Sesekali cobalah naik angkutan umum semisal angkot. Ada banyak cerita yang bisa ditemukan di sana. Tentang sosok sang supir, atau kisah para penumpang di dalamnya. Dalam ruang mobil sempit itu terekam potret kehidupan masyarakat kita. Termasuk perilaku para siswa. Ternyata ada segi negatif siswa kita yang terungkap dan cukup membuat kita tersenyum kecut. Apakah saja itu?
……………………………………….
Angkot merupakan kendaraan umum favorit warga perkotaan dan daerah di sekitarnya. Secara golongan, mereka (pengguna angkot) adalah masyarakat menengah ke bawah. Keunggulannya, selain ongkos relatif murah, angkot memiliki banyak tujuan berbagai sudut kota, sehingga memudahkan mobilitas warga kota. Ya, angkot memang membidik masyarakat umum sebagai konsumennya.
Tak dipungkiri angkutan kota sangat besar perannya bagi dunia pendidikan. Setiap pagi dan siang bahkan sore, angku-tan ini mengangkut para siswa ke sekolah atau pulang sekolah. Siswa tiba di sekolah atau sampai ke rumah karena naik angkot.
Meskipun anak sekolah bukan penumpang utama angkutan kota, namun para awak angkot tidak memandang rendah potensi uang saku anak sekolah. Meskipun tarifnya sudah dipatok pemerintah daerah lebih rendah dari orang dewasa, penumpang jenis anak sekolah, cukup menggairahkan para supir untuk menambah penghasilan harian mereka.
“Ya, begitulah Kang. Meski cuma seceng, (seribu) kalau anaknya banyak kan lumayan juga buat nambah setoran,” ujar salah seorang supir angkot 09 di Ciamis.
Meski hanya penumpang kategori ‘kelas dua,” anak sekolah justru jadi andalan pemasukan duit bagi awak angkot. Keberadaan mereka yang pasti ada setiap hari (kecuali hari libur), tak disia-siakan mereka. Terlebih ketika penumpang dewasa sepi, anak sekolah jadi gantinya. Angkotpun di jam pergi dan pulang sekolah tak kosong melompong.
Kritikan Supir
Para awak angkot di Ciamis, sebagian besar berperilaku positif dalam memperlakukan penumpangnya. Sopan, tidak ugal-ugalan, dan cukup tertib. Namun ada juga satu dua yang belum terpuji melayani penumpangnya. Misal terburu-buru ketika menaikan atau menurunkan penumpang, atau meminta tarif lebih besar ketimbang tarif resmi. Konon, angkot supir tembak yang terkadang berprilaku kurang mengenakan.
Kita sering menyorot bagaimana perilaku awak angkot. Sebagai konsumen, kecenderungannya penumpang ingin dilayani bak raja. Maka sah saja bicara ini itu tentang angkot. Positif dan negatifnya. Sebaliknya para awak angkutan kota dan juga angkutan umum juga berhak menilai konsumennya. Menilai penumpangnya.
Tentang penumpang berjenis anak sekolah, ada beberapa keluhan yang terlontar dari awak angkot.
Pertama, supir angkot mengeluhkan sikap cuek anak sekolah ketika ditawari naik angkot. “Kita memperlakukan anak sekolah dengan baik, karena anak supir juga ada yang masih sekolah. Tapi tak jarang mereka terlalu cuek,” kata seorang supir angkot Ciamis.
Sebagai contoh, katanya, ketika anak pulang sekolah, angkot berhenti menunggu mereka. Sang supir berteriak menawarkan angkotnya pada anak sekolah yang ber-jalan keluar sekolah. Tak ada satu pun jawaban dari anak, dan ketika mereka tiba di pinggir jalan mereka tak mau naik angkot.
“Ya kita sering mengira diamnya mereka berarti mau naik angkot kita sehingga kita tunggu. Eeh, ternyata tak naik. Kalau tak mau, ya kasih kode geleng kepala ke gimana, jangan diam saja!” ujar sang supir kesal.
Para supir merasa heran bila mendapati anak sekolah seperti itu. Sehingga akhirnya terkadang terlontar pertanyaan yang menohok dunia pendidikan. “Gimana sih, cara guru mengajar anak sekolah? Masa ditanya supir saja, anak sekolah tak bisa memberi jawaban?”
Menurut mereka, rasa kesal pasti muncul akibat perilaku cuek anak sekolah seperti itu. “Kita sih udah sering, ada kesal sih, tapi sudah biasa. Cuma di angkot kan juga ada penumpang dewasa. Nah mereka itu juga sebel kalau liat anak begitu. Waktu kan uang, katanya,” akunya.
Mereka merasa, supir angkot juga perlu dihargai. Ini berarti, anak sekolah yang cuek seperti itu dinilai kurang menghargai orang lain. Terlebih mereka (supir) angkot adalah orang dewasa dan lebih tua. Siswa memang selayaknya bisa menghargai semua orang, bukan hanya orangtua dan gurunya, tapi juga orang lain tanpa pandang bulu.
Kedua, anak sekolah jaman sekarang cederung manja. Perilaku manja itu membuat gemes supir angkot. Ini realita. Saat pulang sekolah angkot dipadati anak OSIS (SMP/SMA). Angkot berhenti karena ada anak yang memintanya berhenti, artinya sampai tujuan. Setelah si anak turun, angkot perlahan melaju lagi. Baru beberapa meter, secara mendadak harus kembali berhenti karena ada anak yang memintanya berhenti lagi.
“Padahal jaraknya cuma 7 atau 10 meteran dari anak tadi berhenti. Kenapa gak tadi sekalian? Emangnya jarak segitu sudah tak sanggup jalan kaki karena kecapean?” cerita sang supir Angkot Ciamis juga.
Coba bandingkan. Ini sangat berbeda dengan anak sekolah jaman dulu. Anak jaman dulu malah pergi dan pulang sekolah jalan kaki. Jarak kiloan meter ditempuh tanpa lelah, tanpa keluhan. Memang hingga kini pun anak sekolah di daerah masih banyak yang berjalan kaki ke sekolah karena tak ada alat transportasi. Tapi untuk di kota angkot dan angkutan lainnya bejibun.
“Sekarang jamannya beda, Kang. Banyak angkutan. Kita senang saja dapat duit dari anak sekolah, tapi masa sampai segitunya (manja) anak sekarang? Masalahnya kita takut macet atau bikin kaget kendaraan di belakang,” aku supir itu.
Ketiga, kata supir angkutan umum, anak sekolah terlalu santai. Di sepanjang jalan Banjar –Ciamis, pagi-pagi, berjejer anak OSIS yang mau sekolah ke Ciamis. Angkutan umum seperti carry dan bus menawarkan kendaraan-nya pada anak sekolah. Tapi mereka tak mau. “Alasannya, ada anak bilang, masih pagi, Mang!” kata si supir carry Banjar-Ciamis.
Padahal kata supir itu, mobil masih kosong. Memang, mereka dari rumah masih pagi, tapi tak segera naik angkutan umum.
“Ingin santai di pinggir jalan kali, padahal kalau datiag pagi ke sekolah kan bisa santai juga di sekolah?” kata si Supir.
Supir ini berlogika, makin siang, makin banyak penumpang. Juga penumpang dewasa. Kalau dimepetkan ke jam masuk sekolah, mereka bukan tak mungkin malah kesiangan. Herannya, kata dia, banyak anak OSIS baru mau naik kendaraan umum ketika waktu jam sekolah tinggal beberapa menit lagi. Akibatnya penumpang berjubel, dan malah tak bisa semua terangkut.
“Jelas pasti ada yang terlambat ke sekolah. Padahal sudah dari pagi sekali mereka berdiri di pinggir jalan,” kata si Supir keheranan.
Ambil Hikmah
Keluhan dan kritik dari para awak angkutan umum, tentang perilaku kurang positif anak sekolah perlu ditanggapi dengan bijak. Bagaimana pun mereka adalah masyarakat yang berhak menilai. Anak sekolah adalah anak-anak masyarakat dan akan hidup di tengah masyarakat pula.
Lepas dari rumah atau kosan, sebelum sampai ke sekolah, ke hadapan para guru, para supir angkotlah yang pertama kali berhubungan dengan anak-anak sekolah. Para awak angkutan umumlah yang paling dulu melihat perlilaku mereka dan tentu juga masyarakat di dalam angkot.
Nampaknya, tak perlu malu, ada kekura-ngan dari hasil pendidikan di sekolah yang tertangkap pihak lain. Anak-anak sekolah adalah produk SDM yang belum “jadi” . Masih bisa dibentuk, diluruskan dan diperbaiki. Mungkin benar kata para supir, tentang menghargai orang lain, berinteraksi sosial, kemandirian, berpikir dan bertindak cerdas serta perilaku disiplin menghargai waktu, masih perlu ditingkatkan aplikasinya dalam kehidupan anak didik kita.
Sebelum banyak membahas perlunya pendidikan karakter, para supir angkot itu sudah menyadarkan kita. Ternyata dari sudut sempit ruang angkot saja, kita bisa menemukan seperti apa perilaku anak-anak kita di pagi, siang, dan sore hari.
(agus ponda/ganesha)
……………………………………….
Angkot merupakan kendaraan umum favorit warga perkotaan dan daerah di sekitarnya. Secara golongan, mereka (pengguna angkot) adalah masyarakat menengah ke bawah. Keunggulannya, selain ongkos relatif murah, angkot memiliki banyak tujuan berbagai sudut kota, sehingga memudahkan mobilitas warga kota. Ya, angkot memang membidik masyarakat umum sebagai konsumennya.
Tak dipungkiri angkutan kota sangat besar perannya bagi dunia pendidikan. Setiap pagi dan siang bahkan sore, angku-tan ini mengangkut para siswa ke sekolah atau pulang sekolah. Siswa tiba di sekolah atau sampai ke rumah karena naik angkot.
Meskipun anak sekolah bukan penumpang utama angkutan kota, namun para awak angkot tidak memandang rendah potensi uang saku anak sekolah. Meskipun tarifnya sudah dipatok pemerintah daerah lebih rendah dari orang dewasa, penumpang jenis anak sekolah, cukup menggairahkan para supir untuk menambah penghasilan harian mereka.
“Ya, begitulah Kang. Meski cuma seceng, (seribu) kalau anaknya banyak kan lumayan juga buat nambah setoran,” ujar salah seorang supir angkot 09 di Ciamis.
Meski hanya penumpang kategori ‘kelas dua,” anak sekolah justru jadi andalan pemasukan duit bagi awak angkot. Keberadaan mereka yang pasti ada setiap hari (kecuali hari libur), tak disia-siakan mereka. Terlebih ketika penumpang dewasa sepi, anak sekolah jadi gantinya. Angkotpun di jam pergi dan pulang sekolah tak kosong melompong.
Kritikan Supir
Para awak angkot di Ciamis, sebagian besar berperilaku positif dalam memperlakukan penumpangnya. Sopan, tidak ugal-ugalan, dan cukup tertib. Namun ada juga satu dua yang belum terpuji melayani penumpangnya. Misal terburu-buru ketika menaikan atau menurunkan penumpang, atau meminta tarif lebih besar ketimbang tarif resmi. Konon, angkot supir tembak yang terkadang berprilaku kurang mengenakan.
Kita sering menyorot bagaimana perilaku awak angkot. Sebagai konsumen, kecenderungannya penumpang ingin dilayani bak raja. Maka sah saja bicara ini itu tentang angkot. Positif dan negatifnya. Sebaliknya para awak angkutan kota dan juga angkutan umum juga berhak menilai konsumennya. Menilai penumpangnya.
Tentang penumpang berjenis anak sekolah, ada beberapa keluhan yang terlontar dari awak angkot.
Pertama, supir angkot mengeluhkan sikap cuek anak sekolah ketika ditawari naik angkot. “Kita memperlakukan anak sekolah dengan baik, karena anak supir juga ada yang masih sekolah. Tapi tak jarang mereka terlalu cuek,” kata seorang supir angkot Ciamis.
Sebagai contoh, katanya, ketika anak pulang sekolah, angkot berhenti menunggu mereka. Sang supir berteriak menawarkan angkotnya pada anak sekolah yang ber-jalan keluar sekolah. Tak ada satu pun jawaban dari anak, dan ketika mereka tiba di pinggir jalan mereka tak mau naik angkot.
“Ya kita sering mengira diamnya mereka berarti mau naik angkot kita sehingga kita tunggu. Eeh, ternyata tak naik. Kalau tak mau, ya kasih kode geleng kepala ke gimana, jangan diam saja!” ujar sang supir kesal.
Para supir merasa heran bila mendapati anak sekolah seperti itu. Sehingga akhirnya terkadang terlontar pertanyaan yang menohok dunia pendidikan. “Gimana sih, cara guru mengajar anak sekolah? Masa ditanya supir saja, anak sekolah tak bisa memberi jawaban?”
Menurut mereka, rasa kesal pasti muncul akibat perilaku cuek anak sekolah seperti itu. “Kita sih udah sering, ada kesal sih, tapi sudah biasa. Cuma di angkot kan juga ada penumpang dewasa. Nah mereka itu juga sebel kalau liat anak begitu. Waktu kan uang, katanya,” akunya.
Mereka merasa, supir angkot juga perlu dihargai. Ini berarti, anak sekolah yang cuek seperti itu dinilai kurang menghargai orang lain. Terlebih mereka (supir) angkot adalah orang dewasa dan lebih tua. Siswa memang selayaknya bisa menghargai semua orang, bukan hanya orangtua dan gurunya, tapi juga orang lain tanpa pandang bulu.
Kedua, anak sekolah jaman sekarang cederung manja. Perilaku manja itu membuat gemes supir angkot. Ini realita. Saat pulang sekolah angkot dipadati anak OSIS (SMP/SMA). Angkot berhenti karena ada anak yang memintanya berhenti, artinya sampai tujuan. Setelah si anak turun, angkot perlahan melaju lagi. Baru beberapa meter, secara mendadak harus kembali berhenti karena ada anak yang memintanya berhenti lagi.
“Padahal jaraknya cuma 7 atau 10 meteran dari anak tadi berhenti. Kenapa gak tadi sekalian? Emangnya jarak segitu sudah tak sanggup jalan kaki karena kecapean?” cerita sang supir Angkot Ciamis juga.
Coba bandingkan. Ini sangat berbeda dengan anak sekolah jaman dulu. Anak jaman dulu malah pergi dan pulang sekolah jalan kaki. Jarak kiloan meter ditempuh tanpa lelah, tanpa keluhan. Memang hingga kini pun anak sekolah di daerah masih banyak yang berjalan kaki ke sekolah karena tak ada alat transportasi. Tapi untuk di kota angkot dan angkutan lainnya bejibun.
“Sekarang jamannya beda, Kang. Banyak angkutan. Kita senang saja dapat duit dari anak sekolah, tapi masa sampai segitunya (manja) anak sekarang? Masalahnya kita takut macet atau bikin kaget kendaraan di belakang,” aku supir itu.
Ketiga, kata supir angkutan umum, anak sekolah terlalu santai. Di sepanjang jalan Banjar –Ciamis, pagi-pagi, berjejer anak OSIS yang mau sekolah ke Ciamis. Angkutan umum seperti carry dan bus menawarkan kendaraan-nya pada anak sekolah. Tapi mereka tak mau. “Alasannya, ada anak bilang, masih pagi, Mang!” kata si supir carry Banjar-Ciamis.
Padahal kata supir itu, mobil masih kosong. Memang, mereka dari rumah masih pagi, tapi tak segera naik angkutan umum.
“Ingin santai di pinggir jalan kali, padahal kalau datiag pagi ke sekolah kan bisa santai juga di sekolah?” kata si Supir.
Supir ini berlogika, makin siang, makin banyak penumpang. Juga penumpang dewasa. Kalau dimepetkan ke jam masuk sekolah, mereka bukan tak mungkin malah kesiangan. Herannya, kata dia, banyak anak OSIS baru mau naik kendaraan umum ketika waktu jam sekolah tinggal beberapa menit lagi. Akibatnya penumpang berjubel, dan malah tak bisa semua terangkut.
“Jelas pasti ada yang terlambat ke sekolah. Padahal sudah dari pagi sekali mereka berdiri di pinggir jalan,” kata si Supir keheranan.
Ambil Hikmah
Keluhan dan kritik dari para awak angkutan umum, tentang perilaku kurang positif anak sekolah perlu ditanggapi dengan bijak. Bagaimana pun mereka adalah masyarakat yang berhak menilai. Anak sekolah adalah anak-anak masyarakat dan akan hidup di tengah masyarakat pula.
Lepas dari rumah atau kosan, sebelum sampai ke sekolah, ke hadapan para guru, para supir angkotlah yang pertama kali berhubungan dengan anak-anak sekolah. Para awak angkutan umumlah yang paling dulu melihat perlilaku mereka dan tentu juga masyarakat di dalam angkot.
Nampaknya, tak perlu malu, ada kekura-ngan dari hasil pendidikan di sekolah yang tertangkap pihak lain. Anak-anak sekolah adalah produk SDM yang belum “jadi” . Masih bisa dibentuk, diluruskan dan diperbaiki. Mungkin benar kata para supir, tentang menghargai orang lain, berinteraksi sosial, kemandirian, berpikir dan bertindak cerdas serta perilaku disiplin menghargai waktu, masih perlu ditingkatkan aplikasinya dalam kehidupan anak didik kita.
Sebelum banyak membahas perlunya pendidikan karakter, para supir angkot itu sudah menyadarkan kita. Ternyata dari sudut sempit ruang angkot saja, kita bisa menemukan seperti apa perilaku anak-anak kita di pagi, siang, dan sore hari.
(agus ponda/ganesha)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar