Cerita anak yang bolos, malas berada di sekolah boleh jadi muncul lantaran si Anak merasa tak nyaman di sekolah. Sekolah malah menjadi tempat yang dirasa ‘menyiksa” bagi anak. Sekolah harus didesain layaknya sebuah rumah yang bikin betah penghuninya. Bisakah?
……………………………………..
Menyulap sebuah sekolah menjadi rumah, bukan dari segi desain, bukan pula dengan makan, mandi dan tidur di sekolah. Tapi atmosfer, suasana, feel at home, itu yang harus tercipta. Bukankah guru di sekolah adalah orangtua kedua bagi anak-anak didik?
Menurut Muhammad Muhransyah, dalam tulisannya di sebuah media massa, di mana pun anak-anak bersekolah, baik di desa, maupun di kota, yang berbahasa asing atau bahasa kita sendiri, semua itu sesungguhnya bukanlah penentu apakah anak akan terdidik dengan baik atau tidak. Banyak hal yang lebih penting dari nilai-nilai realistis, bahwa sekolah bukan hanya ditentukan nilai yang tinggi. Tentu penekanan aspek psikologis dan nilai-nilai humanis lebih dikedepankan.
“Jangan sampai ketika bel tanda pelajaran dimulai, anak-anak masuk ke kelas dengan muka tegang, kaku dan tanpa semangat. Sebaliknya saat bel istirahat atau bel pulang menjadi dewa penolong dan penyelamat mereka dari sekolah. Mereka berlarian keluar dengan mimik muka cerah dan ceria. Jangan seperti itu, “ kata Muhransyah.
Sekolah idealnya menjadi tempat di mana anak-anak memulai pelajaran dengan muka ceria, semangat dan penuh antusias, dan ketika bel pulang adalah saat-saat berpisah yang menyedihkan.
Beberapa Sebab
Konsep sekolah yang dapat membuat betah para siswa seperti apakah yang diinginkan para orangtua siswa?
“Buat saya sekolah itu bisa membuat anak kita happy, baik itu ketika mau berangkat dan sepulang sekolah. Faktornya bisa begitu karena dua hal, fasilitas dan sistem pembelajarannya,” kata Santi Maulizal, seorang ibu di Jakarta.
Sementara itu menurut Muhammad Fajri, dalam vhajrie27.wordpress.com, saat ini,, khususnya di Indonesia sekolah tak sedikit yang sudah tidak menjadi tempat yang menyenangkan bagi siswa. Kekeluargaan, kasih sayang, kebebasan berekspresi diri siswa, sedikit demi sedikit mulai menghilang. Hal itu diakibatkan oleh banyak faktor.
“Pertama, ketika guru dengan segala otoritasnya menjadi galak dan memandang siswa sebagai objek. Kedua, ketika guru memandang siswa sebagai tabularasa (kertas kosong) sehingga harus dicorat-coret dengan seenaknya. Saat itu pulalah terjadi ketidaksejajaran antara siswa dan guru sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan.” Ujarnya.
Faktor selanjutnya, ketika proses pembelajaran dari awal hingga akhir dikuasai sepenuhnya oleh guru. Hal ini membuat siswa kehilangan kebebasan mengekpresikan siapa dia sebenarnya. Kemudian lingkungan fisik sekolah, baik di dalam kelas maupun lingkungan sekolah menjadi tempat yang tidak enjoy bagi siswa. Lingkungan sekolah yang kaku dan penataan kelas yang terlihat kumuh dan monoton membuat siswa tidak betah di lingkungan sekolah.
“Dan terakhir, adalah peraturan sekolah yang ketat. Artinya peraturan sekolah yang memiliki aturan detail yang menuntut banyak kepada siswa membuat siswa ingin lari dari kanyataan.” Jelas Muhammad Fajri.
Beberapa faktor di atas lanjut Muhammad Fajri, akan membuat siswa tidak enjoy di sekolah. Siswa merasa sekolah bukan lagi tempat yang menyenangkan untuk belajar. Siswa akan memilih pergi meninggalkan (membolos) kelas sebagai tindakan protes mereka terhadap perilaku guru, proses pemelajaran, disiplin yang ketat maupun lingkungan sekolah yang kurang bersahabat.
“Nantinya siswa mencari tempat di luar sekolah yang cukup aman untuk mengeks-presikan dirinya secara bebas tanpa harus dikontrol dan ditekan secara otoriter oleh siapa pun. Siswa secara berkelompok mereka akan mencari tempat yang enjoy seperti ke mal, duduk-duduk di jalanan atau di jembatan, atau tempat-tempat lain yang cukup aman bagi mereka.” Katanya.
Dampak akhirnya yang sangat tidak diharapkan, sesuai dengan perkembangan individu, ketika siswa merasa aman di luar sekolah, dia bisa mengekpresikannya melalui hal-hal yang negatif seperti, minum-minuman keras, penggunaan obat-obat terlarang, dan bahkan perkelahian.
Tak Perlu Biaya Mahal
Untuk membuat sekolah sebagai istana belajar siswa yang mengasyikan, tidak terlalu membutuhkan biaya dan tenaga yang begitu banyak. Sehingga minimal dengan adanya menejemen berbasis sekolah, pihak sekolah memiliki kewenangan penuh untuk menjadikan lingkungan sekolah, guru dan pembelajaran yang menyenangkan bagi siswa, sehingga siswa tidak banyak keluar membolos atau mencari tempat-tempat yang lebih aman baginya.
Selain itu pihak Dinas Pendidikan Daerah berperan penting, terutama dalam membuat peraturan-peraturan umum tentang sekolah. Sehingga sekolah menjadi benar-benar tempat menyenangkan bagi anak didik dapat terwujud. Dalam kaitan ini, menurut UNESCO, ada empat pilar pendidikan yang harus dijalankan sekolah yakni learning to know (belajar mengetahui) learning to bicame him/herself (belajar hidup), learning to do (belajar bekerja), dan learning to live together (belajar hidup bersama).***
(apon/dari berbagai sumber)
……………………………………..
Menyulap sebuah sekolah menjadi rumah, bukan dari segi desain, bukan pula dengan makan, mandi dan tidur di sekolah. Tapi atmosfer, suasana, feel at home, itu yang harus tercipta. Bukankah guru di sekolah adalah orangtua kedua bagi anak-anak didik?
Menurut Muhammad Muhransyah, dalam tulisannya di sebuah media massa, di mana pun anak-anak bersekolah, baik di desa, maupun di kota, yang berbahasa asing atau bahasa kita sendiri, semua itu sesungguhnya bukanlah penentu apakah anak akan terdidik dengan baik atau tidak. Banyak hal yang lebih penting dari nilai-nilai realistis, bahwa sekolah bukan hanya ditentukan nilai yang tinggi. Tentu penekanan aspek psikologis dan nilai-nilai humanis lebih dikedepankan.
“Jangan sampai ketika bel tanda pelajaran dimulai, anak-anak masuk ke kelas dengan muka tegang, kaku dan tanpa semangat. Sebaliknya saat bel istirahat atau bel pulang menjadi dewa penolong dan penyelamat mereka dari sekolah. Mereka berlarian keluar dengan mimik muka cerah dan ceria. Jangan seperti itu, “ kata Muhransyah.
Sekolah idealnya menjadi tempat di mana anak-anak memulai pelajaran dengan muka ceria, semangat dan penuh antusias, dan ketika bel pulang adalah saat-saat berpisah yang menyedihkan.
Beberapa Sebab
Konsep sekolah yang dapat membuat betah para siswa seperti apakah yang diinginkan para orangtua siswa?
“Buat saya sekolah itu bisa membuat anak kita happy, baik itu ketika mau berangkat dan sepulang sekolah. Faktornya bisa begitu karena dua hal, fasilitas dan sistem pembelajarannya,” kata Santi Maulizal, seorang ibu di Jakarta.
Sementara itu menurut Muhammad Fajri, dalam vhajrie27.wordpress.com, saat ini,, khususnya di Indonesia sekolah tak sedikit yang sudah tidak menjadi tempat yang menyenangkan bagi siswa. Kekeluargaan, kasih sayang, kebebasan berekspresi diri siswa, sedikit demi sedikit mulai menghilang. Hal itu diakibatkan oleh banyak faktor.
“Pertama, ketika guru dengan segala otoritasnya menjadi galak dan memandang siswa sebagai objek. Kedua, ketika guru memandang siswa sebagai tabularasa (kertas kosong) sehingga harus dicorat-coret dengan seenaknya. Saat itu pulalah terjadi ketidaksejajaran antara siswa dan guru sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan.” Ujarnya.
Faktor selanjutnya, ketika proses pembelajaran dari awal hingga akhir dikuasai sepenuhnya oleh guru. Hal ini membuat siswa kehilangan kebebasan mengekpresikan siapa dia sebenarnya. Kemudian lingkungan fisik sekolah, baik di dalam kelas maupun lingkungan sekolah menjadi tempat yang tidak enjoy bagi siswa. Lingkungan sekolah yang kaku dan penataan kelas yang terlihat kumuh dan monoton membuat siswa tidak betah di lingkungan sekolah.
“Dan terakhir, adalah peraturan sekolah yang ketat. Artinya peraturan sekolah yang memiliki aturan detail yang menuntut banyak kepada siswa membuat siswa ingin lari dari kanyataan.” Jelas Muhammad Fajri.
Beberapa faktor di atas lanjut Muhammad Fajri, akan membuat siswa tidak enjoy di sekolah. Siswa merasa sekolah bukan lagi tempat yang menyenangkan untuk belajar. Siswa akan memilih pergi meninggalkan (membolos) kelas sebagai tindakan protes mereka terhadap perilaku guru, proses pemelajaran, disiplin yang ketat maupun lingkungan sekolah yang kurang bersahabat.
“Nantinya siswa mencari tempat di luar sekolah yang cukup aman untuk mengeks-presikan dirinya secara bebas tanpa harus dikontrol dan ditekan secara otoriter oleh siapa pun. Siswa secara berkelompok mereka akan mencari tempat yang enjoy seperti ke mal, duduk-duduk di jalanan atau di jembatan, atau tempat-tempat lain yang cukup aman bagi mereka.” Katanya.
Dampak akhirnya yang sangat tidak diharapkan, sesuai dengan perkembangan individu, ketika siswa merasa aman di luar sekolah, dia bisa mengekpresikannya melalui hal-hal yang negatif seperti, minum-minuman keras, penggunaan obat-obat terlarang, dan bahkan perkelahian.
Tak Perlu Biaya Mahal
Untuk membuat sekolah sebagai istana belajar siswa yang mengasyikan, tidak terlalu membutuhkan biaya dan tenaga yang begitu banyak. Sehingga minimal dengan adanya menejemen berbasis sekolah, pihak sekolah memiliki kewenangan penuh untuk menjadikan lingkungan sekolah, guru dan pembelajaran yang menyenangkan bagi siswa, sehingga siswa tidak banyak keluar membolos atau mencari tempat-tempat yang lebih aman baginya.
Selain itu pihak Dinas Pendidikan Daerah berperan penting, terutama dalam membuat peraturan-peraturan umum tentang sekolah. Sehingga sekolah menjadi benar-benar tempat menyenangkan bagi anak didik dapat terwujud. Dalam kaitan ini, menurut UNESCO, ada empat pilar pendidikan yang harus dijalankan sekolah yakni learning to know (belajar mengetahui) learning to bicame him/herself (belajar hidup), learning to do (belajar bekerja), dan learning to live together (belajar hidup bersama).***
(apon/dari berbagai sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar