Selasa, 07 Juni 2011

Perpisahan Sekolah Kian Mewah

MENJELANG akhir tahun ajaran 2011, semua sekolah ‘mau tak mau’ harus menggelar acara perpisahan bagi peserta didik di kelas akhir. Ini sudah mentradisi. Benarkah kini acara perpisahan cenderung jadi adu gengsi dan pertunjukan hedonisme?
........................................................................................

Tinggal sekitar sebulan lagi, mulai tingkat Pra SD, SD, SMP, hingga tingkat SMA, akan melaksanakan acara perpisahan sekolah. Event ini seolah telah wajib digelar sebab bakal tak afdol bila melepas anak kelas akhir tanpa upacara perpisahan.
“Ya tentu kesannya aneh, saat awal-awal penerimaan siswa baru ada upacara dan kegiatan penyambutan buat kita, masak ketika sudah lulus sekolah tak pakai acara pelepasan?” ujar seorang siswa SMA di Ciamis.
Pihak sekolah juga tak bisa mengelak bila anak didiknya yang hendak meninggalkan almamaternya ingin dilepas dalam sebuah acara. Perpisahan sekolah penting sebagai akhir sebuah kenangan seorang siswa menempuh pendidikan di sebuah sekolah.
“Demi kebahagiaan anak, saya setuju ada perpisahan sekolah. Masalahnya jangan sampai perpisahan sekolah membuat orangtua kerepotan bahkan susah,” kata Esih memperingatkan pihak sekolah. Esih, wali murid yang anaknya baru lulus UN SMA.
Lanjut Esih, atas nama perpisahan, biasanya yang paling risau adalah para orangtua siswa. Bukan tidak senang melihat anak gembira. Tapi persoalannya, uang perpisahan terkadang tidak sesuai kantong keluarga. Keluhan ini tak jarang dilontarkan sejumlah wali murid.
Kekhawatiran biaya sangat dirasakan para orangtua siswa di kota besar seperti Jakarta dan Bandung. Menurut mereka, biaya perpisahan memang akan sangat tergantung tempat penyelenggaraan, tetapi mayoritas orangtua murid minta acara digelar di lingkungan sekolah saja, atau paling tidak masih di wilayah sekitar sekolah. “Kalau di luar kota harus mengeluarkan biaya ratusan ribu rupiah. Jadi, cukup di lingkungan sekolah agar tidak memberatkan beban orangtua khususnya orangtua tidak mampu,” kata Purwanto, orangtua murid yang anaknya bersekolah di SMP negeri di kawasan Bintaro, Pesanggrahan, Jakarta Selatan.
Tak pelak, Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo diminta supaya melarang sekolah mengadakan perpisahan di luar kota supaya tidak menimbulkan kecemburuan sosial dengan siswa sekolah lainnya.
“Untuk biaya hidup sehari-hari saja kini makin berat, terutama harga-harga sembako yang menggila. Padahal penghasilan kami justru tidak naik,” kata Purwanto.
Kendati belum menerima acara perpisahan putri sulungnya, Purwanto maupun orangtua peserta didik lainnya amat berharap pihak sekolah dan komite sekolah bersikap arif dengan kondisi sekarang yang makin terjepit. Dengan kata lain, janganlah hanya sekedar gengsi atau untuk menaikkan pamor sekolah perpisahan dipaksakan di luar kota. “Kalau acaranya (perpisahan) di luar kota gratis sih nggak apa-apa, tapi biasanya orangtua terpaksa harus merogoh kocek,” jelasnya.

Sebenarnya Tidak Wajib
Dari Sumatera Barat, Kadis Pendidikan Solok Selatan, Hamudis menegaskan bahwa acara perpisahan sekolah boleh saja dilakukan, sepanjang memperhatikan sedikitnya tiga hal. Pertama, tidak ada paksaan kepada siswa, kedua tidak memberatkan orangtua siswa, dan ketiga, apabila acara perpisahan ke luar daerah harus ada yang bertanggung jawab penuh.
“Untuk acara perpisahan ke luar daerah, juga mesti mengajukan izin kepada Disdik. Dinas akan memberi rekomendasi, sepanjang izin yang diajukan juga melampirkan persetujuan orangtua siswa,” tegas Hamudis.
Menurut Hamudis, acara perpisahan yang paling memberatkan orangtua siswa, yaitu bila digelar di luar daerah. Terhadap hal itu, ia mengimbau dan me-warning pihak sekolah agar tidak terlalu memaksakan dilaksanakannya acara tersebut. “Acara perpisahan sebenarnya hal yang tidak wajib. Jadi jangan diwajibkan. Kecuali kalau para orangtua siswa tidak merasa keberatan,” ujarnya.

Tren Terus Bergeser
Mansyur Semma, seorang observer gaya hidup dan dosen Universitas Hasanuddin Makasar, melihat secara nasional, perpisahan sekolah terus mengalami pergeseran tren. Dari awalnya sederhana namun sakral, berubah ke mewah namun berbalut konsumtif dan hedonis.
“Kian hari gaya hidup metropolis yang konsumtif dan hedonis, memang terus meracuni institusi pendidikan. Padahal gaya hidup tersebut sangat kapitalistik dan cenderung mengadopsi gaya hidup yang liberal. Salah satu buktinya fenomena tersebut dengan mudah diamati pada acara perpisahan sekolah yang kerap dilakukan setiap akhir tahun ajaran,” ujar Semma.
Memang tidak semua sekolah mampu menyelenggarakan acara perpisahan yang mewah, mahal, dan bergaya kapitalis. Ada sekolah yang menyelenggarakan acara perpisahan sangat sederhana. Dilakukan di sekolah, tidak menyewa gedung, tidak mendatangkan artis, serta hanya ditutup dengan doa, nasihat-nasihat perpisahan, dan hiburan kreasi orisinil siswa. Atau menampilkan seni tradisi lokal.
Sayangnya, ada anggapan sekolah-sekolah yang menyelenggarakan acara perpisahan yang sederhana tersebut adalah sekolah-sekolah yang bukan sekolah favorit, bukan sekolah model atau unggulan. Pada umumnya mereka berada di pinggiran kota dan pedesaan.
Sebaliknya sekolah-sekolah yang sudah terjebak gaya metropolis adalah sekolah-sekolah favorit yang ada di perkotaan. Di Jakarta dan Bandung misalnya, ada sekolah-sekolah favorit menyelenggarakan acara perpisahan di hotel dan gedung-gedung mewah, mengundang artis dan menampilkan berbagai acara hiburan serta acara-acara yang cenderung bebas dan glamor. Salah satu acara yang relatif glamour adalah acara prom night.
“Dalam acara prom night tersebut, siswa datang dengan dress code yang sudah ditentukan, wajib membawa pasangan, lalu dalam puncak acara ada penentuan `raja dan ratu prom’,” kata Semma.
Kata Semma, acara ini merupakan tradisi anak-anak sekolah di Barat yang liberal dan kapitalis, tentu sangat bertentangan dengan kesahajaan nilai-nilai budaya ketimuran Indonesia yang normatif dan religius. Acara seperti ini kian marak diadopsi di Jakarta dan beberapa kota besar lainnya di Indonesia. “Bukan tidak menutup kemungkinan acara seperti itu sudah diadopsi di beberapa kabupaten/kota. Hebatnya, acara tersebut tidak hanya dilakukan oleh siswa SMA, tapi juga sudah diadopsi oleh siswa-siswa SMP. Dapat dibayangkan bila siswa-siswi SMP bergaun dewasa dan harus ada pasangan. Apakah mereka tidak dipaksa dewasa dan terlalu dini mempraktekkan gaya hedonis?” kata Semma gundah.
Apakah rangkaian acara glamor tersebut direstui oleh kepala sekolah dan guru-guru? Menurut Semma, diperkirakan ada kepala sekolah yang mengetahui tapi tidak merestui, dan rangkaian acara tersebut berlangsung tanpa kehadiran guru-guru.
Selain itu, ada acara perpisahan sekolah yang dilakukan di luar kota hingga ke luar negeri. Ada SD favorit yang menyelenggarakan acara perpisahan di pulau Bali. Semua murid wajib ikut dan boleh ditemani oleh orang tua, sepanjang orang tua mampu mengeluarkan biaya ekstra. Agenda perjalanan mereka diatur oleh biro perjalanan tertentu.
“Ada seorang anak yang mengaku sangat menikmati perjalanan tersebut. Tubuhnya dipenuhi tato sebagai simbol dan bukti bahwa ia pernah ke Bali. Syukurlah, tato tersebut bukan tato permanen karena akan memudar dalam beberapa minggu,” kata Semma.
Lanjut Semma, ada pula siswa sekolah-sekolah favorit di ibukota melengkapi acara perpisahan dengan berlibur ke pulau Batam lalu menyeberang ke Singapura. Bahkan ada yang melanjutkan hingga ke Australia dan negara-negara lainnya. Seolah tamat sekolah merupakan awal untuk pelesiran dan bersenang-senang menikmati kekayaan orang tua. Patutkah ditiru?
(ap/ganesha/berbagai sumber)

Tidak ada komentar: