...................................................
Idul Fitri adalah kesempatan setiap mus-lim untuk bersenang-senang. Hal itu boleh karena seorang muslim patut bangga berhasil menahan hawa nafsu selama sebulan.
“Tapi hal penting yang tidak boleh di-tinggalkan adalah silaturahim, saling ber-maafan, dan terus menjaga kesucian hati.” ujar Ketua Umum Pengurus Besar Nahdla-tul Ulama (PB NU), KH Said Aqil Siroj.
Momentum idul fitri untuk menjaga kesucian hati sejak hari kemenangan tersebut sangat penting bagi seorang pendidik. Saat ini banyak guru yang kerap lupa bahwa menjadi seorang guru bukan sesuatu yang mudah, sebaliknya ia adalah tugas yang sangat membutuhkan kesabaran hati. Dengan idul fitri, kita diingatkan bahwa sangat jelas seorang guru itu semestinya punya kesucian hati dalam mendidik. Bila mendidik dengan hati yang ikhlas, maka ilmu yang disampaikan juga akan menjadi berkat, siswa akan meraih kesuksesan dengan cemerlang, bukan sekadar dari segi akademik tetapi juga kesalehan diri.
Bagi para guru dan pendidik lainnya, Idul fitri harus dijadikan wahana introspeksi diri. Sejak saat ini tak ada salahnya kembali berbenah. Bila selama ini niat mendidik dengan kesucian hati kerap terlupakan, mari kita memulainya lagi dengan niat lillahitaalla. Niat mencari keridhoan dan barokah dari Allah Swt.
Tugas seorang guru itu terlalu mulia. Mari bersama-samalah kita menjalankan tanggungjawab ini dengan niat yang ikhlas karena Allah bukan karena gajinya semata-mata, tapi karena kita benar-benar paham dan menganggap ia adalah amanah dari Allah.
Seperti halnya hari-hari yang lalu, hari libur di akhir Ramadhan, Idul Fitri dan bebe-rapa hari setelahnya, di mana kita dihing-gapi rasa malas untuk kembali ke sekolah, ke tengah anak-anak didik, sejak saat ini dengan bulat dan mantap buang rasa itu.
“Tak ada salahnya, kembali berniat mendidik. Lalu hidupkan kembali semangat menyebarkan ilmu. Seorang guru itu mestilah seorang yang mempunyai semangat yang tinggi dalam mendidik anak-anak. Andai seorang guru itu layu dalam menjalankan amanah yang diberikan, bagaimana ia mampu melahirkan insan yang berguna satu hari nanti? Yuk tepuk dada, tanya diri sendiri, masihkah mau menjadi seorang pendidik setelah Allah berikan kita hari yang fitri itu?” kata seorang teman yang juga seorang guru.
Makna Kesucian Hati
Pertanyaan paling mahal dan bernilai bagi seorang guru adalah “apakah aku sudah kehilangan hati suciku selama ini? Mengapa? Padahal hati sejatinya menjadi asas segala sesuatu yang bernama sebuah kehidupan.
Penting diingat bahwa kesucian terbagi dua, yaitu kesucian lahiriah (kesucian badan) dan kesucian bathiniah (kesucian hati). Jika seorang hamba mampu menggabungkan dua kesucian itu, maka ia berhak meraih cinta Allah yang diidamkan setiap muslim.
“…Dan Allah mencintai orang-orang yang bersih.” (QS 9 : 108).
Hidup ini tidak akan bermakna tanpa hati yang hidup. Jika hati mati, maka semua amalan yang dilakukan akan menjadi timpang, kerja mengejar dunia akan mengaburi pandangan ke akhirat dan ibadah pula hilang kemanisannya.
Seorang yang sholat, puasa dan sedekah dengan hati yang berpaling dari Allah, hatinya akan mati, kotor dan menyimpan penyakit serta sudah tentu ibadahnya tidak memberi kesan kepada kepribadiannya.
Harus diingat bahwa fokus utama hati hanya akan terarah untuk memenuhi kehendak nafsu, padahal ia diciptakan untuk senantiasa memandang keagungan Tuhannya, menerima hidayah dan kemudian mengawal semua gerak kerja seluruh anggota badan semata-mata untuk keredaan Allah. Namun demikian, hati juga diciptakan dengan ciri sensitif seperti mudah terpengaruh oleh keadaan, mudah berubah, berbolak-balik, kadang tersesat dan kadang dapat terpimpin.
Adalah menjadi tugas seorang mukmin termasuk para pendidik menjaga hatinya, merawat dan menghidupkan semangat iman di dalam hati.
Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa hati yang sehat adalah hati yang selamat dari siksa Allah. Hati yang terbebas dari segala ikatan syahwat. Hati yang selalu pasrah kepada Allah, tidak sedikit pun pernah menyimpan pembangkangan terhadap perintah dan keputusan Allah.
“Ia hanya menginginkan Allah dan berbuat sesuai dengan perintah Allah. Hanya Allah yang menjadi tujuan, menjadi nyawa perintah, sarana dan metode hidupnya. Tidak ada syubhat yang merintang di hadapannya, sehingga hati selalu meyakini berita dari Allah.” ujar Ibnul Qayyim.
Mencotoh ke masa lalu, sahabat Rasulullah pernah menerima teguran langsung melalui wahyu-Nya, supaya mereka sentiasa mengurus hati dengan penjagaan baik agar ia dapat berfungsi dengan sempurna sebagai agen penerima wahyu Allah. ini pelajaran pula bagi seorang pendidik sebagai agen ilmu.
Syeikh Amin Muhammad Jamal berkata, bahwa keselamatan hati tidak akan sempurna sebelum terhindar dari 5 hal, yaitu syirik yang menodai tauhid, bid’ah yang dapat menyalahi sunnah, nafsu syahwat yang cenderung melanggar perintah, ambisi yang mengotori keikhlasan, dan lalai yang dapat menodai dzikrullah.
Kelima faktor inilah yang sangat berpotensi mengotori qalbu sehingga cahaya kebenaran akan terhambat. Bahkan hati yang telah ternoda akan sulit mendapatkan manfaat yang layak dalam masalah apa pun, termasuk hubungan dengan sesama makhluk.” Seperti kata Ibnul Qayyim : “Bergaul dengan orang yang hatinya mati adalah penyakit. Berteman dengannya adalah racun. Dan bermajlis (berkumpul) dengan mereka adalah bencana.”
Dalam kitab Az-Zuhd al-Kabiir, karya al-Baihaqi (hal 174) dikisahkan : Dari Fath bin Syakraf, ia berkata : Abdullah al-Anthaki berkata kepadaku, “Wahai orang khurasan, hanya ada empat perkara. Tidak ada yang lain, yaitu matamu, lisanmu, hatimu dan hawa nafsumu.
Pertama, perhatikanlah matamu agar engkau tidak melihat sesuatu yang tidak halal. Kedua perhatikanlah lisanmu agar engkau tidak berkata sesuatu, padahal ALLAH mengetahui kebalikannya dari hatimu.Ketiga, perhatikanlah hatimu agar engkau tidak ada kedengkian dan dendam terhadap seorang muslim.Keempat perhatikanlah hawa nafsumu agar sedikit pun tidak berhasrat pada keburukan.
Jika keempat perkara ini tidak ada dalam dirimu, maka taburkanlah debu di atas ke-palamu, karena engkau benar-benar celaka.
Sumber Kedamaian
Abu Umar Basyir dalam tulisannya “Suci Hati Bersama Nabi SAW” melantunkan rangkaian kata indah penuh makna yang dalam tentang hati. Ia berujar : ” Hati adalah sumber kedamaian. Hati adalah nikmat ilahi yang harus dirawat tak ubahnya bayi dalam buaian. Hati adalah karunia yang harus kita pupuk menjadi sejumput bibit kemenangan.
Hati adalah anugerah. Gunjingan, hasad, dendam, kebencian dan permusu-han, seluruhnya adalah sampah. Hati nan jernih adalah hati yang teduh dan pasrah, hati yang selalu basah oleh dzikir dan kalimat-kalimat pengagungan nan indah.
Hati adalah matahari kehidupan. Mungkin bukan sekedar lentera yang hanya menerangi ruang terbatas, bukan sekedar lilin yang menebar cahaya sementara, untuk kemudian cahaya itu padam tak berbekas.
”Hati adalah ibarat cermin, setitik embun pun bisa membuatnya kusam, apalagi debu, kotoran dan air bernoda hitam. Namun cermin yang jernih, tak hanya berfungsi untuk mengenali diri sendiri, namun juga untuk menampakkan wajah sejati. hati ini tak ubahnya istana halimun; sebuah keindahan yang tak tampak, sebuah keagungan yang tak terlihat, namun bisa dirasakan. Akan tetapi bila hati sudah ternoda dosa, gelembung pahitnyua tercicipi setiap kalangan, ibarat santapan di sebuah pesta hidangan, “ kata Abu Umar Basyir
Namun lanjutnya, hati bukanlah Tuhan. Tapi juga jangan membiarkan hati menjadi sarang-sarang setan. Namun mengabaikan kata hati adalah awal sebuah kesesatan. Hati bukan juga gudang kebenaran. Hati hanya persinggahan petunjuk yang dipahami melalui ajaran Al-Qur’an. Menuhankan hati adalah kenistaan, namun menutup hati berarti pintu kesombongan.
Mendoakan Anak Didik
Guru jangan sampai lupa pada tanggung jawab. Tidak hanya mengajari, mendidik, guru pun harus selalu membimbing anak-anak didiknya, bukan semata ketika di sekolah, bahkan ketika anak-anak didik telah kembali ke rumahnya masing-masing pun peran guru tak terhenti karena jarak. Jangan kita selalu berpikir, bahwa hanya tugas seorang murid yang patut selalu mendoakan
“Betapa pentingnya seorang guru mendoakan anak-muridnya setiap hari. Doa agar mereka mudah menerima ilmu yang disampaikan maupun doa agar Allah menerangkan hati mereka. Dan doa juga agar Allah memberi kekuatan untuk kita dalam menjalankan tugas sebagai pendidik.” ujar seorang guru.
Seorang pendidik harus mampu membim-bing peserta didiknya agar mampu mencapai kompetensi dasar yang menjadi tujuan pembelajaran. Ia jangan putus asa untuk terus mendidik. Guru harus menghindarkan kata-kata memaksa anak untuk secepatnya menguasai materi. Penting pula menciptakan suasana yang menyenangkan dalam pembelajaran di dalam maupun di luar kelas.
Adalah penting dimensi rohani dalam se-tiap aktivitas, termasuk di dalamnya proses pembelajaran. Kita sering lupa bahwa di balik skill mengajar yang kita kuasai, dahsyatnya metode pengajaran, dan aspek lahiriah lainnya yang kita pergunakan, ada hal lain yang sangat menentukan keberhasilan proses pembelajaran, yaitu campur tangan Allah. Dan itu hanya bisa didekati dengan doa.
Banyak guru yang merasa bahwa ia sudah mengeluarkan kemampuan maksimalnya dalam mengajar, tapi ternyata banyak pula siswa yang tidak bisa mencerna pelajaran yang ia sampaikan. Celakanya, yang sering menjadi sasaran tembak dari ketidakberhasilannya adalah siswa. Gangguan konsentrasi lah, malas lah, ketidakmampuan belajar lah, dan berbagai predikat negatif lainnya.
Padahal mestinya sebelum mengkambinghitamkan siswa, alangkah bijaksananya kalau ia mengintrospeksi diri sendiri. Betulkah ia sudah maksimal dalam mengajar? Apakah ia mengajar dengan ikhlas? Dan yang paling penting adalah apakah ia sering berdoa untuk keberhasilan anak didiknya dalam proses pembelajaran.
Penguatan dimensi rohani dalam aspek pembelajaran bukan berarti guru tidak punya kewajiban untuk meningkatkan komptensi mengajarnya sehingga tidak menjadi kreatif. Tapi alangkah baiknya apabila usaha maksimal yang kita lakukan dalam proses pembelajaran diimbangi dengan doa terbaik kita untuk kebaikan dan keberhasilan anak didik kita. Tidak hanya ketika menjelang ujian akhir saja, tapi di setiap doa yang kita panjatkan. Bukankah Allah telah berfirman, "Berdoalah kamu kepadaKu niscaya Aku perkenankan doa permohonan kamu." (QS: AlMukmin:60).
(agus ponda/ dari berbagai sumber/ganesha)
Idul Fitri adalah kesempatan setiap mus-lim untuk bersenang-senang. Hal itu boleh karena seorang muslim patut bangga berhasil menahan hawa nafsu selama sebulan.
“Tapi hal penting yang tidak boleh di-tinggalkan adalah silaturahim, saling ber-maafan, dan terus menjaga kesucian hati.” ujar Ketua Umum Pengurus Besar Nahdla-tul Ulama (PB NU), KH Said Aqil Siroj.
Momentum idul fitri untuk menjaga kesucian hati sejak hari kemenangan tersebut sangat penting bagi seorang pendidik. Saat ini banyak guru yang kerap lupa bahwa menjadi seorang guru bukan sesuatu yang mudah, sebaliknya ia adalah tugas yang sangat membutuhkan kesabaran hati. Dengan idul fitri, kita diingatkan bahwa sangat jelas seorang guru itu semestinya punya kesucian hati dalam mendidik. Bila mendidik dengan hati yang ikhlas, maka ilmu yang disampaikan juga akan menjadi berkat, siswa akan meraih kesuksesan dengan cemerlang, bukan sekadar dari segi akademik tetapi juga kesalehan diri.
Bagi para guru dan pendidik lainnya, Idul fitri harus dijadikan wahana introspeksi diri. Sejak saat ini tak ada salahnya kembali berbenah. Bila selama ini niat mendidik dengan kesucian hati kerap terlupakan, mari kita memulainya lagi dengan niat lillahitaalla. Niat mencari keridhoan dan barokah dari Allah Swt.
Tugas seorang guru itu terlalu mulia. Mari bersama-samalah kita menjalankan tanggungjawab ini dengan niat yang ikhlas karena Allah bukan karena gajinya semata-mata, tapi karena kita benar-benar paham dan menganggap ia adalah amanah dari Allah.
Seperti halnya hari-hari yang lalu, hari libur di akhir Ramadhan, Idul Fitri dan bebe-rapa hari setelahnya, di mana kita dihing-gapi rasa malas untuk kembali ke sekolah, ke tengah anak-anak didik, sejak saat ini dengan bulat dan mantap buang rasa itu.
“Tak ada salahnya, kembali berniat mendidik. Lalu hidupkan kembali semangat menyebarkan ilmu. Seorang guru itu mestilah seorang yang mempunyai semangat yang tinggi dalam mendidik anak-anak. Andai seorang guru itu layu dalam menjalankan amanah yang diberikan, bagaimana ia mampu melahirkan insan yang berguna satu hari nanti? Yuk tepuk dada, tanya diri sendiri, masihkah mau menjadi seorang pendidik setelah Allah berikan kita hari yang fitri itu?” kata seorang teman yang juga seorang guru.
Makna Kesucian Hati
Pertanyaan paling mahal dan bernilai bagi seorang guru adalah “apakah aku sudah kehilangan hati suciku selama ini? Mengapa? Padahal hati sejatinya menjadi asas segala sesuatu yang bernama sebuah kehidupan.
Penting diingat bahwa kesucian terbagi dua, yaitu kesucian lahiriah (kesucian badan) dan kesucian bathiniah (kesucian hati). Jika seorang hamba mampu menggabungkan dua kesucian itu, maka ia berhak meraih cinta Allah yang diidamkan setiap muslim.
“…Dan Allah mencintai orang-orang yang bersih.” (QS 9 : 108).
Hidup ini tidak akan bermakna tanpa hati yang hidup. Jika hati mati, maka semua amalan yang dilakukan akan menjadi timpang, kerja mengejar dunia akan mengaburi pandangan ke akhirat dan ibadah pula hilang kemanisannya.
Seorang yang sholat, puasa dan sedekah dengan hati yang berpaling dari Allah, hatinya akan mati, kotor dan menyimpan penyakit serta sudah tentu ibadahnya tidak memberi kesan kepada kepribadiannya.
Harus diingat bahwa fokus utama hati hanya akan terarah untuk memenuhi kehendak nafsu, padahal ia diciptakan untuk senantiasa memandang keagungan Tuhannya, menerima hidayah dan kemudian mengawal semua gerak kerja seluruh anggota badan semata-mata untuk keredaan Allah. Namun demikian, hati juga diciptakan dengan ciri sensitif seperti mudah terpengaruh oleh keadaan, mudah berubah, berbolak-balik, kadang tersesat dan kadang dapat terpimpin.
Adalah menjadi tugas seorang mukmin termasuk para pendidik menjaga hatinya, merawat dan menghidupkan semangat iman di dalam hati.
Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa hati yang sehat adalah hati yang selamat dari siksa Allah. Hati yang terbebas dari segala ikatan syahwat. Hati yang selalu pasrah kepada Allah, tidak sedikit pun pernah menyimpan pembangkangan terhadap perintah dan keputusan Allah.
“Ia hanya menginginkan Allah dan berbuat sesuai dengan perintah Allah. Hanya Allah yang menjadi tujuan, menjadi nyawa perintah, sarana dan metode hidupnya. Tidak ada syubhat yang merintang di hadapannya, sehingga hati selalu meyakini berita dari Allah.” ujar Ibnul Qayyim.
Mencotoh ke masa lalu, sahabat Rasulullah pernah menerima teguran langsung melalui wahyu-Nya, supaya mereka sentiasa mengurus hati dengan penjagaan baik agar ia dapat berfungsi dengan sempurna sebagai agen penerima wahyu Allah. ini pelajaran pula bagi seorang pendidik sebagai agen ilmu.
Syeikh Amin Muhammad Jamal berkata, bahwa keselamatan hati tidak akan sempurna sebelum terhindar dari 5 hal, yaitu syirik yang menodai tauhid, bid’ah yang dapat menyalahi sunnah, nafsu syahwat yang cenderung melanggar perintah, ambisi yang mengotori keikhlasan, dan lalai yang dapat menodai dzikrullah.
Kelima faktor inilah yang sangat berpotensi mengotori qalbu sehingga cahaya kebenaran akan terhambat. Bahkan hati yang telah ternoda akan sulit mendapatkan manfaat yang layak dalam masalah apa pun, termasuk hubungan dengan sesama makhluk.” Seperti kata Ibnul Qayyim : “Bergaul dengan orang yang hatinya mati adalah penyakit. Berteman dengannya adalah racun. Dan bermajlis (berkumpul) dengan mereka adalah bencana.”
Dalam kitab Az-Zuhd al-Kabiir, karya al-Baihaqi (hal 174) dikisahkan : Dari Fath bin Syakraf, ia berkata : Abdullah al-Anthaki berkata kepadaku, “Wahai orang khurasan, hanya ada empat perkara. Tidak ada yang lain, yaitu matamu, lisanmu, hatimu dan hawa nafsumu.
Pertama, perhatikanlah matamu agar engkau tidak melihat sesuatu yang tidak halal. Kedua perhatikanlah lisanmu agar engkau tidak berkata sesuatu, padahal ALLAH mengetahui kebalikannya dari hatimu.Ketiga, perhatikanlah hatimu agar engkau tidak ada kedengkian dan dendam terhadap seorang muslim.Keempat perhatikanlah hawa nafsumu agar sedikit pun tidak berhasrat pada keburukan.
Jika keempat perkara ini tidak ada dalam dirimu, maka taburkanlah debu di atas ke-palamu, karena engkau benar-benar celaka.
Sumber Kedamaian
Abu Umar Basyir dalam tulisannya “Suci Hati Bersama Nabi SAW” melantunkan rangkaian kata indah penuh makna yang dalam tentang hati. Ia berujar : ” Hati adalah sumber kedamaian. Hati adalah nikmat ilahi yang harus dirawat tak ubahnya bayi dalam buaian. Hati adalah karunia yang harus kita pupuk menjadi sejumput bibit kemenangan.
Hati adalah anugerah. Gunjingan, hasad, dendam, kebencian dan permusu-han, seluruhnya adalah sampah. Hati nan jernih adalah hati yang teduh dan pasrah, hati yang selalu basah oleh dzikir dan kalimat-kalimat pengagungan nan indah.
Hati adalah matahari kehidupan. Mungkin bukan sekedar lentera yang hanya menerangi ruang terbatas, bukan sekedar lilin yang menebar cahaya sementara, untuk kemudian cahaya itu padam tak berbekas.
”Hati adalah ibarat cermin, setitik embun pun bisa membuatnya kusam, apalagi debu, kotoran dan air bernoda hitam. Namun cermin yang jernih, tak hanya berfungsi untuk mengenali diri sendiri, namun juga untuk menampakkan wajah sejati. hati ini tak ubahnya istana halimun; sebuah keindahan yang tak tampak, sebuah keagungan yang tak terlihat, namun bisa dirasakan. Akan tetapi bila hati sudah ternoda dosa, gelembung pahitnyua tercicipi setiap kalangan, ibarat santapan di sebuah pesta hidangan, “ kata Abu Umar Basyir
Namun lanjutnya, hati bukanlah Tuhan. Tapi juga jangan membiarkan hati menjadi sarang-sarang setan. Namun mengabaikan kata hati adalah awal sebuah kesesatan. Hati bukan juga gudang kebenaran. Hati hanya persinggahan petunjuk yang dipahami melalui ajaran Al-Qur’an. Menuhankan hati adalah kenistaan, namun menutup hati berarti pintu kesombongan.
Mendoakan Anak Didik
Guru jangan sampai lupa pada tanggung jawab. Tidak hanya mengajari, mendidik, guru pun harus selalu membimbing anak-anak didiknya, bukan semata ketika di sekolah, bahkan ketika anak-anak didik telah kembali ke rumahnya masing-masing pun peran guru tak terhenti karena jarak. Jangan kita selalu berpikir, bahwa hanya tugas seorang murid yang patut selalu mendoakan
“Betapa pentingnya seorang guru mendoakan anak-muridnya setiap hari. Doa agar mereka mudah menerima ilmu yang disampaikan maupun doa agar Allah menerangkan hati mereka. Dan doa juga agar Allah memberi kekuatan untuk kita dalam menjalankan tugas sebagai pendidik.” ujar seorang guru.
Seorang pendidik harus mampu membim-bing peserta didiknya agar mampu mencapai kompetensi dasar yang menjadi tujuan pembelajaran. Ia jangan putus asa untuk terus mendidik. Guru harus menghindarkan kata-kata memaksa anak untuk secepatnya menguasai materi. Penting pula menciptakan suasana yang menyenangkan dalam pembelajaran di dalam maupun di luar kelas.
Adalah penting dimensi rohani dalam se-tiap aktivitas, termasuk di dalamnya proses pembelajaran. Kita sering lupa bahwa di balik skill mengajar yang kita kuasai, dahsyatnya metode pengajaran, dan aspek lahiriah lainnya yang kita pergunakan, ada hal lain yang sangat menentukan keberhasilan proses pembelajaran, yaitu campur tangan Allah. Dan itu hanya bisa didekati dengan doa.
Banyak guru yang merasa bahwa ia sudah mengeluarkan kemampuan maksimalnya dalam mengajar, tapi ternyata banyak pula siswa yang tidak bisa mencerna pelajaran yang ia sampaikan. Celakanya, yang sering menjadi sasaran tembak dari ketidakberhasilannya adalah siswa. Gangguan konsentrasi lah, malas lah, ketidakmampuan belajar lah, dan berbagai predikat negatif lainnya.
Padahal mestinya sebelum mengkambinghitamkan siswa, alangkah bijaksananya kalau ia mengintrospeksi diri sendiri. Betulkah ia sudah maksimal dalam mengajar? Apakah ia mengajar dengan ikhlas? Dan yang paling penting adalah apakah ia sering berdoa untuk keberhasilan anak didiknya dalam proses pembelajaran.
Penguatan dimensi rohani dalam aspek pembelajaran bukan berarti guru tidak punya kewajiban untuk meningkatkan komptensi mengajarnya sehingga tidak menjadi kreatif. Tapi alangkah baiknya apabila usaha maksimal yang kita lakukan dalam proses pembelajaran diimbangi dengan doa terbaik kita untuk kebaikan dan keberhasilan anak didik kita. Tidak hanya ketika menjelang ujian akhir saja, tapi di setiap doa yang kita panjatkan. Bukankah Allah telah berfirman, "Berdoalah kamu kepadaKu niscaya Aku perkenankan doa permohonan kamu." (QS: AlMukmin:60).
(agus ponda/ dari berbagai sumber/ganesha)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar