Bulan Ramadhan akhirnya berlalu. Kita memuncaki perjalanan spiritual satu bulan penuh dengan perayaan Idul Fitri, yang dalam tradisi kita disebut Lebaran.
Namun, kita perlu sadar, hakikat Idul Fitri tidak terletak pada momentum perayaan yang sering jus-tru berbau konsumtif, tetapi pada ke-sadaran kembali pada fitrah yang suci. Sebab, manusia selalumemiliki kecen-derungan pada kebaikan dan kebenaran dengan fitrahawalnya yang bersifat alami. Sebaliknya, kejahatan pada dasarnya berten-tangan dengan fitrah manusia sehingga tidak alami.
Saling Memaafkan
Apakah kembali pada kesucian disimbolkan adanya maaf dari Allah? Ternyata perlu disempur-nakan dengan maaf dari manusia pula.Dalam Islam ada yang disebut hak Allah (haqqullah) dan hak manusia (haqqul adami). Dosa kepada Allah menimbulkan hak bagi Allah untuk menuntut penebusan dari manusia.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita tidak luput dari perbuatan salah kepada sesama manusia. Maka, ungkapan “mohon maaf lahir dan batin” merupakan bentuk pelak-sanaan hak manusia. Di situlah kaitan antara ungkapan minalaidin alfaizin yang berdimensi vertikal dan ungkapan mohon maaf lahir dan batin yang berdimensi horizontal.
Ajaran Islam melalui nash maupun institusi ibadah amat menekankan sikap saling memaafkan. Dari sinilah kehidupan kemasya-rakatan yangsehat bisa dimulai. Jika rasa saling curiga dan semangat balas dendam telah tumbuh, suatu pertanda ma-syarakat itu sedang sakit. Proses penyembuhannya harus dilakukan dengan cara damai melalui sikap saling memaafkan. Dengan cara itu, manusia saling mengenal kultur kehidupan tiap individu atau kelompok untuk dicarikan penye-lesaian terbaik.
Rasanya, tidak ada konflik yang tidak dapat diselesaikan dengan ketulusan untuk saling memaafkan. Penyelesaian boleh secanggih apa pun, tetapi hakikatnya kembali pada individu maupun kelompok untuk saling memaafkan.
Prinsip saling memaafkan adalah nilai-nilai moral agama yang cinta kedamaian dan kehar-monisan hidup. Bahkan dalam sejarah ke-hidupan Nabi Muhammad sering digambarkan, betapa pun sering diperlakukan zalim, beliau tetap memaafkan kezaliman pelakunya. Salah satu sikap yang mengesankan banyak orientalis adalah saat terjadi fathu makkah (pembebasan kota Mekkah) dan nabi mendapat kemenangan. Di sanalah beliau menunjukkan teladan puncak akhlak kaum Muslim (matsal al-a’la) dengan memaafkan kezaliman kaum Quraisy Mekkah yang selama bertahun-tahun hidup di Mekkah dulu, hidupnya diboikot dan pengikutnya dia-niaya, malah ada yang dibunuh. Namun, beliau tidak dendam dan mengembangkan permusuhan. Saat kemenangan di tangan beliau, kesempatan itu tidak digunakan untuk meng-hukum musuhnya, apalagi sebagai ajang balas dendam.
Agama selalu mengingatkan, pada sesuatu yang kita benci mungkin menyimpan potensi yang bisa disenangi, dan pada sesuatu yang kita senangi siapa tahu justru menyimpan potensi yang bisa kita benci.
Maka, segala yang terben-tang secara menjengkelkan maupun menyenangkan selalu mengandung hikmah di belakangnya.
Mudik, wujud kembali ke fitri sebenarnya lambang-lam-bang kecenderungan manusia untuk kembali kepada kefitriannya tidaklah sulit ditemukan dalam aktivitas di hari Idul Fitri. Kita me-lihat setiap Idul Fitri orang selalu menyempatkan diri pulang kam-pung. Mereka rela berjejal-jejal di kereta atau bus, saling sikut, saling dorong, meski dengan bekal uang sekadarnya. Bahkan, banyak yang harus menginap di terminal atau stasiun kereta karena tidak men-dapat tempat. Besoknya berjuang lagi untuk mendapat tiket pulang. Semua itu dilakukan untuk suatu tujuan yang disebut mudik Lebaran. Bukankah mudik itu sebenarnya “kem-bali ke asal, kembali ke fitrah” dalam aktualisasi antropologis?
Apa yang akan dilakukan di kampung halaman bukan pamer keberhasilan hidup di perantauan. Tak jarang di antara mereka hidup di rantau dengan amat sengsara. Dengan mudah kita bisa menebak rata-rata penghasilan para pendatang yang me-ngadu nasib di Jakarta atau di kawasan Jabotabek sebagai pekerja pabrik atau pedagang sektor informal. Itu pun kalau mereka belum kena PHK akibat pabriknya digulung krisis.
Jadi, tujuan mudik sama sekali jauh dari kepentingan material. Sebaliknya, tujuan mu-dik didorong kecenderungan spiritual, yakni hasrat untuk kembali kepada orang-orang dekat seperti orangtua, saudara, kerabat, dan handai tolan untuk meminta maaf, mem-bersihkan diri dari dosa yang pernah diperbuat.
Jika ritus mudik ini dibawa ke dalam logika agama, dengan asumsiadanya dorongan spi-ritual, tidaklah keliru pendapat yang me-ngatakan mudik Lebaran merupakan pelak-sanaan perintah ajaran agama, yaitu men-jadikan Idul Fitri sebagai sarana untuk bersi-laturahmi dan bermaaf-maafan setelah men-jalani pertobatan di bulan suci Ramadhan. Lalu,disempurnakan dengan melaksanakan kewajiban zakat fitrah, yaitu proses penyu-cian diri dengan memberikan makanan pokok atau uang kepada mereka yang berhak, terutama kaum miskin, agar mereka juga dapat merasakan kebahagiaan di hari yang fitri.
Kesucian lahir dan batin menjadi motivasi untuk memberikan kesadaran guna melaksanakan keberpihakan kepada orang-orang yang lemah. Kesadaran demikian akan menghantarkan kita menjadi manusia yang utuh,yang diresapi dan disemangati untuk selalu berjiwa besar dengan saling memaafkan serta kepedulian terhadap kemanusiaan.
Puasa yang telah dilaksanakan akan mem-beri dampak revolusioner bagi pembersihan dan pengembangan kedirian menuju kepa-ripurnaan sebagai khalifatullah.
Ramadhan hadir tiap tahun dan sungguh merugi jika kita hanya menjadikannya ru-tinitas, tanpa ada ikhtiar untuk terus mem-perbaiki diri. Perintah agama bukanlah “pe-pesan kosong”, tetapi senantiasa menyim-pan kekuatan mendidik dan melatih manusia secara konstruktif.
Bangsa kita yang tengah diterpa berbagai musibah dan krisis saat ini membutuhkan pri-badi-pribadi yang bersih, peduli, dan terce-rahkan untuk turut serta dalam pembangunan menuju keadilan yang menjadi dambaan selama ini.
Lebaran tiba, sentuh hati dengan kata “Maaf”. Selamat Idul Fitri, mohon maaf lahir dan batin. (SAS)
Namun, kita perlu sadar, hakikat Idul Fitri tidak terletak pada momentum perayaan yang sering jus-tru berbau konsumtif, tetapi pada ke-sadaran kembali pada fitrah yang suci. Sebab, manusia selalumemiliki kecen-derungan pada kebaikan dan kebenaran dengan fitrahawalnya yang bersifat alami. Sebaliknya, kejahatan pada dasarnya berten-tangan dengan fitrah manusia sehingga tidak alami.
Saling Memaafkan
Apakah kembali pada kesucian disimbolkan adanya maaf dari Allah? Ternyata perlu disempur-nakan dengan maaf dari manusia pula.Dalam Islam ada yang disebut hak Allah (haqqullah) dan hak manusia (haqqul adami). Dosa kepada Allah menimbulkan hak bagi Allah untuk menuntut penebusan dari manusia.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita tidak luput dari perbuatan salah kepada sesama manusia. Maka, ungkapan “mohon maaf lahir dan batin” merupakan bentuk pelak-sanaan hak manusia. Di situlah kaitan antara ungkapan minalaidin alfaizin yang berdimensi vertikal dan ungkapan mohon maaf lahir dan batin yang berdimensi horizontal.
Ajaran Islam melalui nash maupun institusi ibadah amat menekankan sikap saling memaafkan. Dari sinilah kehidupan kemasya-rakatan yangsehat bisa dimulai. Jika rasa saling curiga dan semangat balas dendam telah tumbuh, suatu pertanda ma-syarakat itu sedang sakit. Proses penyembuhannya harus dilakukan dengan cara damai melalui sikap saling memaafkan. Dengan cara itu, manusia saling mengenal kultur kehidupan tiap individu atau kelompok untuk dicarikan penye-lesaian terbaik.
Rasanya, tidak ada konflik yang tidak dapat diselesaikan dengan ketulusan untuk saling memaafkan. Penyelesaian boleh secanggih apa pun, tetapi hakikatnya kembali pada individu maupun kelompok untuk saling memaafkan.
Prinsip saling memaafkan adalah nilai-nilai moral agama yang cinta kedamaian dan kehar-monisan hidup. Bahkan dalam sejarah ke-hidupan Nabi Muhammad sering digambarkan, betapa pun sering diperlakukan zalim, beliau tetap memaafkan kezaliman pelakunya. Salah satu sikap yang mengesankan banyak orientalis adalah saat terjadi fathu makkah (pembebasan kota Mekkah) dan nabi mendapat kemenangan. Di sanalah beliau menunjukkan teladan puncak akhlak kaum Muslim (matsal al-a’la) dengan memaafkan kezaliman kaum Quraisy Mekkah yang selama bertahun-tahun hidup di Mekkah dulu, hidupnya diboikot dan pengikutnya dia-niaya, malah ada yang dibunuh. Namun, beliau tidak dendam dan mengembangkan permusuhan. Saat kemenangan di tangan beliau, kesempatan itu tidak digunakan untuk meng-hukum musuhnya, apalagi sebagai ajang balas dendam.
Agama selalu mengingatkan, pada sesuatu yang kita benci mungkin menyimpan potensi yang bisa disenangi, dan pada sesuatu yang kita senangi siapa tahu justru menyimpan potensi yang bisa kita benci.
Maka, segala yang terben-tang secara menjengkelkan maupun menyenangkan selalu mengandung hikmah di belakangnya.
Mudik, wujud kembali ke fitri sebenarnya lambang-lam-bang kecenderungan manusia untuk kembali kepada kefitriannya tidaklah sulit ditemukan dalam aktivitas di hari Idul Fitri. Kita me-lihat setiap Idul Fitri orang selalu menyempatkan diri pulang kam-pung. Mereka rela berjejal-jejal di kereta atau bus, saling sikut, saling dorong, meski dengan bekal uang sekadarnya. Bahkan, banyak yang harus menginap di terminal atau stasiun kereta karena tidak men-dapat tempat. Besoknya berjuang lagi untuk mendapat tiket pulang. Semua itu dilakukan untuk suatu tujuan yang disebut mudik Lebaran. Bukankah mudik itu sebenarnya “kem-bali ke asal, kembali ke fitrah” dalam aktualisasi antropologis?
Apa yang akan dilakukan di kampung halaman bukan pamer keberhasilan hidup di perantauan. Tak jarang di antara mereka hidup di rantau dengan amat sengsara. Dengan mudah kita bisa menebak rata-rata penghasilan para pendatang yang me-ngadu nasib di Jakarta atau di kawasan Jabotabek sebagai pekerja pabrik atau pedagang sektor informal. Itu pun kalau mereka belum kena PHK akibat pabriknya digulung krisis.
Jadi, tujuan mudik sama sekali jauh dari kepentingan material. Sebaliknya, tujuan mu-dik didorong kecenderungan spiritual, yakni hasrat untuk kembali kepada orang-orang dekat seperti orangtua, saudara, kerabat, dan handai tolan untuk meminta maaf, mem-bersihkan diri dari dosa yang pernah diperbuat.
Jika ritus mudik ini dibawa ke dalam logika agama, dengan asumsiadanya dorongan spi-ritual, tidaklah keliru pendapat yang me-ngatakan mudik Lebaran merupakan pelak-sanaan perintah ajaran agama, yaitu men-jadikan Idul Fitri sebagai sarana untuk bersi-laturahmi dan bermaaf-maafan setelah men-jalani pertobatan di bulan suci Ramadhan. Lalu,disempurnakan dengan melaksanakan kewajiban zakat fitrah, yaitu proses penyu-cian diri dengan memberikan makanan pokok atau uang kepada mereka yang berhak, terutama kaum miskin, agar mereka juga dapat merasakan kebahagiaan di hari yang fitri.
Kesucian lahir dan batin menjadi motivasi untuk memberikan kesadaran guna melaksanakan keberpihakan kepada orang-orang yang lemah. Kesadaran demikian akan menghantarkan kita menjadi manusia yang utuh,yang diresapi dan disemangati untuk selalu berjiwa besar dengan saling memaafkan serta kepedulian terhadap kemanusiaan.
Puasa yang telah dilaksanakan akan mem-beri dampak revolusioner bagi pembersihan dan pengembangan kedirian menuju kepa-ripurnaan sebagai khalifatullah.
Ramadhan hadir tiap tahun dan sungguh merugi jika kita hanya menjadikannya ru-tinitas, tanpa ada ikhtiar untuk terus mem-perbaiki diri. Perintah agama bukanlah “pe-pesan kosong”, tetapi senantiasa menyim-pan kekuatan mendidik dan melatih manusia secara konstruktif.
Bangsa kita yang tengah diterpa berbagai musibah dan krisis saat ini membutuhkan pri-badi-pribadi yang bersih, peduli, dan terce-rahkan untuk turut serta dalam pembangunan menuju keadilan yang menjadi dambaan selama ini.
Lebaran tiba, sentuh hati dengan kata “Maaf”. Selamat Idul Fitri, mohon maaf lahir dan batin. (SAS)