Ini agenda baru insan pendidikan di Ciamis, namanya Dialog Pendidikan. Kegiatan bulanan yang digagas PGRI dan FKPS Kabupaten Ciamis ini sudah beberapa kali dilakukan. Di ruang ini kepala dinas dan jajarannya berbincang dengan para pendidik. Terbuka dan jujur-jujuran.
............................
Dialog Pendidikan di Aula Wisma PGRI Kabupaten Ciamis.kian ‘seru’ dan menarik. Pada Dialog Pendidikan yang digelar (6/2) salah satu yang mendapat perhatian serta respon peserta dialog adalah pernyataan Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Ciamis, H. Akasah, bahwa tak salah menilai diri sendiri, baik guru maupun kepala sekolah atau siapa pun asal mengedepankan kejujuran.
Kata Kadisdik, jangankan menilai diri sendiri secara individu atau perseorangan, secara kelembagaan pun ada yang dinamakan evadir atau EDS.
Reaksi dan respon peserta terfokus pada kata ‘kejujuran’. Untuk lebih menajamkan makna agar tidak terjadi salah menafsirkan. H. Akasah pun menjelaskan, kejujuran memang hal yang seringkali didengung-dengungkan dan sangat diharapkan oleh siapa pun, di mana pun, dan dalam kondisi bagaimana pun. Namun, ikhwal kejujuran memang sulit sekali direalisasikan apalagi dalam hal penilaian atau menilai diri sendiri.
“Maka dari itu, guru jangan arogan, sebab siswa pun menilai guru. Kepala sekolah jangan arogan, sebab para guru dan TU menilai kepala sekolah, pengawas pun jangan arogan, sebab para kepala sekolah turut menilai pengawas. Intinya transparansi dan introspeksi harus menjadi ruh objektivitas penilaian, apalagi dengan PKG dan PKB disadari atau tidak proses implementasinya jelas ada celah untuk menilai para penilai. Di sinilah betapa pentingnya peran karakter yang menjadi fundamen akan munculnya kesadaran dan kejujuran atas apa dan siapa yang dinilai dan yang menilai,” ujar Kadisdik
Hal senada dikemukakan oleh Ketua MKKS SMP Kabupaten Ciamis, Dr. H. Aning Effendi, bahwa betapa pentingnya ‘ngaji diri’. Sedangkan Kepala SMPN 2 Ciamis, Dr. Agus Sumantri, mengatakan, jika ingin ada perubahan, maka warga pendidikan harus terdorong atau ada kemauan untuk berubah. Kuncinya menurut Agus Sumantri adalah semangat untuk maju dan pendidikan harus bebas dari kepentingan politis. Hal lain yang disampaikan Agus Sumantri adalah try out pengayaan harus dievaluasi secara komprehensif.
Kepala SMPN 1 Ciamis, Agus Yudhono, S.Pd., M.Pd. berpendapat lain terkait evaluasi try out pengayaan. Menurut Agus Yudhono, evaluasi try out pengayaan telah sepenuhnya dilakukan, baik dalam evaluasi internal sekolah maupun evaluasi tingkat kabupaten maupun provinsi. Bahkan Agus Yudhono menyarankan agar pengayaan tidak hanya dilaksanakan bagi siswa yang akan melaksanakan UN saja. Pengayaan dimulai dari kelas VII dan VIII yang dimantapkan di kelas IX. “Agar semua itu bisa berjalan, maka di setiap sekolah perlu dibangun komitmen, diadakan pengawasan, dan monitoring,” jelas Agus Yudhono.
Menanggapi berbagai pertanyaan, masalah, usulan, saran, dan bahkan kritikan yang muncul dalam dialog, Kadisdik tak tertinggal dari tersenyum. Senyuman kadisdik yang terkesan ‘tenang dan matang’. “Apapun yang muncul saat ini merupakan problem solving yang akan dijadikan catatan khusus tentang plus-minus bidang pendidikan, khususnya bagi Dinas Pendidikan untuk seoptimal mungkin bisa ditindaklanjuti. Jika ada hal yang meragukan, maka semua kembali ke norma atau atauran dan juklak-juknis. Jangan sampai hal yang diwacanakan dalam tataran informasi lisan lebih dipercaya dari apa yang tersurat dalam aturan. Apabila semua telah mampu melakukan hal yang demikian, maka berbagai kendala dan kesalahan akan bisa diminimalisasi,” tegas H. Akasah.
Masalah keinginan atau niat untuk berubah itu merupakan hak sekaligus kewajiban apalagi bagi insan pendidikan. Kata Akasah, setiap insane pendidik harus berubah dan jangan alergi dengan peruba-han, harus jadi agent of change. “Tapi per-ubahan yang mana dulu? Kita harus pandai memilah dan memilih. Guru harus cerdas! Perubahan yang signifikan bermanfaat, baik bagi pribadi dan untuk seluruh umat manusia berikut alam semesta. Artinya, cari dan ikuti perubahan-perubahan yang mengarah pada peningkatan kesadaran pentingnya nilai-nilai keikhlasan dan profesional dalam melaksanakan tugas atau kewajiban,” katanya.
Ia menekankan perlunya komitmen, pengawasan, dan monitoring evaluasi, intinya agar setiap individu mengerti akan tupoksi dan secara kelembagaan pun akan terwujud kondusivitas yang riil dan murni.
Salah seorang peserta menilai, Dialog Pendidikan tersebut sangat berarti bagi kepentingan serta keperluan kemajuan sistem, manajemen, kebijakan, teknis, dan prespektif proses di lapangan, terutama menyangkut gerak langkah para pengawas dan guru yang melaksanakan kebijakan pemerintah pusat, provinsi, hingga Dinas Pendidikan.
Menginjak putaran kedua, Dialog Pendidikan nampaknya kian menarik. Makin banyak hal yang diungkapkan sebagai masalah. Tanggapan-tanggapan pun kian dibutuhkan sebagai penjelas atau solusi.
(Ayu Berliani/Ganesha)
............................
Dialog Pendidikan di Aula Wisma PGRI Kabupaten Ciamis.kian ‘seru’ dan menarik. Pada Dialog Pendidikan yang digelar (6/2) salah satu yang mendapat perhatian serta respon peserta dialog adalah pernyataan Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Ciamis, H. Akasah, bahwa tak salah menilai diri sendiri, baik guru maupun kepala sekolah atau siapa pun asal mengedepankan kejujuran.
Kata Kadisdik, jangankan menilai diri sendiri secara individu atau perseorangan, secara kelembagaan pun ada yang dinamakan evadir atau EDS.
Reaksi dan respon peserta terfokus pada kata ‘kejujuran’. Untuk lebih menajamkan makna agar tidak terjadi salah menafsirkan. H. Akasah pun menjelaskan, kejujuran memang hal yang seringkali didengung-dengungkan dan sangat diharapkan oleh siapa pun, di mana pun, dan dalam kondisi bagaimana pun. Namun, ikhwal kejujuran memang sulit sekali direalisasikan apalagi dalam hal penilaian atau menilai diri sendiri.
“Maka dari itu, guru jangan arogan, sebab siswa pun menilai guru. Kepala sekolah jangan arogan, sebab para guru dan TU menilai kepala sekolah, pengawas pun jangan arogan, sebab para kepala sekolah turut menilai pengawas. Intinya transparansi dan introspeksi harus menjadi ruh objektivitas penilaian, apalagi dengan PKG dan PKB disadari atau tidak proses implementasinya jelas ada celah untuk menilai para penilai. Di sinilah betapa pentingnya peran karakter yang menjadi fundamen akan munculnya kesadaran dan kejujuran atas apa dan siapa yang dinilai dan yang menilai,” ujar Kadisdik
Hal senada dikemukakan oleh Ketua MKKS SMP Kabupaten Ciamis, Dr. H. Aning Effendi, bahwa betapa pentingnya ‘ngaji diri’. Sedangkan Kepala SMPN 2 Ciamis, Dr. Agus Sumantri, mengatakan, jika ingin ada perubahan, maka warga pendidikan harus terdorong atau ada kemauan untuk berubah. Kuncinya menurut Agus Sumantri adalah semangat untuk maju dan pendidikan harus bebas dari kepentingan politis. Hal lain yang disampaikan Agus Sumantri adalah try out pengayaan harus dievaluasi secara komprehensif.
Kepala SMPN 1 Ciamis, Agus Yudhono, S.Pd., M.Pd. berpendapat lain terkait evaluasi try out pengayaan. Menurut Agus Yudhono, evaluasi try out pengayaan telah sepenuhnya dilakukan, baik dalam evaluasi internal sekolah maupun evaluasi tingkat kabupaten maupun provinsi. Bahkan Agus Yudhono menyarankan agar pengayaan tidak hanya dilaksanakan bagi siswa yang akan melaksanakan UN saja. Pengayaan dimulai dari kelas VII dan VIII yang dimantapkan di kelas IX. “Agar semua itu bisa berjalan, maka di setiap sekolah perlu dibangun komitmen, diadakan pengawasan, dan monitoring,” jelas Agus Yudhono.
Menanggapi berbagai pertanyaan, masalah, usulan, saran, dan bahkan kritikan yang muncul dalam dialog, Kadisdik tak tertinggal dari tersenyum. Senyuman kadisdik yang terkesan ‘tenang dan matang’. “Apapun yang muncul saat ini merupakan problem solving yang akan dijadikan catatan khusus tentang plus-minus bidang pendidikan, khususnya bagi Dinas Pendidikan untuk seoptimal mungkin bisa ditindaklanjuti. Jika ada hal yang meragukan, maka semua kembali ke norma atau atauran dan juklak-juknis. Jangan sampai hal yang diwacanakan dalam tataran informasi lisan lebih dipercaya dari apa yang tersurat dalam aturan. Apabila semua telah mampu melakukan hal yang demikian, maka berbagai kendala dan kesalahan akan bisa diminimalisasi,” tegas H. Akasah.
Masalah keinginan atau niat untuk berubah itu merupakan hak sekaligus kewajiban apalagi bagi insan pendidikan. Kata Akasah, setiap insane pendidik harus berubah dan jangan alergi dengan peruba-han, harus jadi agent of change. “Tapi per-ubahan yang mana dulu? Kita harus pandai memilah dan memilih. Guru harus cerdas! Perubahan yang signifikan bermanfaat, baik bagi pribadi dan untuk seluruh umat manusia berikut alam semesta. Artinya, cari dan ikuti perubahan-perubahan yang mengarah pada peningkatan kesadaran pentingnya nilai-nilai keikhlasan dan profesional dalam melaksanakan tugas atau kewajiban,” katanya.
Ia menekankan perlunya komitmen, pengawasan, dan monitoring evaluasi, intinya agar setiap individu mengerti akan tupoksi dan secara kelembagaan pun akan terwujud kondusivitas yang riil dan murni.
Salah seorang peserta menilai, Dialog Pendidikan tersebut sangat berarti bagi kepentingan serta keperluan kemajuan sistem, manajemen, kebijakan, teknis, dan prespektif proses di lapangan, terutama menyangkut gerak langkah para pengawas dan guru yang melaksanakan kebijakan pemerintah pusat, provinsi, hingga Dinas Pendidikan.
Menginjak putaran kedua, Dialog Pendidikan nampaknya kian menarik. Makin banyak hal yang diungkapkan sebagai masalah. Tanggapan-tanggapan pun kian dibutuhkan sebagai penjelas atau solusi.
(Ayu Berliani/Ganesha)