!
Peringatan HUT PGRI ke-66 dan Hari Guru Nasional 2011 telah usai. Ada sejumlah pesan disampaikan Ketua Umum PB-PGRI, Dr. H. Sulistyo untuk para guru, masyarakat dan pemerintah. Apa saja? Berikut laporan Tabloid Ganesha.
.....................................................

Peringatan HUT PGRI ke-66 dan Hari Guru Nasional 2011 di pusat dan daerah telah usai. Ketua Umum PB-PGRI, Dr. H. Sulistyo mengatakan, ada anggapan bahwa saat ini di Indonesia, menjadi guru merupakan hal yang mudah. Padahal untuk menjadi seorang guru, seseorang harus memiliki kriteria tertentu. termasuk kriteria ketika ia akan menjadi guru.
“Tak sembarang orang bisa jadi guru. Ada berbagai kriteria yang harus dipenuhi termasuk untuk kaum muda yang akan jadi guru,” kata Dr. H. Sulistyo, dalam sebuah diskusi publik di Jakarta, Jumat (25/11).
Kepada kaum muda, terutama para mahasiswa, Sulistyo memberikan warning agar tidak memaksakan diri menjadi guru bila tidak memenuhi kriteria tertentu.
“Pertama, kaum muda calon guru harus cerdas. Kita butuh anak muda cerdas terpilih. Kedua, jadi guru harus merupakan panggilan hati untuk berandil mau mendidik anak bangsa. Tanpa itu, jangan jadi guru!” katanya.
Sulistyo menjelaskan, ketika profesi guru kian mendapat perhatian dari pemerintah, maka minat kaum muda untuk menjadi guru menjadi berlipat. Maka sudah saatnya pemerintah memiliki aturan atau sistem yang baik dalam hal rekrutmen calon guru.
“Jangan sampai terlalu mudah menjadi seorang guru. Setiap orang bisa menjadi guru dan setiap orang bisa mengangkat guru. Padahal tidak sembarang orang bisa jadi guru dan tidak sembarang orang dapat mengangkat guru,” ujarnya.
Ucapan Sulistyo terkait munculnya booming guru sukwan akhir-akhir ini sebagai akibat tidak adanya sistem rekrutmen calon guru dari pemerintah. Akibatnya pemerintah daerah mengangkat guru honor, bahkan cukup dengan SK kepala sekolah saja seseorang bisa menjadi guru. Dampaknya, kini sejumlah persoalan guru muncul, termasuk persoalan guru honorer.

Satu Kesatuan Sistem
Kini sejumlah persoalan guru pada akhirnya harus segera ditangani. PGRI, kata Sulistyo, terus mendesak Pemerintah dan DPR agar membenahi guru dengan sebuah sistem yang terintegrasi. “Di banyak negara maju, pembe-nahan guru sudah sejak lama dilakukan dengan rangkaian sistem yang tak terpisahan,” katanya.
Sistem dimaksud, lanjut Sulistyo, mulai dari sistem seleksi calon mahasiswa keguruan, pembenahan lembaga pendidikan penghasil guru, rekrutment calon guru, distribusi atau penempatan guru, kesejahteraan, perlindungan hukum, hingga jaminan masa pensiun.
“Rangkaian itu satu kesatuan, itu kalau mau membenahi persoalan guru di negeri ini,” tegasnya. Ia mencontohkan, di negara maju, pemerintah menyeleksi kaum muda yang cerdas untuk menjadi guru. Yang terpilih karena cerdas dan memiliki panggilan jiwa. “Mereka mahasiswa cerdas dididik, diberi beasiswa dan jaminan kesejahteraan untuk menjadi guru,” urai Sulistyo.

Distribusi Guru
Soal jumlah guru, Sulistyo mengatakan bahwa Indonesia justru tergolong mewah untuk ukuran rasio jumlah guru.
“Sebenarnya kita tidak kekurangan guru. Bahkan berlebih. Hal ini diakibatkan tidak idealnya jumlah guru yang ada di Indonesia, dibandingkan dengan jumlah siswa,” katanya.
Di Indonesia, guru itu rasionya 1 guru : 18 siswa. Sedangkan di Amerika saja rasionya 1 : 20, dan di Korea 1 : 30. Indonesia kelebihan guru. Meski jumlah berlebih, namun ada masalah ketidakmerataan atau distribusi guru.
Kondisi ini, lanjut Sulistyo, membuktikan bahwa pemerintah daerah tidak memiliki kemampuan yang baik dalam menghitung kebutuhan guru di daerahnya masing-masing. Sehingga berdampak buruk pada penyelesaian persoalan pemerataan guru. “Wajar kalau akhirnya saat ini jumlah guru di daerah terpencil sangat minim, padahal jumlah guru cukup,” kata Sulistyo.
Disebutkan, kekurangan guru akibat distribusi yang tidak merata tidak hanya dialami daerah-daerah terpencil di luar Pulau Jawa. Kondisi itu juga terjadi di Pulau Jawa, bahkan di kabupaten/kota yang jaraknya tidak jauh dari Jakarta. “Di sekitar Jakarta seperti Bogor, Banten, masih banyak jumlah guru yang kurang,” terangnya.
Sulistyo mengatakan, persoalan distribusi ini sudah menjadi masalah menahun. Bahkan, hingga saat ini tak kunjung ada solusi penyelesaian yang dilakukan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
Oleh karena itu diharapkan ada tindakan konkret yang segera harus dilakukan oleh pemerintah untuk menangani masalah ini. “Tidak ada penyelesaian signifikan. Mungkin solusinya, masalah guru ini tidak ikut didesentralisasikan,” tegasnya.

Butuh Peraturan Pemerintah
Sulistyo tak menampik, berkat perjuangan PGRI, kini penghasilan guru PNS terus mem-baik. Terlebih guru PNS yang telah lulus ser-tifikasi atau guru non PNS yang bersertifikat, gaji mereka bertambah besar. Namun ia tetap miris dengan nasib guru non PNS. “Secara umum guru itu ada dua, yakni guru PNS dan Non PNS. Guru Non PNS itu ada yang disebut honorer atau sukwan. Mereka ini yang kini harus diperhatikan,” katanya.
Para guru sukwan yang diangkat kepala sekolah mendapat upah bulanan hanya dari dana BOS. “Paling 100-200 ribu sebulan. Itu pun kalau BOS-nya lancar, kalau tidak?” kata Sulistyo. Soal nasib guru honorer yang menyedihkan itu, Sulistyo mengingatkan pemerintah bahwa mereka (honorer) harus mendapat penghargaan yang layak sebagaimana profesi lainnya di negeri ini.
“Di negeri ini ada yang namanya Upah Minimum Regional (UMR). Guru sukwan pun harus punya aturan itu. Terlebih, mereka itu banyak yang berijazah S-1. Padahal mereka mendidik anak bangsa. Itu tidak adil,” ujarnya.
Namun Sulistyo, menjelaskan para guru sukwan pun ada yang benar-benar dibutuhkan lembaga pendidikan ada pula yang tadinya asal angkat tanpa memperhatikan kebutuhan, sehingga kerjanya tak jelas.
“Kami ingin pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah tentang Guru Tidak Tetap. Guru honorer yang rajin bekerja dan dibutuhkan, itu yang harus dilindungi dengan aturan jelas. Bukan honorer yang ke sekolah satu dua hari dalam seminggu,” kata Sulistyo.
PGRI, kata Sulistyo, meminta Presiden SBY dan DPR untuk segera menangani guru-guru honorer. Walaupun pada akhirnya tidak semua guru honorer dapat diangkat jadi PNS, nanti-nya ada aturan khusus untuk guru tidak tetap.
(agus ponda/ganesha)

Tidak ada komentar: