Selasa, 02 Agustus 2011

Sehatkah Anak Guru Bersekolah di Tempat Orang Tuanya?

Guru sebagaimana juga orang tua yang memiliki anak pasti akan menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah yang baik dan mendukung. Para guru justru dianggap orang yang sangat selektif dalam memilih sekolah karena dia sangat mengerti dengan pandidikan. Lalu, bagaimana jika pilihannya adalah menyekolahkan anak di tempat dia bekerja. Sehatkah ini ?.
Beberapa guru banyak yang menyekolahkan anaknya di sekolah tempatnya bekerja dengan berbagai alasan. Ada yang beralasan supaya bisa sekalian berangkat bekerja dan mengantar anak sehingga lebih praktis dan ekonomis. Apalagi jika mengingat usia anaknya yang masih anak-anak dan perlu pengawasan. Dalam usia-usia seperti ini memang masih wajar jika anak bersekolah mengikuti orang tuanya. “Jika anak saya bersekolah di sekolah lain maka biaya yang dikeluarkan akan lebih besar, harus nambah ongkos, juga harus ada pembantu untuk menjemputnya. Jadi, saya putuskan untuk ikut bersekolah di tempat saya bekerja meskipun ada sekolah di tempat saya tinggal” ungkap Elis guru SD yang memiliki anak usia 8 tahun.
Alasan lain yang dikemukakan adalah agar lebih mudah mengawasi anak. Beberapa guru menyekolahkan anak karena alasan ini. Mereka beralasan jika anaknya bersekolah di luar takut terkena pengaruh buruk terutama jika anak mereka pada usia-usia rawan seperti usia SMP atau SMA. “Pergaulan saat ini memang cukup rawan jadi saya putuskan anak saya bersekolah di tempat saya bekerja biar lebih mudah memantaunya. Apalagi anak saya seorang perempuan”ungkap Asep seorang guru SMA.
Selain alasan tersebut, ada juga alasan memberikan pendidikan yang baik bagi anak. Hal itu terjadi jika sekolah tempat orang tuanya bekerja merupakan sekolah favorit. Jadi, tidak ada pilihan lain bagi anaknya bersekolah di tempat orang tuanya bekerja agar mendapatkan pendidikan yang baik kepada anaknya. “Menurut saya justru jika seorang guru, anaknya saja disekolahkan di sekolah lain berarti dia tidak mengakui keunggulan sekolah, tempatnya mengajar. Kalau sudah begini, bagaimana orang lain percaya pada sekolahnya !” ungkap Efendi, seorang guru di sekolah favorit dengan tegas.
Senada dengan Effendi, salah seorang kepala sekolah di sebuah SMP di Ciamis malah menganjurkan agar para guru menyekolahkan anak di tempatnya bekerja. Hal itu, selain untuk menunjukkan kualitas sekolah kepada masyarakat juga untuk menambah jumlah siswa. Apalagi saat ini sekolah berlomba-lomba menambah jumlah siswa karena ada kewajiban sertifikasi guru mengajar 24 jam. “Saya melihat sangat ironis ketika gurunya menyekolahkan di tempat lain sedangkan di berkoar-koar agar para lulusan bersekolah di tempatnya bekerja” ungkap kepala sekolah yang enggan dituliskan namanya itu.
Anak guru bersekolah di tempat orang tuanya bekerja memang sah dan tidak melanggar hukum. Akan tetapi, memang harus diakui biasanya muncul berbagai persoalan sosial dan psikologis di sekolah ketika seorang anak guru bersekolah di tempat orang tuanya bekerja. Salah satunya adalah anak menjadi manja dan kurang mandiri karena merasa selalu dekat dengat orang tuanya. Anak menjadi tidak terlatih jauh dari orang tua. Jika ada apa-apa tinggal panggil orang tuanya.
Menurut seorang psikolog anak, Armiya, salah satu hal yang dapat melatih kemandirian adalah jauh dari orang tua. “Saya melihat bahwa anak-anak yang kos, misalnya cenderung lebih bisa mendiri dibandingkan anak yang tinggal dan bersekolah dengan orang tuanya” jelas Armiya.
Dampak lain adalah seringnya terjadi kecemburuan dari anak-anak lain apalagi jika anak tersebut menjadi rangking terbaik. Sudah sering muncul istilah kalau anak guru rangking pertama sangat sulit disaingi oleh anak-anak yang lain karena akan dibantu orang tuanya. Atau ada juga yang sering mengungkapkan bahwa jika anak guru jadi rangking pertama hal itu karena nepotisme orang tuanya. Apalagi kalau guru tersebut mengajar anaknya secara langsung. “Anak saya cukup pandai dan berhasil menjadi rangking tiga di kelasnya namun untuk menjadi rangking dua dan rangking satu rasanya sulit karena keduanya adalah anak guru di sekolah itu”ungkap Komar orang tua siswa yang kini duduk di kelas delapan sebuah SMP swasta.
Keberadaan anak guru di sekolah tempatnya bekerja juga sering membuat rekan guru lain canggung dalam memberikan penilaian. Beberapa guru menjadi serba salah jika memberikan nilai rendah terhadap anak rekannya apalagi kalau orang tua dari anak tersebut adalah guru senior atau guru yang pangkatnya lebih tinggi. Biasanya para guru mencari aman dengan tidak memberikan nilai rendah kepada anak guru rekannya itu. Atau juga malah sebaliknya jika seorang guru tidak suka dengan orang tua si anak bisa saja akan mempengaruhi nilai si anak.
Melihat beberapa efek negatif itu maka sangat disarankan agar anak guru tidak bersekolah di tempat orang tuanya apalagi jika anak memasuki usia remaja seperti SMP dan SMA. Hal tersebut diungkapkan pengamat pendidikan, Sartono. Menurutnya, boleh saja guru menyekolahkan anak di tempatnya bekerja tetapi jangan terus-terusan sampai tingkat atas karena akan mempengaruhi mental dan psikologis anak. “Menurut saya kalau pada usia-usia anak-anak bolehlah dia ikut orang tuanya bersekolah tetapi pada tingkat remaja seperti SMP, SMA atau Perguruan Tinggi sebaiknya dia disekolahkan di sekolah lain agar membuatnya mandiri” jelas Sartono.
Hal senada diungkapkan Andi, seorang lulusan SMA Ciamis yang kini diterima menjadi mahasiswa PTN di Bandung. Menurutnya, salah satu alasan melanjutkan pendidikan di kota besar adalah belajar mandiri dan mengenal lingkungan baru yang mungkin berbeda dengan lingkungannya selama ini. “Di Bandung saya sudah kenal teman-teman dari seluruh Indonesia bahkan dari luar negeri, hal ini menambah pengalaman bagi saya. Saya juga akan jadi anak kos yang membuat saya mudah-mudahan akan lebih mandiri lagi” harapnya.
Menurut Andi, mungkin di daerahnya jika dilihat dari pendidikan saat ini sudah sama dengan di kota besar tetapi di kota besar dia akan menjumpai berbagai hal baru yang tidak dijumpai di daerahnya. “Jadi, bukan hanya belajar di sekolahnya saja tetapi juga belajar dari lingkungannya” tambah Andi.
Sementara itu, hal yang unik bisa kita jumpai di pesantren-pesantren. Beberapa kiai di pesantren yang ditemui Ganesha mengungkapkan kalau mereka menyekolahkan anak di pesantren lain dan bukan di pesantrennya. Tak jarang jarak pesantrennya cukup jauh. Para Kiai tersebut beralasan agar anak-anak mandiri dan memiliki pengalaman di tempat yang baru. “Selain itu, jika dipesantrenkan di sini rata-rata mereka manja dan susah diatur karena merasa orang tuanya pimpinan pesantren” ungkap Kiai Hidayat salah seorang pimpinan pondok pesantren.
Menurut Kiai Hidayat, di pesantrennya juga dia mendidik anak dari kiai lain sahabatnya. Jadi, biasanya antara para kiai sering terjadi titip menitip mendidik anak dan hal itu sudah lumrah dilakukan di kalangan pesantren.
Seorang pengamat pendidikan anak lain mengungkapkan bahwa sebenarnya menyekolahkan anak baik bagi guru ataupun orang yang lainnya memang memiliki berbagai dimensi. Selain dimensi ekonomi, ada juga dimensi psikologi dan edukasi. Oleh karena itu, jika dilihat secara psikologis dan edukasi menurutnya seorang anak guru akan lebih baik jika disekolahkan di sekolah lain tetapi jika secara ekonomis tidak mendukung maka menyekolahkan anak di tempat orang tuanya terpaksa dilakukan.
Menurutnya, jika memang terpaksa, anak guru bersekolah di tempat orang tuanya bekerja maka harus dilakukan langkah-langkah antisipasi baik dari orang tua, rekan guru, maupun sekolah. Dalam pengaturan jadwal, perlakuan dan sikap dari para guru juga harus mempertimbangkan kondisi mental dan psikologis anak, teman-temannya serta guru-gurunya.
Dalam pergaulan sehari-hari di sekolah, anak-anak guru tersebut harus diperlakukan sama dengan anak-anak lainnya. Begitu juga para guru harus memperlakukan sama antara anak guru dengan lainnya. Orang tua anak juga harus memahami secara objektif kemampuan anaknya jika memang dinilai rendah oleh guru yang lain.
Sekolah juga harus proporsional dalam memberi kesempatan kepada semua siswa sehingga tidak terkesan anak guru diistimewakan. Bahkan, jika dinilai berpengaruh buruk pada anak tersebut, sebaiknya sekolah lebih baik mengambil kebijakan agar anak tersebut tidak diajar oleh orang tuanya.
Secara umum, harus diakui memang umumnya anak-anak guru memiliki potensi kecerdasan yang lebih baik dibandingkan dengan anak-anak lainnya. Hal ini mungkin karena orang tuanya adalah orang yang mengerti cara mendidik anak. Oleh karena itu, penanganan anak-anak guru, harus benar-benar baik agar potensi mereka dapat berkembang lebih baik di masa mendatang.
(Nana Ramdhana)
Guru sebagaimana juga orang tua yang memiliki anak pasti akan menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah yang baik dan mendukung. Para guru justru dianggap orang yang sangat selektif dalam memilih sekolah karena dia sangat mengerti dengan pandidikan. Lalu, bagaimana jika pilihannya adalah menyekolahkan anak di tempat dia bekerja. Sehatkah ini ?.
Beberapa guru banyak yang menyekolahkan anaknya di sekolah tempatnya bekerja dengan berbagai alasan. Ada yang beralasan supaya bisa sekalian berangkat bekerja dan mengantar anak sehingga lebih praktis dan ekonomis. Apalagi jika mengingat usia anaknya yang masih anak-anak dan perlu pengawasan. Dalam usia-usia seperti ini memang masih wajar jika anak bersekolah mengikuti orang tuanya. “Jika anak saya bersekolah di sekolah lain maka biaya yang dikeluarkan akan lebih besar, harus nambah ongkos, juga harus ada pembantu untuk menjemputnya. Jadi, saya putuskan untuk ikut bersekolah di tempat saya bekerja meskipun ada sekolah di tempat saya tinggal” ungkap Elis guru SD yang memiliki anak usia 8 tahun.
Alasan lain yang dikemukakan adalah agar lebih mudah mengawasi anak. Beberapa guru menyekolahkan anak karena alasan ini. Mereka beralasan jika anaknya bersekolah di luar takut terkena pengaruh buruk terutama jika anak mereka pada usia-usia rawan seperti usia SMP atau SMA. “Pergaulan saat ini memang cukup rawan jadi saya putuskan anak saya bersekolah di tempat saya bekerja biar lebih mudah memantaunya. Apalagi anak saya seorang perempuan”ungkap Asep seorang guru SMA.
Selain alasan tersebut, ada juga alasan memberikan pendidikan yang baik bagi anak. Hal itu terjadi jika sekolah tempat orang tuanya bekerja merupakan sekolah favorit. Jadi, tidak ada pilihan lain bagi anaknya bersekolah di tempat orang tuanya bekerja agar mendapatkan pendidikan yang baik kepada anaknya. “Menurut saya justru jika seorang guru, anaknya saja disekolahkan di sekolah lain berarti dia tidak mengakui keunggulan sekolah, tempatnya mengajar. Kalau sudah begini, bagaimana orang lain percaya pada sekolahnya !” ungkap Efendi, seorang guru di sekolah favorit dengan tegas.
Senada dengan Effendi, salah seorang kepala sekolah di sebuah SMP di Ciamis malah menganjurkan agar para guru menyekolahkan anak di tempatnya bekerja. Hal itu, selain untuk menunjukkan kualitas sekolah kepada masyarakat juga untuk menambah jumlah siswa. Apalagi saat ini sekolah berlomba-lomba menambah jumlah siswa karena ada kewajiban sertifikasi guru mengajar 24 jam. “Saya melihat sangat ironis ketika gurunya menyekolahkan di tempat lain sedangkan di berkoar-koar agar para lulusan bersekolah di tempatnya bekerja” ungkap kepala sekolah yang enggan dituliskan namanya itu.
Anak guru bersekolah di tempat orang tuanya bekerja memang sah dan tidak melanggar hukum. Akan tetapi, memang harus diakui biasanya muncul berbagai persoalan sosial dan psikologis di sekolah ketika seorang anak guru bersekolah di tempat orang tuanya bekerja. Salah satunya adalah anak menjadi manja dan kurang mandiri karena merasa selalu dekat dengat orang tuanya. Anak menjadi tidak terlatih jauh dari orang tua. Jika ada apa-apa tinggal panggil orang tuanya.
Menurut seorang psikolog anak, Armiya, salah satu hal yang dapat melatih kemandirian adalah jauh dari orang tua. “Saya melihat bahwa anak-anak yang kos, misalnya cenderung lebih bisa mendiri dibandingkan anak yang tinggal dan bersekolah dengan orang tuanya” jelas Armiya.
Dampak lain adalah seringnya terjadi kecemburuan dari anak-anak lain apalagi jika anak tersebut menjadi rangking terbaik. Sudah sering muncul istilah kalau anak guru rangking pertama sangat sulit disaingi oleh anak-anak yang lain karena akan dibantu orang tuanya. Atau ada juga yang sering mengungkapkan bahwa jika anak guru jadi rangking pertama hal itu karena nepotisme orang tuanya. Apalagi kalau guru tersebut mengajar anaknya secara langsung. “Anak saya cukup pandai dan berhasil menjadi rangking tiga di kelasnya namun untuk menjadi rangking dua dan rangking satu rasanya sulit karena keduanya adalah anak guru di sekolah itu”ungkap Komar orang tua siswa yang kini duduk di kelas delapan sebuah SMP swasta.
Keberadaan anak guru di sekolah tempatnya bekerja juga sering membuat rekan guru lain canggung dalam memberikan penilaian. Beberapa guru menjadi serba salah jika memberikan nilai rendah terhadap anak rekannya apalagi kalau orang tua dari anak tersebut adalah guru senior atau guru yang pangkatnya lebih tinggi. Biasanya para guru mencari aman dengan tidak memberikan nilai rendah kepada anak guru rekannya itu. Atau juga malah sebaliknya jika seorang guru tidak suka dengan orang tua si anak bisa saja akan mempengaruhi nilai si anak.
Melihat beberapa efek negatif itu maka sangat disarankan agar anak guru tidak bersekolah di tempat orang tuanya apalagi jika anak memasuki usia remaja seperti SMP dan SMA. Hal tersebut diungkapkan pengamat pendidikan, Sartono. Menurutnya, boleh saja guru menyekolahkan anak di tempatnya bekerja tetapi jangan terus-terusan sampai tingkat atas karena akan mempengaruhi mental dan psikologis anak. “Menurut saya kalau pada usia-usia anak-anak bolehlah dia ikut orang tuanya bersekolah tetapi pada tingkat remaja seperti SMP, SMA atau Perguruan Tinggi sebaiknya dia disekolahkan di sekolah lain agar membuatnya mandiri” jelas Sartono.
Hal senada diungkapkan Andi, seorang lulusan SMA Ciamis yang kini diterima menjadi mahasiswa PTN di Bandung. Menurutnya, salah satu alasan melanjutkan pendidikan di kota besar adalah belajar mandiri dan mengenal lingkungan baru yang mungkin berbeda dengan lingkungannya selama ini. “Di Bandung saya sudah kenal teman-teman dari seluruh Indonesia bahkan dari luar negeri, hal ini menambah pengalaman bagi saya. Saya juga akan jadi anak kos yang membuat saya mudah-mudahan akan lebih mandiri lagi” harapnya.
Menurut Andi, mungkin di daerahnya jika dilihat dari pendidikan saat ini sudah sama dengan di kota besar tetapi di kota besar dia akan menjumpai berbagai hal baru yang tidak dijumpai di daerahnya. “Jadi, bukan hanya belajar di sekolahnya saja tetapi juga belajar dari lingkungannya” tambah Andi.
Sementara itu, hal yang unik bisa kita jumpai di pesantren-pesantren. Beberapa kiai di pesantren yang ditemui Ganesha mengungkapkan kalau mereka menyekolahkan anak di pesantren lain dan bukan di pesantrennya. Tak jarang jarak pesantrennya cukup jauh. Para Kiai tersebut beralasan agar anak-anak mandiri dan memiliki pengalaman di tempat yang baru. “Selain itu, jika dipesantrenkan di sini rata-rata mereka manja dan susah diatur karena merasa orang tuanya pimpinan pesantren” ungkap Kiai Hidayat salah seorang pimpinan pondok pesantren.
Menurut Kiai Hidayat, di pesantrennya juga dia mendidik anak dari kiai lain sahabatnya. Jadi, biasanya antara para kiai sering terjadi titip menitip mendidik anak dan hal itu sudah lumrah dilakukan di kalangan pesantren.
Seorang pengamat pendidikan anak lain mengungkapkan bahwa sebenarnya menyekolahkan anak baik bagi guru ataupun orang yang lainnya memang memiliki berbagai dimensi. Selain dimensi ekonomi, ada juga dimensi psikologi dan edukasi. Oleh karena itu, jika dilihat secara psikologis dan edukasi menurutnya seorang anak guru akan lebih baik jika disekolahkan di sekolah lain tetapi jika secara ekonomis tidak mendukung maka menyekolahkan anak di tempat orang tuanya terpaksa dilakukan.
Menurutnya, jika memang terpaksa, anak guru bersekolah di tempat orang tuanya bekerja maka harus dilakukan langkah-langkah antisipasi baik dari orang tua, rekan guru, maupun sekolah. Dalam pengaturan jadwal, perlakuan dan sikap dari para guru juga harus mempertimbangkan kondisi mental dan psikologis anak, teman-temannya serta guru-gurunya.
Dalam pergaulan sehari-hari di sekolah, anak-anak guru tersebut harus diperlakukan sama dengan anak-anak lainnya. Begitu juga para guru harus memperlakukan sama antara anak guru dengan lainnya. Orang tua anak juga harus memahami secara objektif kemampuan anaknya jika memang dinilai rendah oleh guru yang lain.
Sekolah juga harus proporsional dalam memberi kesempatan kepada semua siswa sehingga tidak terkesan anak guru diistimewakan. Bahkan, jika dinilai berpengaruh buruk pada anak tersebut, sebaiknya sekolah lebih baik mengambil kebijakan agar anak tersebut tidak diajar oleh orang tuanya.
Secara umum, harus diakui memang umumnya anak-anak guru memiliki potensi kecerdasan yang lebih baik dibandingkan dengan anak-anak lainnya. Hal ini mungkin karena orang tuanya adalah orang yang mengerti cara mendidik anak. Oleh karena itu, penanganan anak-anak guru, harus benar-benar baik agar potensi mereka dapat berkembang lebih baik di masa mendatang.
(Nana Ramdhana)

Tidak ada komentar: