Alangkah menyenangkan bagi seorang guru jika di hadapannya duduk dengan rapi anak-anak didiknya. Mereka “manis-manis” dalam tingkah laku, penurut, pintar, dan bahkan lucu. Tapi apakah setiap hari akan seperti itu?
.........................................................
Menjadi guru bisa jadi adalah pekerjaan mudah jika setiap guru berprinsip bahwa dalam mengajar yang terpenting adalah telah tersam-paikannya sebuah materi pelajaran. Mau dipahami atau tidak oleh siswa, itu masalah lain. Bahkan mau didengar atau tidak pun, masa bodoh. Maka gampang sekali jadi guru jika seperti itu. Siapapun bisa menjadi guru.
Namun yang ideal tidaklah demikian. Sebaliknya menjadi guru adalah pekerjaan yang berat. Sebab kesulitan yang terbesar dihadapi guru bukan semata dalam hal menyampaikan materi pelajaran, tetapi dalam hal bagaimana ia mengenal dan memahami karakter siswa-siswinya.
Menurut Melinda M.Pd/, guru SMA Negeri 1 Karang Tinggi Bengkulu, seorang guru tidak selalu menghadapi murid-murid yang baik, penurut, anteng, atau tidak pernah iseng. Ada saja anak didik yang berlaku kurang menyenangkan. Atau membuat masalah. Untuk itu maka seorang guru harus mengenali dan memahami karakter hingga emosi anak didiknya.
“Banyak kasus yang mencoreng nama guru itu karena para guru yang tak paham karakter siswanya, kurang sabar dalam mengajar. Apabila ada murid yang bengal, maka solusinya adalah dengan kekerasan emosi pula.” kata Resti
Artinya guru harus selau siap siaga menghadapi keumungkinan seperti itu. Sebab selalu ada saja murid yang sikapnya justru bisa memancing kemarahan gurunya. Guru yang tidak bisa mengontrol emosinya dengan baik, sering terpancing untuk memarahi peserta didiknya di kelas bahkan melakukan kekerasan pada siswa. “Berbeda dengan seorang guru yang bisa mengontrol emosi dengan baik. Jika muridnya melanggar, ia mencoba untuk memahami perbuatan itu,” katanya.
Dia menambahkan, apalagi bila sebelum berangkat untuk mengajar sudah ada ketidaknyamanan atau masalah dari rumahnya, guru bisa mememberikan hukuman melebihi perbuatan murid yang dianggap salah oleh guru tersebut. Namu bagi guru yang bisa mengontrol emosinya, dengan penuh wibawa sang guru akan lembut memanggil anak tersebut.
“Lantas menanyainya dengan baik-baik. Dalam banyak kasus, justru perhatian seorang guru yang bertanya dengan baik-baik kepada anak yang bermasalah menjadikan mereka berhenti dari perbuatan tak baiknya.” katanya.
Guru harus mengedepankan sikap yang lembut jauh lebih bermanfaat daripada memberikan reaksi spontan dan amarah pada anak didik yang melakukan kesalahan. Anak-anak yang didekati dengan kemarahan biasanya sulit benar-benar berhenti dari perbuatan tidak baiknya.
“Jika anak diajak bicara baik-baik, ia merasakan ada perhatian dari gurunya. Sudah menjadi sifat dasar setiap manusia jika diperhatikan akan merasa senang hatinya. Di sinilah sesungguhnya menjadi penting bagi seorang guru untuk dapat mengontrol emosi dengan baik,” katanya.
Memahami
Dalam mengemban fungsi pendidik ini guru harus terampil dalam berkomunikasi dengan peserta didik di segala umur, sehingga setiap langkah dari proses penddikan yang dikelolanya, dilaksanakan untuk menunjang pengamalan fungsi ini.Ujian berat bagi guru dalam hal kepribadian adalah ransangan yang sering memancing emosnya. Untuk itu guru harus memahami apa itu emosi?
Menurut Prezz (1999) seorang EQ organizational consultant dan pengajar senior di Potchefstroom University, Afrika Selatan, emosi adalah suatu reaksi tubuh menghadapi situasi tertentu. Sifat dan intensitas emosi biasanya terkait erat dengan aktivitas kognitif (berpikir) manusia sebagai hasil persepsi terhadap situasi. Emosi adalah hasil reaksi kognitif terhadap situasi spesifik.
Emosi pada prinsipnya menggambarkan perasaan manusia menghadapi berbagai situasi yang berbeda. Oleh karena emosi merupakan reaksi manusiawi terhadap berbagai situasi nyata maka sebenarnya tidak ada emosi baik atau emosi buruk. Berbagai buku psikologi yang membahas masalah emosi seperti yang dibahas Atkinson (1983) membedakan emosi hanya 2 jenis yakni emosi menyenangkan dan emosi tidak menyenangkan. Dengan demikian emosi dapat dikatakan baik atau buruk hanya tergantung pada akibat yang ditimbulkan baik terhadap individu maupun orang lain yang berhubungan (Martin, 2003).
Kecerdasan Emosi
Dalam mengahadapi anak masa kini seorang guru dituntut untuk memiliki kecerdasan emosi dan sosial, suatu kemampuan untuk mengenali, mengolah dan mengontrol emosi agar dapat merespon secara positip setiap kondisi yang muncul dari siswa. Emosi memiliki arti penting dalam mempengaruhi siswa belajar .
Emosi juga berpengaruh besar bagi siswa untuk memiliki minat dalam ilmu yang dipelajari, semangat belajar sampai berprestasi akademik.” Kalau tidak suka bagaimana bisa belajar secara optimal “ pernyataan in adala peran dari emosi. Peranan emosi yang menentukan sikap dan perilaku siswa berasal dari pengetahuan mengenai bagian bagian dari otak manusia.
Menurut Dea Hill, otak manusia memiliki tiga bagian. Pertama: Original brain adalah bagian otak kanan yang pertama kali menerima respon. Siswa masih dalam tahap sub conscious menangkap pesan dalam bentuk visual. Jika pesan tersebut menarik perhatian maka bagian otak ini dapat bekerja optimal. Pembelajaran yang baik adalah pembelajaran yang dapat menarik perhatian secara visual. Metode ceramah yang panjang lebar dan tidak menggunakan media visual, ICT & alat peraga semakin tidak direspons oleh siswa karena tidak memiliki daya tarik .
Kedua Limbyc system adalah bagian otak kanan yang mengendalikan emosi. Bagian ini bekerja guna menghasilkan perasaan gembira, takut, cemas marah maupun takjub setelah menerima respon. Tiga detik pertama seorang siswa dapat terkesima oleh “performance” gurunya saat mengajar, apakah melihat penampilan ,kesan cerdas atau media pembelajaran yang ditampilkan.
Ketiga, neocortex adalah bagian otak yang dapat memberikan pemaknaan dari setiap stimulus yang disampaikan guru atau dapat menjelaskan alasan mengapa petemuan kelas itu menarik perhatiannya.Siswa lebih dulu mengungkapkan kesannya terlebih dahulu terhadap “penampilan “gurunya baru kemudian berpikir pentingya mengkuti pelajarannya. Jangan terkejut jika siswa lebih di”kuasai ‘emosi daripada berpikir logis.
Emosi inilah menentukan perilaku siswa, termasuk mempengaruhi semangat dalam belajarnya.Emosi ini yang menimbulkan perasaan siswa nyaman dan aman belajar bersama gurunya sekaligus dapat meningkatkan harga diri. Ungkapan orang tua siswa “ anak saya sekarang jadi rajin dan mau sholat sejak diajar pak guru itu“ adalah bentuk emosi yang dapat meningkatkan self esteem siswa.
Jadi emosi siswa memiliki pengaruh besar terhadap motivasi belajar ,rasa bahagia dan prestasi akademik belajar bersama gurunya.Hal ini merupakan dasar siswa termotivasi untuk memperbaiki perilaku dan prestasi akademiknya lantaran belajar bersama guru yang cerdas emosinya Ini bisa dijadikan tolok ukur untuk student satisfactions index , indeks kepuasaan siswa.
Bagi para guru menciptakan kegiatan belajar mengajar yang membuat siswa secara sadar berbahagia ,bersemangat dan ber prestasi secara optimal adalah dengan menciptakan emotional attachment dengan siswanya. Siswa tidak me-mikirkan lagi mengapa dia suka kepada gurunya atau alasan apapun tentang gurunya mereka “taklid”. Siswa merasa puas dan senang dengan metode pembelajaran yang diterapkan gurunya.
Kestabilan emosi amat diperlukan, namun tidak semua orang mampu menahan emosi terhadap ransangan yang menyinggung perasaan, dan memang diakui bahwa setiap orang mempunyai temperamen yang berbeda dengan orang lain.
Dalam hal memahami anak didiknya ini, memang seorang guru membutuh-kan kesabaran yang harus lebih ekstra sabar. Untuk keperluan tersebut, upaya dalam bentuk latihan mental akan sangat berguna. Kompetensi pedagogik guru harus ditingkatkan dan setiap guru harus masuk ke suasana keadaan siswa, memahami kondisi siswa, mengadakan pendekatan persuasif terhadap siswa yang bermasalah sehingga tahu inti dari yang dihadapi siswa. Dalam hal ini tugas terberat guru itu bukan mengajar tapi mendidik.
Namun apapun keadaan karakter dan emosi anak didik, sederhana saja, yang pertama yang harus dilakukan seorang guru terlebih dahulu adalah harus memahami dan mampu mengontrol emosinya sendiri, baru setelah itu guru dapat mengendalikan emosi siswanya.
(agus ponda/ganesha/fint)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar