Kualitas sebuah lembaga pendidikan salah satunya bisa dinilai dari sarana sanitasi. WC yang tak memadai dan aroma yang memualkan perut, pertanda kejeniusan serta kepiawaian pengelola sekolah masih rendah.
.........................................................
Seorang teman punya kebiasaan unik. Setiap masuk ke sebuah restoran atau warung nasi, sebelum memutuskan memesan makanan atau minuman, hal pertama yang dikunjunginya adalah WC atau toilet rumah makan. Jika kondisi dan situasi tempat WC di tempat tersebut bersih, maka selanjutnya ia mau memesan makanan. Jika tidak, maka dengan sedikit dalih, dia beranjak dari tempat tersebut. Mungkin aneh, tapi itulah cara dia dalam menilai kualitas dan selera.
Seorang alumni SMK hampir serupa. Namun ini soal sekolah atau kampus. Saat ikut tes SNMPTN di sebuah SMK di Bandung, hal pertama yang diucapkannya tentang sekolah itu adalah tentang WC-nya tak menyenangkan. Ia tak bicara tentang sekolah itu yang berstatus Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional. Saat jeda istirahat, yang ia tunjukkan adalah roman muka ‘sebel’. Pasalnya WC sekolah tersebut jorok, mampet dan kotor.
Dari dua ilustrasi itu, cukup menyakinkan kita bahwa sebelum menilai hal-hal yang besar tentang sebuah tempat, sebuah bangunan atau sebuah sekolah, orang akan lebih dulu bisa menarik kesimpulan ‘sempurna’ tidaknya tempat itu cukup dengan menyimpulkan kondisi tempat untuk membuang zat-zat yang tidak diperlukan lagi oleh tubuh alias kamar kecil, toliet atau WC.
Lalu bagaimana dengan WC sekolah Anda? Apakah seperti itu?
Sanitasi Sekolah Rendah
Tentang WC sekolah, ada hal yang sangat menarik, ketika Redaksi Ganesha bersilaturahmi dengan para unsur Pendidikan Kabupaten Ciamis di Wisma Guru menjelang bulan puasa lalu. Dr. Aning Effendi, M.Pd., Ketua MKKS SMP Kabupaten Ciamis, mengatakan hingga saat ini hal yang masih kurang diperhatikan tentang sekolah adalah masalah sanitasi.
Dr. Aning menyorot minimnya sarana santasi berupa WC sekolah. Bahkan tak sedikit sekolah yang hanya memiliki satu dua WC padahal jumlah siswanya tidak sedikit.
“Sekarang yang juga harus kita sorot adalah, bagaimana banyak sekolah menggunakan satu dua buah WC selama puluhan tahun. Terus-menerus oleh banyak siswa dan guru. Bayangkan itu.” ujar Dr.Aning.
Kondisi yang disoal Dr. Aning sebenarnya bukan rahasia umum lagi. Memang benar dan sangat memprihatinkan sebagian besar sarana sanitasi sekolah di daerah tidak layak. Umumnya WC sekolah mulai dari SD hingga SLTA, berupa pemandangan yang gelap, kotor, dinding penuh coretan, mampet, dan aroma tidak sedap.
Kondisi itu tentu sangat ironis. Sekolah yang salah satunya mengajarkan kebersihan dan kesehatan kepada anak didik, justru tak sanggup mengurus sarana sanitasi seperti itu. Juga tak sanggup menyediakannya dalam jumlah yang ideal. Padahal manusia yang punya hajat, ketika keinginan itu muncul tak bisa ditunda-tunda lagi. Bila tempatnya tak memadai atau tak cukup, haruskah kebiasaan binatang ditiru?
Perhatikan Jumlah Siswa
Dr. Aning menjelasan, hal yang harus diperhatikan pengelola sekolah untuk memperbaiki sanitasi adalah berapa banyak jumlah siswa di sekolah tersebut.
“Kalau jumlah siswanya banyak, maka jumlah sarana sanitasinya harus seimbang.” katanya. Ia mencontohkan di SMPN 1 Cijeungjing dengan jumlah siswa 636 orang, maka dibangun 22 buah WC untuk siswa dan 2 untuk para Guru.
“Ini sesuai dengan rasio siswa. Satu WC untuk 20 orang siswa,” jelas H. Aning. Ia menambahkan, sumber mata air pun sudah disiapkan. Sehingga di musim kemarau seperti sekarang tidak akan kekurangan air.
Sementara itu Kepala SMPN 2 Ciamis, Dr. Agus Sumantri, M.Pd., mengatakan pengadaan dan pemeliharaan WC selalu menjadi perhatian utama.
“Ini, karena kami sangat memperhatikan betapa pentingnya WC bagi manusia, sebab kalau zat sisa dari tubuh tidak dikeluarkan, maka akan berakibat fatal.“ ujar Dr. Agus Sumantri yang sukses mengantarkan SMP 2 Ciamis meraih penghargaan nasional berupa Sekolah Adiwiyata selama 3 kali berturut-turut.
Menurutnya, di SMPN Ciamis ada 11 WC siswa putra dan 6 WC siswa putri dan 2 WC guru sehingga total ada 17 WC siswa dan 2 WC guru. Sedangkan jumlah siswanya mencapai 628 orang. Artinya secara keseluruhan rasionya 1 WC untuk 36 orang.
Berdasarkan standar Badan Kesehatan Dunia (WHO) PBB, perbandingan fasilitas toilet di sekolah yang baik adalah 1:25 untuk perempuan dan 1:40 untuk laki-laki. Artinya, jika rata-rata satu SD/MI misalnya memiliki 120 murid yang masing-masing terdiri atas 60 murid laki-laki dan perempuan, jumlah toilet minimal 2 untuk laki-laki dan 3 untuk perempuan.
Mengapa Banyak WC Jorok?
Dr. Agus Sumantri tak memungkiri, masih banyak WC atau kamar kecil sekolah yang tak memenuhi kriteria sehat, bersih, dan ramah lingkungan. Ia menilai banyaknya WC yang tidak ideal di sekolah seolah menjadi hal yang biasa. Padahal hal itu terjadi karena beberapa hal.
“Pertama, WC diperlakukan sebagai sarana yang kurang penting oleh manajemen sekolah. Kedua letak WC pada umumnya dibangun di tempat yang jorok yang jauh dari perhatian publik. Ketiga kurangnya kesadaran para pemakai WC dalam pemanfaatannya, misalnya saja habis buang ari kecil, atau besar tidak disentor.” ujar Dr. Agus.
Hal lainnya lanjut Dr. Agus joroknya WC sekolah terjadi karena kurangnya pasokan air. Kebutuhan air bersih dalam WC tidak maksimal. ”Dan yang sering terjadi adalah kerusakan kran air , lalu pintu WC yang rusak tidak segera diperbaiki.” kata Dr.Agus.
Ia menyarankan, seharusnya sekolah jangan bosan untuk selalu melakukan tindakan pemeliharaan dan perbaikan kalau ada kerusakan pada sarana WC.
“Pengelola sekolah harus menyadari bahwa WC sekolah dipergunakan oleh orang banyak, jadi kalau ada kerusakan kita harus maklum, tapi harus segera ditangani,” ujarnya.
Hal yang paling pokok mengapa sarana sanitasi sekolah tidak sehat dan tidak memadai, lanjut Dr. Agus adalah kurangnya kesadaran warga sekolah, bahwa WC seharusnya merupakan bagian penting yang harus diperhatikan kondisinya. Selain itu belum adanya budaya memeliharanya.
Jadi Tempat Menyenangkan
Ia menambahkan di SMPN 2 Ciamis, WC diupayakan nyaman digunakan, bersih dan sehat serta terpelihara keutuhan sarananya oleh sekolah.
“Yang bertanggung jawab terhadap pemeliharaan WC adalah penjaga sekolah, namun demikian seluruh warga sekolah ikut serta dalam memelihara. Para siswa di sekolah kami memperlakukan WC sekolah seperti layaknya WC di rumah” katanya memberikan tips.
Ia mencontohkan pada saat menggunakan WC, siswa tidak menggunakan alas kaki , maka WC di sekolah tetap bersih. “Sebaliknya dapat dibayangkan bila WC sekolah diperlakukan jorok. Misalnya saja masuk WC memakai sepatu dan sepatunya kotor. “Saya yakin akan tambah kotor. Di kami para guru pun kalau masuk WC, alas kaki pasti dilepas.
.........................................................
Seorang teman punya kebiasaan unik. Setiap masuk ke sebuah restoran atau warung nasi, sebelum memutuskan memesan makanan atau minuman, hal pertama yang dikunjunginya adalah WC atau toilet rumah makan. Jika kondisi dan situasi tempat WC di tempat tersebut bersih, maka selanjutnya ia mau memesan makanan. Jika tidak, maka dengan sedikit dalih, dia beranjak dari tempat tersebut. Mungkin aneh, tapi itulah cara dia dalam menilai kualitas dan selera.
Seorang alumni SMK hampir serupa. Namun ini soal sekolah atau kampus. Saat ikut tes SNMPTN di sebuah SMK di Bandung, hal pertama yang diucapkannya tentang sekolah itu adalah tentang WC-nya tak menyenangkan. Ia tak bicara tentang sekolah itu yang berstatus Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional. Saat jeda istirahat, yang ia tunjukkan adalah roman muka ‘sebel’. Pasalnya WC sekolah tersebut jorok, mampet dan kotor.
Dari dua ilustrasi itu, cukup menyakinkan kita bahwa sebelum menilai hal-hal yang besar tentang sebuah tempat, sebuah bangunan atau sebuah sekolah, orang akan lebih dulu bisa menarik kesimpulan ‘sempurna’ tidaknya tempat itu cukup dengan menyimpulkan kondisi tempat untuk membuang zat-zat yang tidak diperlukan lagi oleh tubuh alias kamar kecil, toliet atau WC.
Lalu bagaimana dengan WC sekolah Anda? Apakah seperti itu?
Sanitasi Sekolah Rendah
Tentang WC sekolah, ada hal yang sangat menarik, ketika Redaksi Ganesha bersilaturahmi dengan para unsur Pendidikan Kabupaten Ciamis di Wisma Guru menjelang bulan puasa lalu. Dr. Aning Effendi, M.Pd., Ketua MKKS SMP Kabupaten Ciamis, mengatakan hingga saat ini hal yang masih kurang diperhatikan tentang sekolah adalah masalah sanitasi.
Dr. Aning menyorot minimnya sarana santasi berupa WC sekolah. Bahkan tak sedikit sekolah yang hanya memiliki satu dua WC padahal jumlah siswanya tidak sedikit.
“Sekarang yang juga harus kita sorot adalah, bagaimana banyak sekolah menggunakan satu dua buah WC selama puluhan tahun. Terus-menerus oleh banyak siswa dan guru. Bayangkan itu.” ujar Dr.Aning.
Kondisi yang disoal Dr. Aning sebenarnya bukan rahasia umum lagi. Memang benar dan sangat memprihatinkan sebagian besar sarana sanitasi sekolah di daerah tidak layak. Umumnya WC sekolah mulai dari SD hingga SLTA, berupa pemandangan yang gelap, kotor, dinding penuh coretan, mampet, dan aroma tidak sedap.
Kondisi itu tentu sangat ironis. Sekolah yang salah satunya mengajarkan kebersihan dan kesehatan kepada anak didik, justru tak sanggup mengurus sarana sanitasi seperti itu. Juga tak sanggup menyediakannya dalam jumlah yang ideal. Padahal manusia yang punya hajat, ketika keinginan itu muncul tak bisa ditunda-tunda lagi. Bila tempatnya tak memadai atau tak cukup, haruskah kebiasaan binatang ditiru?
Perhatikan Jumlah Siswa
Dr. Aning menjelasan, hal yang harus diperhatikan pengelola sekolah untuk memperbaiki sanitasi adalah berapa banyak jumlah siswa di sekolah tersebut.
“Kalau jumlah siswanya banyak, maka jumlah sarana sanitasinya harus seimbang.” katanya. Ia mencontohkan di SMPN 1 Cijeungjing dengan jumlah siswa 636 orang, maka dibangun 22 buah WC untuk siswa dan 2 untuk para Guru.
“Ini sesuai dengan rasio siswa. Satu WC untuk 20 orang siswa,” jelas H. Aning. Ia menambahkan, sumber mata air pun sudah disiapkan. Sehingga di musim kemarau seperti sekarang tidak akan kekurangan air.
Sementara itu Kepala SMPN 2 Ciamis, Dr. Agus Sumantri, M.Pd., mengatakan pengadaan dan pemeliharaan WC selalu menjadi perhatian utama.
“Ini, karena kami sangat memperhatikan betapa pentingnya WC bagi manusia, sebab kalau zat sisa dari tubuh tidak dikeluarkan, maka akan berakibat fatal.“ ujar Dr. Agus Sumantri yang sukses mengantarkan SMP 2 Ciamis meraih penghargaan nasional berupa Sekolah Adiwiyata selama 3 kali berturut-turut.
Menurutnya, di SMPN Ciamis ada 11 WC siswa putra dan 6 WC siswa putri dan 2 WC guru sehingga total ada 17 WC siswa dan 2 WC guru. Sedangkan jumlah siswanya mencapai 628 orang. Artinya secara keseluruhan rasionya 1 WC untuk 36 orang.
Berdasarkan standar Badan Kesehatan Dunia (WHO) PBB, perbandingan fasilitas toilet di sekolah yang baik adalah 1:25 untuk perempuan dan 1:40 untuk laki-laki. Artinya, jika rata-rata satu SD/MI misalnya memiliki 120 murid yang masing-masing terdiri atas 60 murid laki-laki dan perempuan, jumlah toilet minimal 2 untuk laki-laki dan 3 untuk perempuan.
Mengapa Banyak WC Jorok?
Dr. Agus Sumantri tak memungkiri, masih banyak WC atau kamar kecil sekolah yang tak memenuhi kriteria sehat, bersih, dan ramah lingkungan. Ia menilai banyaknya WC yang tidak ideal di sekolah seolah menjadi hal yang biasa. Padahal hal itu terjadi karena beberapa hal.
“Pertama, WC diperlakukan sebagai sarana yang kurang penting oleh manajemen sekolah. Kedua letak WC pada umumnya dibangun di tempat yang jorok yang jauh dari perhatian publik. Ketiga kurangnya kesadaran para pemakai WC dalam pemanfaatannya, misalnya saja habis buang ari kecil, atau besar tidak disentor.” ujar Dr. Agus.
Hal lainnya lanjut Dr. Agus joroknya WC sekolah terjadi karena kurangnya pasokan air. Kebutuhan air bersih dalam WC tidak maksimal. ”Dan yang sering terjadi adalah kerusakan kran air , lalu pintu WC yang rusak tidak segera diperbaiki.” kata Dr.Agus.
Ia menyarankan, seharusnya sekolah jangan bosan untuk selalu melakukan tindakan pemeliharaan dan perbaikan kalau ada kerusakan pada sarana WC.
“Pengelola sekolah harus menyadari bahwa WC sekolah dipergunakan oleh orang banyak, jadi kalau ada kerusakan kita harus maklum, tapi harus segera ditangani,” ujarnya.
Hal yang paling pokok mengapa sarana sanitasi sekolah tidak sehat dan tidak memadai, lanjut Dr. Agus adalah kurangnya kesadaran warga sekolah, bahwa WC seharusnya merupakan bagian penting yang harus diperhatikan kondisinya. Selain itu belum adanya budaya memeliharanya.
Jadi Tempat Menyenangkan
Ia menambahkan di SMPN 2 Ciamis, WC diupayakan nyaman digunakan, bersih dan sehat serta terpelihara keutuhan sarananya oleh sekolah.
“Yang bertanggung jawab terhadap pemeliharaan WC adalah penjaga sekolah, namun demikian seluruh warga sekolah ikut serta dalam memelihara. Para siswa di sekolah kami memperlakukan WC sekolah seperti layaknya WC di rumah” katanya memberikan tips.
Ia mencontohkan pada saat menggunakan WC, siswa tidak menggunakan alas kaki , maka WC di sekolah tetap bersih. “Sebaliknya dapat dibayangkan bila WC sekolah diperlakukan jorok. Misalnya saja masuk WC memakai sepatu dan sepatunya kotor. “Saya yakin akan tambah kotor. Di kami para guru pun kalau masuk WC, alas kaki pasti dilepas.
Siswa dan guru harus mentaati itu demi kebersihan dan kesehatan WC,” kata Dr.Agus.
Kini kian jelas, sebenarnya seba-gai salah satu sarana sanitasi, keberadaan WC bukan hal yang sepele atau perlu disepelekan. Sekali lagi kualitas sebu-ah lembaga pendi-dikan salah satu-nya bisa dinilai dari tampak dan aroma yang terdapat di toilet sekolah.
Kejeniusan serta kepiawaian pengelola bisa tergambar dari tampak dan aroma mulai dari depan sekolah hingga bagian dalam sekolah termasuk toilet.
Berhasil tidaknya para guru membina, membimbing ratusan bahkan ribuan manusia dengan ribuan karakter bisa terwujud dari tampak dan aroma toilet sekolah.
Ratusan bahkan ribuan calon pemimpin yang dirindukan di masa depan, bisa tergambar dari karakter para siswa menggunakan serta memelihara toilet sekolah.
Kini sudah seharusnya tempat-tempat yang dianggap “jorok” diubah menjadi tempat-tempat yang sehat, menyenangkan bahkan kalau perlu menjadi tempat idola. Termasuk toilet sekolah. Mengapa tidak?
(agus ponda/ganesha)
Kini kian jelas, sebenarnya seba-gai salah satu sarana sanitasi, keberadaan WC bukan hal yang sepele atau perlu disepelekan. Sekali lagi kualitas sebu-ah lembaga pendi-dikan salah satu-nya bisa dinilai dari tampak dan aroma yang terdapat di toilet sekolah.
Kejeniusan serta kepiawaian pengelola bisa tergambar dari tampak dan aroma mulai dari depan sekolah hingga bagian dalam sekolah termasuk toilet.
Berhasil tidaknya para guru membina, membimbing ratusan bahkan ribuan manusia dengan ribuan karakter bisa terwujud dari tampak dan aroma toilet sekolah.
Ratusan bahkan ribuan calon pemimpin yang dirindukan di masa depan, bisa tergambar dari karakter para siswa menggunakan serta memelihara toilet sekolah.
Kini sudah seharusnya tempat-tempat yang dianggap “jorok” diubah menjadi tempat-tempat yang sehat, menyenangkan bahkan kalau perlu menjadi tempat idola. Termasuk toilet sekolah. Mengapa tidak?
(agus ponda/ganesha)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar