SEJAK Juli 2005, pemerintah memunculkan kebijakan strategis, sebagai langkah serius untuk mewujudkan Wajib Belajar 9 tahun, yaitu program Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Kebijakan itu dimaksudkan untuk pemerataan sekaligus penyegaran kembali akan pentingnya kesadaran pendidikan yang terjangkau dan bermutu bagi semua anak negeri di tanah air.
Ketika pertama kali digagas, persoalan yang pelik adalah masalah mekanisme penyaluran dana. Untuk meminimalisir hal-hal yang tidak diinginkan, Pemerintah meng-ambil kebijakan, dana tersebut ditransfer langsung ke rekening-rekening sekolah. Lima tahun berjalan, mekanisme penyaluran dana BOS dianggap ‘aman’ dengan sistem transfer tersebut. Walau di lapangan masih terdengar adanya penyelewengan dana BOS, pemerintah berdalih bahwa hal itu dilakukan oleh oknum pengelola BOS di tingkat sekolah, bukan oleh pemerintah. Sebab dana BOS terbukti sudah tersalurkan langsung dari kas negera ke rekening sekolah.
Selama lima tahun itu, sistem transfer langsung dari pemerintah ke rekening sekolah pun berjalan relatif baik. Namun kini, tiba-tiba pemerintah pusat punya rencana baru. Mulai tahun 2011 Pemerintah akan mengubah mekanisme penyaluran dana Bantuan Operasional Sekolah. Setelah selama 5 tahun melalui Kementerian Pendidikan Nasional, dana BOS akan langsung disalurkan ke kabupaten/kota. Perubahan ini menimbulkan pro dan kontra, mulai dari kekhawatiran korupsi hingga munculnya ‘egoisme’ daerah dalam mengurus dana tersebut.
“Ada perbedaan. Kalau 2005-2010, dana BOS itu ada di Kementerian Diknas, setelah itu dikirim pengelolaan provinsi terus ke sekolah. Tahun 2011 dana BOS langsung dikirim ke kabupaten/kota dari Kementerian Keuangan,” kata Mendiknas M Nuh.
Hal itu dikatakan Nuh usai mengikuti rapat Komite Pendidikan mengenai Desentralisasi BOS di Kantor Wakil Presiden, Jalan Merdeka Selatan, Rabu (1/12).
Menurut Nuh, dengan perubahan meka-nisme penyaluran dana BOS itu, kabupaten/kota akan menjadi lebih merasa dilibatkan dalam proses pendidikan di daerahnya. Di samping itu, waktu yang dibutuhkan pun menjadi lebih pendek.
“Bisa memperpendek waktu, karena sekolah SD/SMP di kabupaten/kota, uangnya juga sudah ada di APBD kabupaten/kota,” kata Nuh.
Alasan Nuh, dulu dana BOS kadang-kadang terlambat satu bulan diberikan pada triwulan pertama. Nantinya, pemanfaatan dana BOS yang langsung ditransfer ke daerah dan sekolah itu akan diatur secara teknis dalam Permendagri.
“Sekolah bisa mengelola sendiri uang yang dterima secara utuh dari APBD tadi, dan sekolah juga harus mempertanggung-jawabkan dengan memanfaatkan komite sekolah dan masyarakat itu yang harus tetap dipegang,” ucapnya.
Khawatir Korupsi di Daerah
Namun Keputusan pemerintah untuk mentransfer langsung dana bantuan operasional sekolah (BOS) ke daerah senilai Rp 16 triliun pada Oktober mendatang dinilai sangat dilematis jika hanya dikaitkan dengan otonomi daerah dan birokrasi. Keputusan itu dikhawatirkan hanya menambah besar peluang dana BOS dikorupsi.
Koordinator Divisi Monitoring Indonesia Corruption Watch (ICW), Ade Irawan, mengatakan selama pemerintah pusat belum memetakan mekanisme BOS dari pusat ke daerah, keputusan pemerintah hanya akan menambah masalah.” Dengan sistem baru itu akan banyak uang hilang,” ujar Ade Irawan.
Menurut Ade, pelaku korupsi bukan cuma sekolah, tetapi juga dinas-dinas pendidikan.
“Kalau kewenangan ada di tangan mereka, akan banyak uang hilang. Yang kami temukan selama ini banyak Dinas Pendidikan memaksa sekolah untuk ambil uang BOS. Contoh, pengawas bikin LKS dan dijual paksa ke sekolah, sementara sekolah harus membayarnya pakai uang BOS dari pusat. Ini sudah carut-marut,” tutur Ade.
Terlebih setelah nanti dana tersebut masuk ke kas kabupaten/kota, peluang untuk penyelewengan di tingkat daerah kian terbuka. Selain itu, dikawatirkan setiap pemda akan menafsirkan penggunaan BOS sesuai pendapatnya sendiri. Bahkan, ditakutkan munculnya kebijakan nakal daerah yang tergiur mengelola dana untuk mendatangkan keuntungan bagi daerah.
“Tak usah dikorup pun bunga per bulan-nya saja sudah menggiurkan,” ujar seorang sumber yang berkomentar di dunia maya. Bisa dihitung, konon bila didepositokan oleh daerah, dana BOS yang besar untuk satu kabupaten bila disimpan, hanya dalam waktu seminggu saja bunganya bisa mencapai puluhan juta rupiah. Apalagi bila dihitung bulanan atau tahunan.
Namun, M. Nuh berdalih lagi, dana itu tidak bocor meski disalurkan secara lang-sung ke daerah, tidak seperti mekanisme sebelumnya yang harus melalui Kemen-diknas. Pihaknya akan membentuk tim monitoring untuk melakukan pengawasan.
“Justru kita mendesain suatu sistem. Bila sistem itu rawan bocor, itu kemunduran. Kami mengundang semua masyarakat, dari sistem monitoring itu kelihatan berapa uang yang dikirim, berapa ke sini ke situ,” tandasnya.
Untuk mengontrol penggunaan dana BOS, imbuh Nuh, Komite Pendidikan akan membentuk tim monitoring baik di tingkat pusat dan daerah. Tim tersebut bertugas memonitor transfer uang ke rekening-rekening sekolah, jumlah yang ditransfer, serta penggunaannya.
“Ketiga kontrol penggunaan sekolah apakah sudah sesuai penggunaan, punya buku, dipakai untuk apa saja, perinciannya apa saja?” tutupnya.
Konon tahun 2011 dana BOS yang akan ‘dilempar’ langsung ke daerah naik menjadi Rp 16,8 triliun dari Rp 15 triliunan pada tahun 2010. “Sekitar Rp 16,8 triliun,” kata Mendiknas.
Menurut Nuh, dana BOS untuk tahun 2011 naik karena terjadi kenaikan jumlah siswa penerima. Nantinya, setiap siswa SD akan menerima bantuan Rp 387 ribu per tahun, sementara siswa SMP Rp 500 ribu.
Nah, siap-siaplah masyarakat ikut mengon-trol dana BOS tahun depan, sebab yang ‘pe-gang’ uang BOS nantinya adalah pemerintah daerah.
(ap/ganesha/berbagai sumber)
Selama lima tahun itu, sistem transfer langsung dari pemerintah ke rekening sekolah pun berjalan relatif baik. Namun kini, tiba-tiba pemerintah pusat punya rencana baru. Mulai tahun 2011 Pemerintah akan mengubah mekanisme penyaluran dana Bantuan Operasional Sekolah. Setelah selama 5 tahun melalui Kementerian Pendidikan Nasional, dana BOS akan langsung disalurkan ke kabupaten/kota. Perubahan ini menimbulkan pro dan kontra, mulai dari kekhawatiran korupsi hingga munculnya ‘egoisme’ daerah dalam mengurus dana tersebut.
“Ada perbedaan. Kalau 2005-2010, dana BOS itu ada di Kementerian Diknas, setelah itu dikirim pengelolaan provinsi terus ke sekolah. Tahun 2011 dana BOS langsung dikirim ke kabupaten/kota dari Kementerian Keuangan,” kata Mendiknas M Nuh.
Hal itu dikatakan Nuh usai mengikuti rapat Komite Pendidikan mengenai Desentralisasi BOS di Kantor Wakil Presiden, Jalan Merdeka Selatan, Rabu (1/12).
Menurut Nuh, dengan perubahan meka-nisme penyaluran dana BOS itu, kabupaten/kota akan menjadi lebih merasa dilibatkan dalam proses pendidikan di daerahnya. Di samping itu, waktu yang dibutuhkan pun menjadi lebih pendek.
“Bisa memperpendek waktu, karena sekolah SD/SMP di kabupaten/kota, uangnya juga sudah ada di APBD kabupaten/kota,” kata Nuh.
Alasan Nuh, dulu dana BOS kadang-kadang terlambat satu bulan diberikan pada triwulan pertama. Nantinya, pemanfaatan dana BOS yang langsung ditransfer ke daerah dan sekolah itu akan diatur secara teknis dalam Permendagri.
“Sekolah bisa mengelola sendiri uang yang dterima secara utuh dari APBD tadi, dan sekolah juga harus mempertanggung-jawabkan dengan memanfaatkan komite sekolah dan masyarakat itu yang harus tetap dipegang,” ucapnya.
Khawatir Korupsi di Daerah
Namun Keputusan pemerintah untuk mentransfer langsung dana bantuan operasional sekolah (BOS) ke daerah senilai Rp 16 triliun pada Oktober mendatang dinilai sangat dilematis jika hanya dikaitkan dengan otonomi daerah dan birokrasi. Keputusan itu dikhawatirkan hanya menambah besar peluang dana BOS dikorupsi.
Koordinator Divisi Monitoring Indonesia Corruption Watch (ICW), Ade Irawan, mengatakan selama pemerintah pusat belum memetakan mekanisme BOS dari pusat ke daerah, keputusan pemerintah hanya akan menambah masalah.” Dengan sistem baru itu akan banyak uang hilang,” ujar Ade Irawan.
Menurut Ade, pelaku korupsi bukan cuma sekolah, tetapi juga dinas-dinas pendidikan.
“Kalau kewenangan ada di tangan mereka, akan banyak uang hilang. Yang kami temukan selama ini banyak Dinas Pendidikan memaksa sekolah untuk ambil uang BOS. Contoh, pengawas bikin LKS dan dijual paksa ke sekolah, sementara sekolah harus membayarnya pakai uang BOS dari pusat. Ini sudah carut-marut,” tutur Ade.
Terlebih setelah nanti dana tersebut masuk ke kas kabupaten/kota, peluang untuk penyelewengan di tingkat daerah kian terbuka. Selain itu, dikawatirkan setiap pemda akan menafsirkan penggunaan BOS sesuai pendapatnya sendiri. Bahkan, ditakutkan munculnya kebijakan nakal daerah yang tergiur mengelola dana untuk mendatangkan keuntungan bagi daerah.
“Tak usah dikorup pun bunga per bulan-nya saja sudah menggiurkan,” ujar seorang sumber yang berkomentar di dunia maya. Bisa dihitung, konon bila didepositokan oleh daerah, dana BOS yang besar untuk satu kabupaten bila disimpan, hanya dalam waktu seminggu saja bunganya bisa mencapai puluhan juta rupiah. Apalagi bila dihitung bulanan atau tahunan.
Namun, M. Nuh berdalih lagi, dana itu tidak bocor meski disalurkan secara lang-sung ke daerah, tidak seperti mekanisme sebelumnya yang harus melalui Kemen-diknas. Pihaknya akan membentuk tim monitoring untuk melakukan pengawasan.
“Justru kita mendesain suatu sistem. Bila sistem itu rawan bocor, itu kemunduran. Kami mengundang semua masyarakat, dari sistem monitoring itu kelihatan berapa uang yang dikirim, berapa ke sini ke situ,” tandasnya.
Untuk mengontrol penggunaan dana BOS, imbuh Nuh, Komite Pendidikan akan membentuk tim monitoring baik di tingkat pusat dan daerah. Tim tersebut bertugas memonitor transfer uang ke rekening-rekening sekolah, jumlah yang ditransfer, serta penggunaannya.
“Ketiga kontrol penggunaan sekolah apakah sudah sesuai penggunaan, punya buku, dipakai untuk apa saja, perinciannya apa saja?” tutupnya.
Konon tahun 2011 dana BOS yang akan ‘dilempar’ langsung ke daerah naik menjadi Rp 16,8 triliun dari Rp 15 triliunan pada tahun 2010. “Sekitar Rp 16,8 triliun,” kata Mendiknas.
Menurut Nuh, dana BOS untuk tahun 2011 naik karena terjadi kenaikan jumlah siswa penerima. Nantinya, setiap siswa SD akan menerima bantuan Rp 387 ribu per tahun, sementara siswa SMP Rp 500 ribu.
Nah, siap-siaplah masyarakat ikut mengon-trol dana BOS tahun depan, sebab yang ‘pe-gang’ uang BOS nantinya adalah pemerintah daerah.
(ap/ganesha/berbagai sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar