Menulis Karya Ilmiah, Siapa Takut?
“Untuk kenaikan jabatan/pangkat setingkat lebih tinggi dari Guru Pertama, pangkat Penatan Muda, Golongan Ruang III/a sampai dengan Guru Utama, pangkat Pembina Utama, Golongan Ruang IV/e wajib melakukan kegiatan pengembangan keprofesian berkelanjutan yang meliputi sub unsur pengembangan diri....”
...................................................................
Demikian bunyi petikan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi nomor 16 Tahun 2009, tentang Jabatan Fungsional dan Angka Kreditnya.
Adanya Peraturan Menteri ini disikapi berbeda beragam oleh guru. Adanya yang bersikap proaktif dalam artian mempersiapkan sejak isu tersebut ada dan ada yang pasif dalam artian masih menunggu sosialisasi formal dari Dinas Pendidikan setempat.
Reaksi yang paling serius adalah ada-nya kekhawatiran yang berlebih yang di-alami oleh guru. Kecemasan tersebut ber-kaitan adanya hambatan kenaikan jabatan atau golongan ruang. Jika tidak membuat karya ilmiah maka akan menjadi guru Penata Muda seumur hidup. Kecemasan ini beralasan mengingat rendahnya keinginan guru untuk membuat karya ilmiah, bahkan mungkin belum merasa mampu membuat karya tulis. Benarkah?
Kepala SMAN 8 Pekanbaru H. Nurfaisaid, mengatakan sebenarnya guru mampu membuat karya tulis ilmiah. Masalahnya mereka masih membutuhkan pemahaman teknik dan cara penulisan karya ilmiah yang layak dan benar.
“Itu masalahnya,” ujar Nurfaisaid. Akibatnya kata Nurfaisaid, kalaupun ada ide dan keinginan untuk menulis karya ilmiah yang berkaitan dengan tugasnya, para guru lebih sering menunda-nunda waktu untuk melakukan penulisan karya ilmiah, daripada memulainya.
Dimulai dengan PTK atau Menulis di Media Massa
Salah satu karya ilmiah yang sangat memungkinkan untuk dibuat para guru adalah menulis hasil Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Sebelum melangkah jauh, pihak sekolah secara internal saja sudah bisa memfasilitasi guru untuk mampu menulis PTK. Misalnya menggelar Pelatihan Penelitian Tindakan Kelas.
Lanjut Nurfaisaid, PTK merupakan penelitian tindakan yang dilakukan pada proses pembelajaran di kelas. PTK ini bagi semua guru sudah biasa, karena hampir setiap hari melakukannya di kelas.
Salah sseorang guru, H. Yusri mengatakan, sebenarnya untuk melakukan karya tulis ilmiah berupa penelitian tindakan kelas tidaklah susah. Hanya saja, persoalannya, selama ini hasil karya ilmiah yang dilakukan untuk kenaikan pangkat yang diajukan, setelah dilakukan penilaian banyak karya ilmiah guru yang dikembalikan. Sehingga ini berdampak pada frustasi guru untuk mengajukan karya ilmiah yang kedua kalinya.
Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi nomor 16 Tahun 2009, tentang Jabatan Fungsional dan Angka Kreditnya juga mengatur ketentuan kenaikan pangkat guru dengan golongan kepangkatan III-a yang ingin naik menjadi III-b, wajib membuat tiga buah makalah yang berkaitan dengan bidang ajarnya.
Kemudian ketentuan kenaikan dari III-b ke III-c, wajib menulis artikel dan dimuat di koran atau majalah yang resmi baik level nasional maupun lokal yang telah ber- ISSN. Ketentuan seperti ini juga berlaku untuk usulan kenaikan golongan kepangkatan dari III-c ke III-d. Khusus untuk kenaikan dari III-d ke IV-a, guru wajib membuat penelitian dan hasilnya penelitian itu diterbitkan di jurnal yang memiliki ISSN (International Standard Serial Number) yang dikeluarkan LIPI.
Solusi Cerdas
Salah seorang Pengurus Ikatan Guru Indonesia (IGI) Kalimantan Selatan, Muhammad Ahsanul Huda, menuturkan, ada banyak langkah yang bisa dilakukan para pendidik menghadapi Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi nomor 16 Tahun 2009.
“Guru adalah pendidik yang cerdas. Ada-nya kebijakan pemerintah tersebut harusnya disikapi dengan cara elegan,” ujar Ahsanul.
Lanjut Ahsanul, ada beberapa solusi yang harus dilakukan oleh guru yang cerdas. Pertama, secara proaktif meminta klarifikasi/sosialisasi oleh pihak yang berwenang untuk menjelaskan perkara tersebut. Dinas Pendidikan Kota/Kabupaten misalnya. Guru tidak boleh terprovokasi oleh pihak-pihak tertentu sehingga memunculkan kecemasan yang berlebih.
Kedua, jika kebijakan tersebut setelah diklarifikasi/sosialisasi oleh pihak yang berwenang, maka harus ada prasangka baik kepada pemerintah. Pemerintah pasti telah menyiapkan sejumlah kebijakan untuk mencerdaskan guru untuk membuat karya ilmiah. “Jadi Pemerintah tidak akan menuntut sesuatu yang berlebih kepada guru sebelum memberikan bekal kepada guru.” ujarnya.
Ketiga, mengaktifkan kembali Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) atau yang semisal untuk mengadakan workshop yang berkaitan dengan pembuatan karya ilmiah. Cara ini sangat efektik dan ekonomis. Dikatakan efektif karena workshop yang dilaksanakan oleh MGMP yang bersangkutan sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkan oleh guru. Ekonomis karena pengurus cukup mendatangkan narasumber yang benar-benar mengerti tentang karya ilmiah (PTK, misalnya). “Narasumber ini bisa dari kalangan guru sendiri yang telah melaksanakan karya ilmiah.” sarannya.
Keempat, mendorong sekolah tempat guru bertugas untuk melaksanakan workshop atau In House Training (IHT). Dana kegiatan tersebut dapat bersumber dari dana Block Grant atau bersumber dari Komite Sekolah.
Kelima, tambah Ahsanul, dengan mendorong organisasi-organisai guru seperti PGRI, KGI/IGI (Klub Guru Indonesia/Ikatan Guru Idonesia) untuk melaksanakan kegiatan yang bersifat praktis. Sehingga ketika kegiatan tersebut dilaksanakan oleh mereka (PGRI, KGI/IGI) tidak berorentasi pada keuntungan. “Jadi mengikuti workshop atau In House Training (IHT) berkualitas dan murah.” cetusnya.
Keenam, kata Ahsanul, membuat karya ilmiah itu sebenarnya mudah. Guru telah membuatnya dengan tidak langsung. Ketika guru melaksanakan pembelajaran kemudian mendapatkan masalah dan guru melakukan beberapa rekayasa, akhirnya mampu menyelesaikan masalah pembelajaran yang ia alami.
“Ini adalah bagian dari PTK. Pengala-man dalam proses pembelajaran yang dimanajemen dengan pola tertentu adalah PTK. Jadi PTK itu mudah,” ucap Ahsanul.
Ketujuh, menggandeng mahasiswa perguruan tinggi untuk melaksanakan karya ilmiah. Jika karya ilmiah ini berbetuk Penelitian Tindakan Kelas (PTK), maka PTK ini dapat dilaksanakan dengan prinsip kolaborasi.
“Ini adalah bentuk kerja sama simbiosis mutualisme yang cerdas. Hasil PTK ini adalah kolaborasi antara pengalaman guru dan kedalaman teori oleh mahasiswa. Sehingga PTK tersebut sangat solutif. Ini adalah pengalaman saya sendiri.” katanya.
Kedelapan, adalah dengan memanfaatkan era teknologi dan informasi. Untuk guru pemula model ini sangat efektif. Guru hanya “berselancar” di dunia maya (internet) dengan mengetik “PTK” atau “karya ilmiah guru” maka akan didapat ratusan contoh tentang PTK.
“Tinggal mengedit yang perlu diedit maka jadilah PTK dengan sejumlah data yang telah disesuaikan dengan data faktual siswa yang ada di sekolahan guru yang bersangkutan.” saran Ahsanul.
Kesembilan, otodidak plus. Menurutnya, melaksanakan karya ilmiah semisal PTK perlu ilmu. Ilmu ini berkaitan dengan teori dan praktek. Mendapatkan ilmu PTK secara teori dapat dipelajari sendiri (otodidak) jika ada diantara teori PTK yang tidak dapat dimengerti maka solusinya adalah teman sejawat.
Untuk praktik, prinsip PTK kalaborasi teman sejawat adalah solusi praktisnya. Strategi ini sangat cocok untuk guru pemula.
Kesepuluh, reunifikasi dengan dosen. Dosen adalah gurunya guru. Ketika guru bermasalah dengan proses pembelajaran atau yang lainnya, dosenlah solusinya.
“Dunia Dosen lebih terbiasa dengan pembuatan karya ilmiah. Sehingga pembua-tan PTK atau karya ilmiah dengan dibantu oleh Dosen kita lebih terarah dan dapat dipertanggungjawabkan.” tutup Ahsanul.
Singkatnya, para guru tak perlu risau menghadapi ketentuan soal kenaikan pangkat mereka. Menulis karya ilmiah bisa dilakukan dengan cerdas, efektif dan ekonomis, baik berupa PTK, artikel di media massa maupun publikasi karya ilmiah di jurnal.
Jadi ketika pemerintah mewajibkan guru untuk membuat karya ilmiah, siapa takut? Yang perlu ditakutkan adalah ketika guru terbelenggu kemalasan dan keraguan untuk menulis. Selamat mencoba menaikan reputasi dan tentunya, pangkat Anda.
(agus ponda/nt/ganesha)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar