...................................
Untuk buah hatinya nyaman dan terjamin mendapatkan pendudikan berkualitas, akhir-akhir ini sebagian masyarakat mulai sadar soal mutu sebuah lembaga pendidikan. Tak aneh menjelang tahun ajaran baru, para orangtua terlebih dulu berani menyurvei berbagai sekolah untuk mengetahui fasilitas dan keunggulan yang ditawarkan.
Soal profil sekolah, terutama di tingkat SD, SLTP dan SLTA, masih sedikit sekolah yang berani mempublikasikan secara berimbang kondisi terakhir sekolah. Biasanya kalaupun ada publikasi ke masyarakat, yangmenonjol adalah soal kelebihan fasilitas, sementara kekurangan sisi lainnya tak pernah diketahui masyarakat.
“Untuk mendapatkan informasi detai sebuah sekolah memang sulit. Jujur saja, selama ini, publikasi mengenai sekolah yang bermutu di Indonesia memang jarang. Bahkan bisa dikatakan sama sekali tidak pernah dilakukan baik oleh instansi swasta, lembaga swadaya masyarakat, maupun oleh Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) sendiri. Dengan demikian, referensi masyarakat tentang kualitas sekolah-sekolah di Indonesia begitu minim. “ ujar HJ Sriyanto, seorang pengamat pendidikan di Yogyakarta.
Fenomena yang ada kini banyak sekali label-label sekolah, seperti SSN, SSI, SBI, sekolah plus, sekolah model, SBL dan lain sebagainya yang masih membingungkan masyarakat karena tak tahu apa arti di balik label-label tersebut dan apa yang membedakan sekolah dengan label yang satu dengan sekolah label yang lain.
Lanjut, Sriyanto, Pemerintah sebenarnya sejak tahun 2005 telah mengeluarkan peraturan pemerintah (PP) tentang standar nasional pendidikan yang bisa menjadi acuan untuk menilai kualitas sebuah sekolah. Berdasarkan PP Nomor 19 Tahun 2005 misalnya, ada delapan standar yang mesti dipenuhi dalam penyelenggaraan sekolah, yaitu standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan.
Semestinya dengan acuan standar itu pemerintah bisa membuat penilaian terha-dap kualitas sekolah-sekolah dan mengu-mumkan ke masyarakat sehingga publik dengan mudah bisa menentukan sekolah yang dikehendaki. Selain itu, peta mutu pendidikan Tanah Air akan semakin jelas dan dengan demikian dapat diambil kebija-kan-kebijakan strategis untuk peningkatan mutu pendidikan,” kata Sriyanto.
Berkualitas Pasti Beda Biaya?
Saat ini masyarakat lebih banyak yang kenal ‘nama sebuah sekolah’, daripada kualitas sebenarnya dari sebuah sekolah. Mereka mulai terbuka bertanya sana-sini tentang sebuah sekolah, namun karena tak punya barometer penilaian yang pasti, mereka sebenarnya tidak banyak yang tahu pasti sekolah- sekolah mana saja yang telah memenuhi standar berdasarkan PP No 19/2005 tersebut. Bisa diprediksikan sekolah-sekolah yang memenuhi standar tersebut biasanya biayanya akan mahal. Ini karena, di negara ini, sekolah yang berkualitas telanjur identik dengan sekolah mahal. Namun, apakah sekolah yang bermutu selalu harus mahal? Masih adakah sekolah yang bermutu tapi tidak mahal?
Mungkin akan sulit mencari sekolah yang bermutu dengan biaya murah. Akan tetapi, dengan campur tangan, perhatian, dan dukungan berbagai pihak, bukan hal yang mustahil mewujudkan sekolah ber-mutu dengan biaya yang terjangkau. Sebagai inspirasi, ada banyak sekolah hebat yang terlahir dari keprihatinan atas situasi semacam itu. Sekolah yang dipra-karsai orang-orang yang memiliki kecintaan dan perhatian yang besar terhadap dunia pendidikan. Sriyanto mencontohkan, di Yogyakarta ada SD Mangunan yang digagas almarhum Romo Mangun, di Salatiga Bahrudin dengan Sekolah Alternatif Qaryah Thayyibahnya.Sekolaah tersebut terbukti berkualitas, namun justru tidak dengan biaya mahal.
Kata ‘Gratis’ Korbankan ‘Kualitas’
Faktanya sekarang, yang menonjol adalah label sekolah gratis, bukan sekolah berkualitas. Ini tak lepas dari slogan yang terlanjur dilontarkan, yang konon tak jelas apakah dari pemerintah atau para politisi?
Para politisi dan para calon bupati/walikota dan bahkan calon gubernur kebanyakan telanjur menggunakan istilah pendidikan gratis ketika berkampanye untuk menduduki posisinya masing-masing. Pendidikan gratislah yang paling menjadi terkenal beberapa tahun terakhir ini. Dan lima tahun terakhir ini pendidikan gratis banyak dikumandangkan untuk berkampanye para politisi, bupati/walikota dan bahkan gubernur dalam rangka merebut simpati para pemilihnya.
Faktanya tak sedikit para bupati/walikota atau gubernur yang tidak menepati janji kampanyenya. Isu pendidikan gratis justru hanya membelenggu sekolah sebagai akibat minimnya pendanaan operasional di sekolah pada jenjang pendidikan dasar dan menengah yang menjadi sasaran wajib belajar. Mereka, para bupati/walikota dan gubernur yang masuk golongan ini hanya mengandalkan besarnya subsidi dari pemerintah pusat yang sebenarnya sejak awal didesain hanya untuk membantu pemerintah daerah.
Sekali lagi dana dari pemerintah pusat itu hanyalah bantuan. Karena hanya bantuan, maka namanya pun juga menjadi: Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Besaran BOS sebenarnya selama ini hanya cukup untuk menutup biaya operasional sekolah sebesar sepertiga saja. Kecuali, di sekolah dasar di desa-desa, memang BOS sudah bisa menutup semua biaya operasional sekolah. Namun, untuk sekolah yang berada di kota tidak cukup BOS untuk menutup semua biaya operasional sekolah.
Plt Dirjen Pendidikan Dasar Kemdiknas, Prof. Dr. Suyanto, PhD, mengatakan kelompok Pemda yang hanya mengandalkan BOS dari pemerintah pusat untuk menepati janji akan melaksanakan pendidikan dasar gratis inilah yang menjadi persoalan. Sekolah sudah telanjur tidak boleh memungut sumbangan dari masyarakat, sedang pemda sendiri tidak mengalokasikan sejumlah dana untuk membiayai biaya operasional sekolah berdampingan dengan BOS dari pemerintah pusat. “Akibatnya kualitaslah yang menjadi korban di sekolah-sekolah yang diklaim pemda harus gratis itu.” Ujar Suyanto.
Kalau sudah begini lalu bagaimana baik-nya masyarakat memilih sebuah sekolah un-tuk kelangsungan pendidikan anak-anaknya?
Mungkin ketika waktu sudah mepet, tak ada salahnya masyarakat memperhatikan beberapa faktor dari sebuah sekolah. Secara umum sekolah yang berkualitas adalah sekolah yang memiliki visi dan misi yang jelas serta memiliki manajemen yang baik. Sekolah berkualitas yang mampu menghadirkan suasana yang menyenangkan bagi para peserta didiknya, sehingga proses belajar mengajar dapat berjalan secara efektif dan efisien.
Bagaimana mendapatkan informasi ter-sebut? Di samping melalui informasi di mas-yarakat, mereka bisa mengakses melalui media informasi seperti internet, brosur-brosur, surat kabar, tabloid atau majalah, televisi, radio atau media-media lain yang ada. Kita dapat mengkaji, menganalisa, menimbang, memilih dan kemudian memutuskan memilih sebuah sekolah, jangan fokus hanya pada selogfan sekolah gratis, tapi sekolah berkuaitas.
(ganesha)
Untuk buah hatinya nyaman dan terjamin mendapatkan pendudikan berkualitas, akhir-akhir ini sebagian masyarakat mulai sadar soal mutu sebuah lembaga pendidikan. Tak aneh menjelang tahun ajaran baru, para orangtua terlebih dulu berani menyurvei berbagai sekolah untuk mengetahui fasilitas dan keunggulan yang ditawarkan.
Soal profil sekolah, terutama di tingkat SD, SLTP dan SLTA, masih sedikit sekolah yang berani mempublikasikan secara berimbang kondisi terakhir sekolah. Biasanya kalaupun ada publikasi ke masyarakat, yangmenonjol adalah soal kelebihan fasilitas, sementara kekurangan sisi lainnya tak pernah diketahui masyarakat.
“Untuk mendapatkan informasi detai sebuah sekolah memang sulit. Jujur saja, selama ini, publikasi mengenai sekolah yang bermutu di Indonesia memang jarang. Bahkan bisa dikatakan sama sekali tidak pernah dilakukan baik oleh instansi swasta, lembaga swadaya masyarakat, maupun oleh Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) sendiri. Dengan demikian, referensi masyarakat tentang kualitas sekolah-sekolah di Indonesia begitu minim. “ ujar HJ Sriyanto, seorang pengamat pendidikan di Yogyakarta.
Fenomena yang ada kini banyak sekali label-label sekolah, seperti SSN, SSI, SBI, sekolah plus, sekolah model, SBL dan lain sebagainya yang masih membingungkan masyarakat karena tak tahu apa arti di balik label-label tersebut dan apa yang membedakan sekolah dengan label yang satu dengan sekolah label yang lain.
Lanjut, Sriyanto, Pemerintah sebenarnya sejak tahun 2005 telah mengeluarkan peraturan pemerintah (PP) tentang standar nasional pendidikan yang bisa menjadi acuan untuk menilai kualitas sebuah sekolah. Berdasarkan PP Nomor 19 Tahun 2005 misalnya, ada delapan standar yang mesti dipenuhi dalam penyelenggaraan sekolah, yaitu standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan.
Semestinya dengan acuan standar itu pemerintah bisa membuat penilaian terha-dap kualitas sekolah-sekolah dan mengu-mumkan ke masyarakat sehingga publik dengan mudah bisa menentukan sekolah yang dikehendaki. Selain itu, peta mutu pendidikan Tanah Air akan semakin jelas dan dengan demikian dapat diambil kebija-kan-kebijakan strategis untuk peningkatan mutu pendidikan,” kata Sriyanto.
Berkualitas Pasti Beda Biaya?
Saat ini masyarakat lebih banyak yang kenal ‘nama sebuah sekolah’, daripada kualitas sebenarnya dari sebuah sekolah. Mereka mulai terbuka bertanya sana-sini tentang sebuah sekolah, namun karena tak punya barometer penilaian yang pasti, mereka sebenarnya tidak banyak yang tahu pasti sekolah- sekolah mana saja yang telah memenuhi standar berdasarkan PP No 19/2005 tersebut. Bisa diprediksikan sekolah-sekolah yang memenuhi standar tersebut biasanya biayanya akan mahal. Ini karena, di negara ini, sekolah yang berkualitas telanjur identik dengan sekolah mahal. Namun, apakah sekolah yang bermutu selalu harus mahal? Masih adakah sekolah yang bermutu tapi tidak mahal?
Mungkin akan sulit mencari sekolah yang bermutu dengan biaya murah. Akan tetapi, dengan campur tangan, perhatian, dan dukungan berbagai pihak, bukan hal yang mustahil mewujudkan sekolah ber-mutu dengan biaya yang terjangkau. Sebagai inspirasi, ada banyak sekolah hebat yang terlahir dari keprihatinan atas situasi semacam itu. Sekolah yang dipra-karsai orang-orang yang memiliki kecintaan dan perhatian yang besar terhadap dunia pendidikan. Sriyanto mencontohkan, di Yogyakarta ada SD Mangunan yang digagas almarhum Romo Mangun, di Salatiga Bahrudin dengan Sekolah Alternatif Qaryah Thayyibahnya.Sekolaah tersebut terbukti berkualitas, namun justru tidak dengan biaya mahal.
Kata ‘Gratis’ Korbankan ‘Kualitas’
Faktanya sekarang, yang menonjol adalah label sekolah gratis, bukan sekolah berkualitas. Ini tak lepas dari slogan yang terlanjur dilontarkan, yang konon tak jelas apakah dari pemerintah atau para politisi?
Para politisi dan para calon bupati/walikota dan bahkan calon gubernur kebanyakan telanjur menggunakan istilah pendidikan gratis ketika berkampanye untuk menduduki posisinya masing-masing. Pendidikan gratislah yang paling menjadi terkenal beberapa tahun terakhir ini. Dan lima tahun terakhir ini pendidikan gratis banyak dikumandangkan untuk berkampanye para politisi, bupati/walikota dan bahkan gubernur dalam rangka merebut simpati para pemilihnya.
Faktanya tak sedikit para bupati/walikota atau gubernur yang tidak menepati janji kampanyenya. Isu pendidikan gratis justru hanya membelenggu sekolah sebagai akibat minimnya pendanaan operasional di sekolah pada jenjang pendidikan dasar dan menengah yang menjadi sasaran wajib belajar. Mereka, para bupati/walikota dan gubernur yang masuk golongan ini hanya mengandalkan besarnya subsidi dari pemerintah pusat yang sebenarnya sejak awal didesain hanya untuk membantu pemerintah daerah.
Sekali lagi dana dari pemerintah pusat itu hanyalah bantuan. Karena hanya bantuan, maka namanya pun juga menjadi: Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Besaran BOS sebenarnya selama ini hanya cukup untuk menutup biaya operasional sekolah sebesar sepertiga saja. Kecuali, di sekolah dasar di desa-desa, memang BOS sudah bisa menutup semua biaya operasional sekolah. Namun, untuk sekolah yang berada di kota tidak cukup BOS untuk menutup semua biaya operasional sekolah.
Plt Dirjen Pendidikan Dasar Kemdiknas, Prof. Dr. Suyanto, PhD, mengatakan kelompok Pemda yang hanya mengandalkan BOS dari pemerintah pusat untuk menepati janji akan melaksanakan pendidikan dasar gratis inilah yang menjadi persoalan. Sekolah sudah telanjur tidak boleh memungut sumbangan dari masyarakat, sedang pemda sendiri tidak mengalokasikan sejumlah dana untuk membiayai biaya operasional sekolah berdampingan dengan BOS dari pemerintah pusat. “Akibatnya kualitaslah yang menjadi korban di sekolah-sekolah yang diklaim pemda harus gratis itu.” Ujar Suyanto.
Kalau sudah begini lalu bagaimana baik-nya masyarakat memilih sebuah sekolah un-tuk kelangsungan pendidikan anak-anaknya?
Mungkin ketika waktu sudah mepet, tak ada salahnya masyarakat memperhatikan beberapa faktor dari sebuah sekolah. Secara umum sekolah yang berkualitas adalah sekolah yang memiliki visi dan misi yang jelas serta memiliki manajemen yang baik. Sekolah berkualitas yang mampu menghadirkan suasana yang menyenangkan bagi para peserta didiknya, sehingga proses belajar mengajar dapat berjalan secara efektif dan efisien.
Bagaimana mendapatkan informasi ter-sebut? Di samping melalui informasi di mas-yarakat, mereka bisa mengakses melalui media informasi seperti internet, brosur-brosur, surat kabar, tabloid atau majalah, televisi, radio atau media-media lain yang ada. Kita dapat mengkaji, menganalisa, menimbang, memilih dan kemudian memutuskan memilih sebuah sekolah, jangan fokus hanya pada selogfan sekolah gratis, tapi sekolah berkuaitas.
(ganesha)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar