Tahun lalu heboh ijazah sarjana Aspal (asli tapi palsu) mengguncang sebuah Kabupaten di Jawa Timur. Tepatnya Kabupaten Ngawi. Konon terdapat para pendidik dan tenaga kependidikan menggunakan sertifikat/ijasah sarjana Aspal untuk urusan kedinasan. Padahal sang lembaga Perguruan Tinggi yang diduga ‘membuka kelas jauh itu” tidak sesuai prosedur yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
....................................
“Bagaimana bisa asli, padahal kuliahnya di rumah santai, tahu-tahu diwisuda mendapatkan gelar sarjana S2,? ungkap sebuah sumber yang bisa dipertanggung jawabkan kepada pewarta Harian Online Kabar Indonesia kala itu. Masih menurut sumber itu, puluhan orang tersebar di lingkungan dinas pendidikan Ngawi menggunakan ijasah Aspal, baik Kepala Sekolah maupun Guru.
Kepala Diknas Ngawi, mengatakan, adanya Kepala Sekolah dan Guru yang menggunakan gelar S2 seperti yang dimaksud itu, dan jauh sebelumnya sudah mengingatkan, agar tidak digunakan dalam urusan kedinasan.
Ditambahkan, Kepala Diknas Ngawi, Abimanyu, sudah melarang untuk meng-gunakan ijasah S2 yang dikeluarkan oleh sebuah sekolah tinggi manajmen yang berada di Jakarta itu untuk urusan kepe-gawaian/kedinasan. “Untuk penggunaan ijasah perguruan tinggi yang sah dan favorit saja ada pemberitahuan ke diknas, apalagi yang tidak jelas juntrungnya seperti itu! Jelas itu merupakan pelanggaran” ujarnya.
Praktisi Hukum dan Notaris,Marwan SH. M.Hum., dimintai komentarnya masalah ini mengatakan, untuk ” Sarjana Monyet” (sebutan orang yang tidak belajar mendapat gelar) mestinya sertifikat atau ijasahnya tidak boleh untuk urusan kepegawaian, dan tidak bisa dipakai oleh pejabat. “Kalau digunakan urusan pribadi silahkan, itu tidak ada masalah, tapi kalau dipakai oleh pejabat, untuk pembohongan publik bisa pidana,” ujarnya.
Hati-Hati Memilih Perkuliahan
Menyoal guru yang dituntut untuk segera mengejar title sarjana D-4 atau S-1, belakangan terdapat kecenderungan mereka kurang hati-hati memilih perguruan tinggi untuk melanjutkan kuliah. Hanya karena tawaran berbagai kemudahan per-kuliahan, guru lengah tidak memperhatikan legalitas dan status sebuah perguruan tinggi.
Abdullah Id, seorang guru besar meminta calon mahasiswa terlebih para guru untuk tidak tergiur dengan promosi atau iklan-iklan perguruan tinggi yang disebar-kan yang belum tentu seratus persen sesuai dengan kondisi ril di PTS tersebut. “Karena itu, harus benar-benar dipelajari dan dicari informasi sebanyak-banyaknya tentang PTS tersebut sebelum memutuskan untuk mendaftar kuliah di sana,” tegas Abdullah.
Selama ini guru di daerah sering begitu mudah memilih perguruan tinggi dari kota besar atau dari Jakarta yang ‘datang’ ke daerah dan menawarkan kelas jauh. Hanya dengan menumpang kuliah di suatu bangunan mereka jadilah mahasiswa kelas jauh. Padahal legalitasnya belum tentu diakui pemerintah. Bukan hanya soal status perguruan tingginya, soal lainnya yang tak kalah penting adalah soal akreditas program study yang ditawarkan. Dirjen Pendidikan Tinggi (Dikti) Djoko Santoso menerangkan, pihak Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) saat ini mencatat rogram studi (prodi) di banyak PTS yang belum terakre-ditasi hingga saat ini jumlahnya ribuan.
Sebelumnya Mendiknas Mohammad Nuh berharap masyarakat agar berhati-hati memilih program studi di perguruan tinggi yang belum terakreditasi. Calon mahasiswa harus cermat melihat apakah program studi di perguruan tinggi yang dituju sudah terakreditasi atau belum.
Calon mahasiswa juga diharap tidak tergiur dengan iklan dan promosi tentang perguruan tinggi yang belum tentu sesuai dengan kenyataanya. Mendiknas juga menegaskan kepada seluruh perguruan tinggi baik negeri ataupun swasta, harus mengumumkan program studi mana yang belum terakreditasi dan yang sudah. Hingga kini ada 7.500 program studi yang belum terakreditasi. Bila guru salah memilih, akibatnya jadi boomerang buat guru bersangkutan. Meski akhirnya memperoleh gelar, namun tak urung bermasalah.
Lebih Mudah dan Banyak Pilihan
Ketika pemerintah ‘mengharuskan’ guru minimal berijazah D-4 atau S-1, para guru pun berbondong-bondong kuliah lagi. Perguruan tinggi pun sumringah menyambut kebijakan tersebut. Bahkan banyak PTS yang gencar menjemput langsung caon mahasiswa di daerah. Tak ketinggalan PTS di kabupaten, malah juga membuka kelas jauh di kecamatan, membuka kelas khusus di hari sabtu dan minggu.
Di sisi lain mereka juga berbondong-bondong masuk program lain yang dianggap lebih ‘mudah’ sistem perkuliahan seperti universitas terbuka. Belakangan bahkan pemerintah pun membuka program lebih khusus lagi untuk menampung guru-guru yang sudah cukup lama mengabdi namun tak jua meneruskan kuliah dengan sebutan Pengakuan Pengalaman Kerja dan Hasil Belajar Guru (PPKHB). Pengalaman mengajar dan prestasi guru dikonversikan dalam satuan SKS (sistem kredit semester) tertentu. Melalui program itu, masa perkulia-han para guru ini lebih pendek dibandingkan kuliah regular dan gelar S-1 pun didapat.
Saat ini dari keseluruhan guru yang berjumlah 2.607.311 orang di seluruh Indonesia, baru sekitar 1.043.000 atau 40 persen guru yang menyelesaikan pendidikan D4 atau Sl. Sedangkan sisanya berjumlah sekitar 1.564.311 atau mencapai 60 persen belum memiliki latar belakang pendidikan D4 atau sarjana.
Dirjen Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan, Baedhowi mengakui, bukan hal mudah meningkatkan kualifikasi guru karena banyak guru yang berada di daerah perbatasan, terpencil, dan terluar lndonesia. Mereka tidak bisa meninggalkan sekolahnya karena keterbatasan guru di daerah tersebut.
“Solusinya adalah menggunakan pendi-dikan jarak jauh yang dikembangkan Uni-versitas Terbuka dan lembaga Seamolec yang didukung menteri-menteri pendi-dikan di Asia Tenggara. Para guru meng-ikuti perkuliahan jarak jauh dengan menggunakan teknologi multicast, sehingga tak perlu meninggalkan sekolah,” katanya.
Nah, nampaknya jalan bagi para guru untuk menyandang title sarjana S-1 kian mudah. Hanya masalahnya, pada akhirnya, demi status kesarjanaan di masyarakat dan kenaikan golongan mereka akhirnya melupakan hakikat mencari dan menambah ilmu dalam rangka meningkatkan profesionalisme keguruan mereka. Jangan sampai akhirnya diketahui masyarakat dan para murid, bahwa ternyata para guru dengan gelar sarjana S-1, S-2 bahkan S-3, atau tanpa gelar-gelar tadi, cara dan kualitas mengajarnya tetap saja tak ada perubahan. (ganesha)
....................................
“Bagaimana bisa asli, padahal kuliahnya di rumah santai, tahu-tahu diwisuda mendapatkan gelar sarjana S2,? ungkap sebuah sumber yang bisa dipertanggung jawabkan kepada pewarta Harian Online Kabar Indonesia kala itu. Masih menurut sumber itu, puluhan orang tersebar di lingkungan dinas pendidikan Ngawi menggunakan ijasah Aspal, baik Kepala Sekolah maupun Guru.
Kepala Diknas Ngawi, mengatakan, adanya Kepala Sekolah dan Guru yang menggunakan gelar S2 seperti yang dimaksud itu, dan jauh sebelumnya sudah mengingatkan, agar tidak digunakan dalam urusan kedinasan.
Ditambahkan, Kepala Diknas Ngawi, Abimanyu, sudah melarang untuk meng-gunakan ijasah S2 yang dikeluarkan oleh sebuah sekolah tinggi manajmen yang berada di Jakarta itu untuk urusan kepe-gawaian/kedinasan. “Untuk penggunaan ijasah perguruan tinggi yang sah dan favorit saja ada pemberitahuan ke diknas, apalagi yang tidak jelas juntrungnya seperti itu! Jelas itu merupakan pelanggaran” ujarnya.
Praktisi Hukum dan Notaris,Marwan SH. M.Hum., dimintai komentarnya masalah ini mengatakan, untuk ” Sarjana Monyet” (sebutan orang yang tidak belajar mendapat gelar) mestinya sertifikat atau ijasahnya tidak boleh untuk urusan kepegawaian, dan tidak bisa dipakai oleh pejabat. “Kalau digunakan urusan pribadi silahkan, itu tidak ada masalah, tapi kalau dipakai oleh pejabat, untuk pembohongan publik bisa pidana,” ujarnya.
Hati-Hati Memilih Perkuliahan
Menyoal guru yang dituntut untuk segera mengejar title sarjana D-4 atau S-1, belakangan terdapat kecenderungan mereka kurang hati-hati memilih perguruan tinggi untuk melanjutkan kuliah. Hanya karena tawaran berbagai kemudahan per-kuliahan, guru lengah tidak memperhatikan legalitas dan status sebuah perguruan tinggi.
Abdullah Id, seorang guru besar meminta calon mahasiswa terlebih para guru untuk tidak tergiur dengan promosi atau iklan-iklan perguruan tinggi yang disebar-kan yang belum tentu seratus persen sesuai dengan kondisi ril di PTS tersebut. “Karena itu, harus benar-benar dipelajari dan dicari informasi sebanyak-banyaknya tentang PTS tersebut sebelum memutuskan untuk mendaftar kuliah di sana,” tegas Abdullah.
Selama ini guru di daerah sering begitu mudah memilih perguruan tinggi dari kota besar atau dari Jakarta yang ‘datang’ ke daerah dan menawarkan kelas jauh. Hanya dengan menumpang kuliah di suatu bangunan mereka jadilah mahasiswa kelas jauh. Padahal legalitasnya belum tentu diakui pemerintah. Bukan hanya soal status perguruan tingginya, soal lainnya yang tak kalah penting adalah soal akreditas program study yang ditawarkan. Dirjen Pendidikan Tinggi (Dikti) Djoko Santoso menerangkan, pihak Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) saat ini mencatat rogram studi (prodi) di banyak PTS yang belum terakre-ditasi hingga saat ini jumlahnya ribuan.
Sebelumnya Mendiknas Mohammad Nuh berharap masyarakat agar berhati-hati memilih program studi di perguruan tinggi yang belum terakreditasi. Calon mahasiswa harus cermat melihat apakah program studi di perguruan tinggi yang dituju sudah terakreditasi atau belum.
Calon mahasiswa juga diharap tidak tergiur dengan iklan dan promosi tentang perguruan tinggi yang belum tentu sesuai dengan kenyataanya. Mendiknas juga menegaskan kepada seluruh perguruan tinggi baik negeri ataupun swasta, harus mengumumkan program studi mana yang belum terakreditasi dan yang sudah. Hingga kini ada 7.500 program studi yang belum terakreditasi. Bila guru salah memilih, akibatnya jadi boomerang buat guru bersangkutan. Meski akhirnya memperoleh gelar, namun tak urung bermasalah.
Lebih Mudah dan Banyak Pilihan
Ketika pemerintah ‘mengharuskan’ guru minimal berijazah D-4 atau S-1, para guru pun berbondong-bondong kuliah lagi. Perguruan tinggi pun sumringah menyambut kebijakan tersebut. Bahkan banyak PTS yang gencar menjemput langsung caon mahasiswa di daerah. Tak ketinggalan PTS di kabupaten, malah juga membuka kelas jauh di kecamatan, membuka kelas khusus di hari sabtu dan minggu.
Di sisi lain mereka juga berbondong-bondong masuk program lain yang dianggap lebih ‘mudah’ sistem perkuliahan seperti universitas terbuka. Belakangan bahkan pemerintah pun membuka program lebih khusus lagi untuk menampung guru-guru yang sudah cukup lama mengabdi namun tak jua meneruskan kuliah dengan sebutan Pengakuan Pengalaman Kerja dan Hasil Belajar Guru (PPKHB). Pengalaman mengajar dan prestasi guru dikonversikan dalam satuan SKS (sistem kredit semester) tertentu. Melalui program itu, masa perkulia-han para guru ini lebih pendek dibandingkan kuliah regular dan gelar S-1 pun didapat.
Saat ini dari keseluruhan guru yang berjumlah 2.607.311 orang di seluruh Indonesia, baru sekitar 1.043.000 atau 40 persen guru yang menyelesaikan pendidikan D4 atau Sl. Sedangkan sisanya berjumlah sekitar 1.564.311 atau mencapai 60 persen belum memiliki latar belakang pendidikan D4 atau sarjana.
Dirjen Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan, Baedhowi mengakui, bukan hal mudah meningkatkan kualifikasi guru karena banyak guru yang berada di daerah perbatasan, terpencil, dan terluar lndonesia. Mereka tidak bisa meninggalkan sekolahnya karena keterbatasan guru di daerah tersebut.
“Solusinya adalah menggunakan pendi-dikan jarak jauh yang dikembangkan Uni-versitas Terbuka dan lembaga Seamolec yang didukung menteri-menteri pendi-dikan di Asia Tenggara. Para guru meng-ikuti perkuliahan jarak jauh dengan menggunakan teknologi multicast, sehingga tak perlu meninggalkan sekolah,” katanya.
Nah, nampaknya jalan bagi para guru untuk menyandang title sarjana S-1 kian mudah. Hanya masalahnya, pada akhirnya, demi status kesarjanaan di masyarakat dan kenaikan golongan mereka akhirnya melupakan hakikat mencari dan menambah ilmu dalam rangka meningkatkan profesionalisme keguruan mereka. Jangan sampai akhirnya diketahui masyarakat dan para murid, bahwa ternyata para guru dengan gelar sarjana S-1, S-2 bahkan S-3, atau tanpa gelar-gelar tadi, cara dan kualitas mengajarnya tetap saja tak ada perubahan. (ganesha)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar