Senin, 19 September 2011

Banyak Sebab Mengapa Guru Kian Ogah Dimutasi?

Pemerintah sedang berupaya keras bagaimana agar distribusi Pegawai Negeri Sipil di seluruh Indonesia merata sesuai kebutuhan. Salah satu PNS yang dibidik untuk ditata kembali adalah para pendidik. Namun ada indikasi, kian hari guru PNS kian sulit untuk dimutasi, benarkah? Apa saja sebabnya? .......................................

Di tengah akan diluncurkannya Penataan Pegawai Negeri Sipil, sejumlah fakta mengemuka, guru di banyak daerah ternyata tidak mudah untuk dimutasi. Kondisi ini jauh berbeda dengan kebiasaan mutasi atau pindah tugas yang sering terjadi di kalangan pegawai militer seperti TNI atau kepolisian yang selalu siap sedia ditempatkan di mana saja. Guru cenderung kurang patuh pada keinginan pemerintah pusat dan daerah.
Tengoklah, banyak penolakan mutasi yang dialamatkan kepada guru. Awal bulan Agustus 2011, di Kalimantan, misalnya, pemerataan guru di setiap sekolah yang berada di pinggiran Kota Banjarmasin, masih sulit dilakukan oleh dinas pendidikan setempat. Padahal mutasi hanya akan memindahkan lokasi tugas mereka, bukan ke daerah terpencil, tapi hanya berkisar daerah tengah dan pinggiran kota itu.
Kepala Dinas Pendidikan Kota Banjarmasin, Noor Ipansyah, di Banjarmasin, mengungkapkan, tenaga pengajar di wilayah Kota Banjarmasin selalu mengalami ketimpangan dari segi jumlah, baik pinggiran maupun tengah kota. Dengan adanya ketimpangan itu, dinas pendidikan tidak bisa menjamin selesainya target waktu untuk pemerataan tenaga pengajar di wilayah tersebut.
"Kami sudah melakukan berbagai cara dan upaya menyebar keberadaan guru baik ke pinggiran maupun tengah kota, tapi selalu saja mengalami kesulitan. Kesulitan itu mengingat banyaknya guru yang melakukan penolakan apabila ingin dilakukan mutasi ke daerah pinggiran kota," ujarnya.
Dengan kondisi tersebut, lanjut Noor, ke depan dinas pendidikan akan bertindak tegas terhadap para guru yang menolak mutasi. Sanksi bagi guru yang tidak mau dimutasi berupa penundaan gaji berkala dan ke depannya akan lebih dipertegas lagi.
Baru-baru ini di Sumatera Utara, Kabupaten Samosir juga dihebohkan dengan pemutasian 143 guru. Para guru sebagian besar tidak suka dipindahkan. Bahkan tidak sedikit di antara mereka yang menangis karena mutasi.
Banyak guru yang merasa dirugikan karena mutasi, yang menangis, karena suami dan isteri yang sama-sama guru terpaksa harus berjauhan. Ibu di Kecamatan A. Bapak di Kecamatan B dan anaknya sekolah di Kecamatan C. Mereka harus berpisah karena mutasi melalui SK Bupati.
Kisah penolakan mutasi guru juga terjadi di Nusa Tenggara Barat. Seorang guru tak mau dimutasi ke SLTP lainnya, bahkan bersedia dipecat. Ia bersikukuh bahwa selama mengajar di sekolah lama, dirinya tak pernah ada masalah, sehingga tak masuk akal dirinya dimutasi. Ia mengaku tidak jelas dengan mutasi yang menimpanya.
“Jika mutasi guru dilandasi azas pemerataan dan azas manfaat, ada baiknya mutasi dilakukan. Bagaimana jika mutasi dilakukan/terjadi karena rasa dengki dari kepala sekolah dan atau penguasa tertentu?” tanya guru SMP tersebut.

Banyak Sebab & Alasan
Banyaknya penolakan mutasi dari para guru di berbagai daerah ternyata bukan tanpa sebab. Alasan penolakan beragam. Ada guru yang menolak mutasi karena mereka merasa jadi korban kebebasan berotonomi daerah yang dinilai mulai kebablasan. Ada kebijakan yang tidak memperhatikan “nurani dan akal sehat”. Kebijakan terjadi pada berbagai aspek yang mengakibatkan ada “suka dan duka” serta tidak seimbang.
Di daerah Samosir misalnya, sebagian guru menangkap kesan, kebijakan mutasi dilakukan bupati bukan untuk pemerataan namun ada unsur dendam politik.Seorang guru yang sudah menerima SK mutasi dikabarkan tidak jadi pindah setelah diketahui dia isteri dari seorang pendukung bupati saat pilkada. Membuktikan kalau mutasi seolah-olah dicemari dendam politik. Artinya mutasi dilakukan bukan murni untuk pemerataan distribusi guru PNS.
Alasan lainnya, banyak guru resah dan ketakutan bahwa mutasi bisa mengancam status sertifikasi seorang guru. Pada unit kerja lama, para guru yang dimutasi ada yang sudah mendapat pengakuan dan tes sertifikasi. Dengan dipindahkan ke unit kerja baru, kemungkinan besar mereka tidak lagi mendapatkannya. Karena berpeluang jam kerjanya tidak lagi mencapai 24 jam/minggu, sebagai salah satu syarat penerima sertifikasi.
Sebab lain, mental guru yang ‘lembek’ banyak guru yang manja dan merasa bakal tidak sanggup bertugas di daerah yang serba minim, seperti minim sarana transfortasi, lokasi jauh/terpencil, fasilitas kehidupan masyarakat tak lengkap, dan kondisi sekolah baru yang serba kurang. Guru terkesan tak sanggup hidup survival bila ditugaskan ke daerah pinggiran atau terpencil.
Guru juga menolak mutasi karena alasan ekonomi. Terlebih bila mutasi tanpa kompensasi penambahan penghasilan dari pemerintah. Mutasi dinilai hanya akan keluarnya biaya hidup yang lebih besar. Misalnya biaya transportasi di perjalanan serta kebutuhan sehari-hari. Pengeluaran untuk dapur bertambah karena tidak lagi satu kuali dengan suami/istri/anak. Di tempat baru mereka harus mencari tempat tinggal atau harus mengontrak.

Sekolah Serasa Milik Sendiri
Yang paling ‘parah’ sesungguhnya sikap mental para guru yang kian ogah hidup ‘repot’ karena urusan tempat kerja. Karena terlanjur “betah’ di sekolah lama, maka tak ada kamus pindah atau mutasi dalam karirnya. Sejak awal bertugas yang dibidik adalah sekolah yang dekat dengan tempat tinggalnya, hingga pensiun pun akan bertahan di sekolah tersebut.
Terlalu lamanya seorang PNS bekerja di suatu lembaga atau sekolah sering menimbulkan perasaan yang salah. Misalnya mereka sudah merasa bahwa sekolah tempatnya bekerja sudah ‘menjadi milik sendiri’. Sikap yang tumbuh bukan lagi sikap sebagai PNS yang siap ditempatkan di mana saja, tapi sikap statis yang tak mau lagi diutak-atik di sekolah ‘milik sendiri’. Mereka tak lagi berpikir bagaimana masyarakat butuh sekolah yang lebih segar, regenerasi, peningkatan kualitas sesuai perkembangan jaman.
Sandy Guswan, seorang guru Bahasa Inggris di MAN 2 Banjarmasin yang juga seorang kolumnis mengatakan bahwa ideal-nya justru setelah dirasa cukup lama meng-abdi di sebuah sekolah para guru seperti itu dapat dimutasikan ke sekolah lainnya.
“Manusia adalah makhluk dinamis yang selalu ingin bergerak dan berubah menuju hal-hal yang lebih baik. Itu merupakan fitrah manusia. Air yang mengalir tentu lebih baik daripada air yang diam. Diam mengakibatkan keburukan. Guru tentu tidak ingin hal-hal buruk atau negatif terjadi pada diri dan lingkungan mereka. Sehingga perubahan merupakan suatu kebutuhan.” seharusnya kata Sandy, itu yang menjadi prinsip mutasi guru. Ia menilai, selama ini guru yang sejak awal bertugas sampai pensiun selalu mengabdi di sebuah sekolah yang sama, sebenarnya merugikan dalam usaha untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional.

Peta Kualitas Guru
Sandy berpendapat, untuk penyebaran guru, dinas pendidikan sudah saatnya membuat peta kualitas tenaga pendidiknya. Berdasarkan data tersebut dinas pendidikan dapat menyebar para guru berkualitas baik pada semua sekolah dan bukannya menumpuk guru-guru berkualitas pada satu sekolah tertentu saja. Guru-guru berkualitas ini diharapkan dapat menularkan ilmu-ilmu mereka kepada guru-guru yang masih kurang baik dari segi pengalaman maupun kemampuan.
Harus diakui mutasi guru bukanlah hal yang sederhana. Akan ada banyak masalah dan perlawanan dari para guru. Alasan tempat tugas baru yang jauh dari tempat tinggal sering menjadi alasan penolakan mutasi guru.
Lanjut Sandy, menyikapi perlawanan dari para guru yang tidak mau dimutasi tersebut dinas pendidikan dapat membuat kebijakan yang bersifat win-win solution. Artinya mutasi guru tetap dapat terlaksana dan guru pun bahagia atau setidaknya tidak menderita dengan adanya mutasi tersebut. Karena tujuan mutasi guru ini antara lain penyegaran bagi para guru dan pemerataan bagi sekolah-sekolah.
Memang, bukan hanya para orang tua dan anak didik yang berkeinginan ‘menuju’ sekolah unggul, favorit, bahkan standar nasional/internasional . Para guru pun juga beramai-ramai menuju sekolah tersebut baik karena keinginan pribadi atau karena perintah atasan. Akhirnya guru-guru berkualitas hanya akan menumpuk di sekolah-sekolah tertentu saja. Sedangkan di sekolah-sekolah pinggiran hanya ada guru-guru ‘sisa’ ditambah dengan anggaran yang kurang memadai maka lengkaplah penderitaan sekolah-sekolah tersebut.
Di samping terus meningjatkan kesejahteraan guru, sangat mendesak, pemerintah harus menghentikan pengkategorian sekolah yang tidak sehat tersebut. Semua sekolah harus diberi perhatian dan bantuan yang sama karena siswa-siswa yang belajar semuanya adalah harapan bangsa penerus bangsa ini.
Dinas pendidikan diharapkan dapat membuat formula yang adil baik bagi guru maupun bagi sekolah dalam program mutasi guru. Mutasi ini tentu bukan hal yang mudah bagi para pendidik. Sebagai langkah awal adalah perubahan tempat duduk para pendidik di kantor dewan guru yang terus diganti setiap semester atau setiap tahun. Ini tidak sulit untuk diprogramkan, hanya pertanyaannya apakah hanya mutasi tempat duduk di kantor guru pun mereka tak mau repot?
Semoga langkah kecil tersebut dapat ‘menyadarkan’ kita bahwa mutasi itu baik dan bermanfaat bagi guru dan mutu pendidikan nasional. Jadi jangan takut berpindah tempat tugas selagi anda tetap menjadi Guru PNS!
(agus ponda/ganesha)

Tidak ada komentar: