Senin, 10 September 2012

Jangan Percaya Isu Menyesatkan

UKG Direncanakan Mulai 30 Juli (?)

Mendekati pelaksanaan Uji Kompetensi Guru (UKG) yang akan dijalankan pada akhir bulan ini, mulai muncul berita-berita menyesatkan di kalangan guru. Berita sesat ini diantaranya dihembuskan oknum tidak bertanggung jawab di dinas pendidikan kabupaten atau kota. Para guru diminta fokus menyiapkan diri menghadapi ujian.
..................................................

Kabar mulai munculnya berita bohong atau sesat ini tercium oleh Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). "Kami prihatin dengan kasus ini. Guru kok terus-terusan jadi korban kejahatan," ujar Ketua Umum PB PGRI Sulistyo di Jakarta kemarin (8/7).
Sulistyo menjelaskan, kabar menyesatkan ini muncul dalam beberapa jenis. Diantara yang paling dominan adalah, oknum dinas pendidikan mengatakan jika UKG ini bisa berdam-pak pada jabatan guru. Menurut Sulistyo, oknum tadi menye-barkan informasi sesat yang menyebutkan bahwa jika tidak lulus UKG guru bersangkutan akan dicopot dari posisi guru dan dijadikan pegawai TU (tata usaha).
"Kabar ini tentu sangat menyesatkan. Kasihan para guru," kata dia. Sulistyo meluruskan jika UKG ini tidak ada kaitannya dengan posisi guru. Selain itu, UKG juga tidak dikaitkan dengan pengucuran tunjangan profesi pendidik (TPP). Jadi jika ada guru yang tidak lulus UKG, dia akan tetap menjadi guru dan juga tetap menerima TPP bagi guru yang bersertifikat.
Sulistyo menduga ada motif uang dengan tersebarnya kabar menyesatkan ini. Dengan adanya kabar tersebut, para guru tentu gelisah dan gundah. Selanjutnya, oknum dinas pendidikan ini lantas mengkoordinir guru-guru yang gelisah tadi untuk membentuk semacam penataran bertarif tinggi. Nah, dari proyek penataran inilah oknum dinas pendidikan itu mengumpulkan uang dari para guru.
Selain itu, tujuan menyebarkan kabar sesat ini memang sengaja untuk membuat iklim pendidikan di daerah gaduh. Dengan demikian, guru tidak bisa mengajar dengan tenang.
Apapun tujuannya, Sulistyo mengatakan jika penyebaran berita sesat ini merupakan perbuatan tercela. Selain itu juga bisa masuk kategori penipuan. "Sebab sudah jelas dari Kemendikbud tujuannya hanya untuk pemetaan," katanya.
Sulistyo meminta para guru untuk menghiraukan berita sesat tersebut Sebaliknya, para guru diminta untuk fokus menghadapi UKG. Sulistyo meminta guru tidak perlu takut untuk menghadapi ujian ini. Dia berharap, para guru bisa menjawab soal ujian secara jujur sehingga hasil UKG bisa objektif.
Jika hasil UKG bisa objektif, bisa menjadi semacam dasar kebijakan untuk Kemendikbud mengeluarkan program-program peningkatan kemampuan guru. "Peningkatan kemampuan guru ini sejalan dengan misi PGRI. Jadi kami dukung ujian ini," kata dia.

Prihatin
Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Wamendikbud) Bidang Kebudayaan, Musliar Kasim, prihatin mendegar munculnya berita sesat di kalangan guru tersebut. Dia mengatakan, prilaku menyebarkan berita sesat itu sudah menjurus pada penghasutan. "Guru saya kira sudah bijak. Jangan percaya atau termakan hasutan itu," tandasnya.
Dia meminta guru harus terus berkoordinasi dengan LPMP (Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan) di setiap provinsi. Selain itu, guru juga harus meminta informasi yang akurat dari pegawai dinas pendidikan yang sudah dipercaya.
Musliar lantas meluruskan kebijakan soal UKG tersebut. Dia mengatakan, ujian yang akan digelar pada 30 Juli itu khusus untuk guru bersertifikat. Dia menegaskan ujian ini tidak ada kaitannya dengan posisi guru maupun pengucuran TPP. Dia mengatakan, guru yang tidak lulus UKG tetap menjadi guru. Hanya saja setelah UKG guru yang tidak lulus ini akan mengikuti semacam pendidikan dan pelatihan.
"Profesi guru juga perlu recharging, jangan leha-leha. Seperti dengan profesi dokter atau lainnya," kata dia. Musliar tidak ingin guru yang sudah menerima sertifikasi harus secara berkala dikontrol kompetensi mengajarnya. Dengan pendapatan yang meningkat tajam, Musliar meminta guru bijak dalam membelanjakan gajinya. Diantaranya dengan menyisihkan untuk mengikuti seminar-seminar peningkatan kompetensi.
(jps/agus ponda/gns)

Tentang Pemetaan dan Redistribusi Guru PNS, Disdik Hati-hati…

Dinas Pendidikan Kabupaten Ciamis begitu berhati-hati dalam hal pemetaan, pemerataan, dan redistribusi guru PNS di lingkup Disdik. Meski dasar hukumnya sudah jelas,  pemetaan, pemerataan dan redistribusi guru tidak serta merta dilaksanakan. Bila salah langkah, bukan tak mungkin berbagai persoalan menghadang.
……………………………………………..

Berbagai tahapan telah dilakukan Disdik, baik secara parsial oleh Subag Kepegawaian dan Umum maupun secara general dan terintegrasi melalui koordinasi dan pengklarifikasian berbagai data yang dijaring lewat Tim Penataan sesuai Keputusan Bupati Ciamis. Mulai dari tahap sosialisasi internal lingkup Disdik bersama para kepala sekolah maupun koordinasi dengan BKDD dilakukan sejak November 2011. Dilanjutkan dengan pembuatan dan penyampaian rancangan pendistribusian guru pada bulan Februari 2012, dan penetapan distribusi guru pada bulan Juni 2012.
Mengingat pemetaan, pemerataan, dan redistribusi guru PNS tersebut merupakan hal yang dipandang sangat krusial dan menyangkut nasib para guru, maka Disdik di penghujung waktu penetapan melalui Surat No. 800/2372-Disdik/2012 yang ditandatangani Kadisdik masih mengundang 79 kepala SMP, SMA, dan SMK yang sesuai data bahwa sekolah-sekolah kelebihan atau kekurangan guru untuk melakukan rembuk, klarifikasi data, dan asistensi menjelang penetapan yang bertempat di Aula Disdik Ciamis, Jum’at (29/6).
Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Ciamis, H. Akasah, mewanti-wanti para kepala sekolah agar permasalahan pemetaan, pemerataan, dan redistribusi guru PNS benar-benar disosialisasikan, dikaji, dan dilaksanakan sesuai aturan dan criteria yang telah ditetapkan yakni Perbup No. 8 Tahun 2012 agar apa yang dikerjakan tidak menjadi permasalahan setelah ditetapkan. H. Akasah pun menegaskan bahwa kriteria pemetaan tersebut dalam implementasinya harus merujuk pada Penilaian Kinerja Guru dengan tidak dicampuradukan dengan kepentingan lain.
“Pemetaan guru dilakukan untuk menata dan menertibkan guru sesui dengan topoksinya. Untuk menguatkan atas apa yang dikerjakan, maka saya bersama rekan-rekan stap Disdik, Tim Pemetaan, juga para kepala sekolah harus mampu meyakinkan semua pihak dengan landasan kerja profesional dan data yang benar. Jangan sampai asal-asalan atau asal buat sebab ini menyangkut tanggung jawab bersama!” Imbuh H. Akasah.
Hal senada disampaikan Sekretaris Disdik, H. Tatang, S.Ag.,M.Pd. bahwa pemetaan guru merupakan tuntutan aturan yang mau tidak mau harus dilaksanakan. Agar dalam pelaksanaannya berjalan lancar dan di akhirnya pun tidak timbul masalah, maka hal terpenting adalah pemahaman dan penggunaan kriteria yang harus benar, tegas, dan jelas sehingga bisa dimengerti semua pihak. H. Tatang pun mengingatkan serta mengajak semua pihak terkait agar terus berkoordinasi dan dipertanggungjawabkan bersama agar tak terjadi saling melempar tanggung jawab jika terjadi sesuatu sebagai dampak pemetaan itu.
Begitu pula Kabid Dikdas, Adang Sudrajat Kostaram,Drs.,M.Si. dan Kabid Dikmen, H. Taufik Hidayat, Drs.,M.M. mengimbau agar para kepala sekolah dan seluruh pihak terkait termasuk Tim Pemetaan untuk bekerja lebih cerdas, teliti, dan profesional. Harapan yang ingin dicapai bisa optimal menurut keduanya harus pula ditunjang oleh adanya koordinasi dengan masing-masing kepala bidang agar beroleh solusi yang lebih baik.

Data Masih Bisa Fluktuatif
Banyak hal yang dipertanyakan dan didiskusikan dalam rembuk dan pembahasan informasi serta data pemetaan termasuk ada beberapa keluhan juga sumbang saran dari para kepala sekolah terkait kondisi riil di sekolah-sekolah yang datanya fluktuatif. Hal-hal yang menyebabkan fluktuasi data itu di antaranya dengan adanya regulasi perubahan jumlah siswa, perhitungan kurikulum, sekolah terbuka, dan sekolah swasta yang juga harus diperhatikan.
Atas dasar dan alasan-alasan tersebut Kepala Dinas Pendidikan, H. Akasah, akan mencoba meminta waktu untuk menambah keterangan tambahan sebagai pertimbangan pemetaan hingga akhir PPDB atau PSB dilaporkan. Melalui cara dan langkah tersebut menurut H. Akasah akan lebih menguatkan validitas akurasi data lapangan yang benar-benar telah sesuai dengan tuntutan fluktuatif perubahan jumlah siswa atau rombel dan kualifikasi guru mismatch yang regulasinya begitu cepat pula apalagi di akhir menjelang awal tahun pelajaran.
Akhirnya, H. Akasah mengajak seluruh elemen pendidik dan tenaga kependidikan yang berada di lingkup Disdik bersinergi dalam berbagai hal termasuk dalam mendorong suksesnya dan terlaksananya pemetaan, pemerataan, dan redistriubusi guru PNS agar berbagai persoalan kependidikan bisa terselesaikan diawali oleh tertibnya guru dalam melaksanakan tugas sesuai tupoksi yang telah ditetapkan.
“Asal diniati tulus ikhlas dan dipandang sebagai keperluan atau kepentingan bersama, maka rencana dan implementasi pemetaan, pemerataan, dan redistribusi guru PNS di lingkup Disdik Ciamis optimis lancar dan Insya Allah berhasil sesuai dengan harapan. Kita sadari bersama bahwa hal itu dilakukan demi kemaslahatan bersama, khususnya dalam menjawab keniscayaan atas keraguan dan kecemburuan terhadap tunjangan profesi dari sertifikasi guru yang kerap menjadi sorotan bisa dipertanggungjawabkan,” pungkas H. Akasah.***
(Ayu Berliani/agus ponda/Ganesha)

Minggu, 09 September 2012

Wajib, Guru Bersertifikat Diuji Lagi

Tunjangan Profesi Bakal Terancam (?)

Seolah tak ada habisnya, guru terus berhadapan dengan kata “Uji”.  Setelah guru mengikuti Uji Kompetensi Awal agar bisa mengikuti PLPG, kini justru giliran guru yang telah lulus sertifikasi harus diuji lagi.
……………………………

Nampaknya sudah menjadi ‘suratan takdir’, guru di Indonesia harus berkali-kali melakukan ujian. Bak kendaraan bermotor, harus uji kelayakan, guru pun kini nampaknya harus ‘sering-sering’ di cek-up.  Tak terkecuali untuk guru yang sudah mendapat sertifikat profesional, uji kompetensi wajib hukumnya.
Meski banyak yang kontra, Pemerintah keukeuh akan menguji kembali guru-guru bersertifikat. Baik guru yang baru lulus maupun guru yang sudah beberapa tahun menikmati tunjangan sertifikasi.
Mendikbud Muhammad Nuh, me-ngatakan pemerintah segera akan me-nguji sekitar 1,2 juta guru bersertifikat. Mereka adalah yang lulus sertifikasi dalam periode 2007-2011 lewat penilaian portofolio serta pendidikan dan pelatihan profesi guru (PLPG). Rencanana uji kompetensi ulang ini akan dimulai pada bulan Juli 2012. 
“Memang ada penolakan, termasuk dari PGRI NTB, tapi uji kompetensi ulang akan tetap dilaksanakan. Yang menolak itu karena belum tahu saja. Mau dilakukan penilaian tapi tak mau, kompetensi itu karena ada sesuatu yang dinilai,”  kilah M.Nuh usai pembukaan Festival dan Lomba Seni Siswa Nasional (FLS2N) di Mataram, NTB, Senin lalu.
Nuh memang tak menutup mata. Sejumlah organisasi guru bahkan mengancam akan menolak dan menyerukan boikot pada rencana pemerintah untuk menguji ulang para guru yang telah tersertifikasi. Hal itu dinyatakan langsung oleh Presidium FSGI, Guntur Ismail, di Jakarta.
“Kami menolak dan serius akan melakukan boikot pada pelaksanaan ujian ulang itu,” kata Guntur.
Ia menjelaskan, ancaman itu langsung datang dari FSGI, Federasi Guru Independen Indonesia (FGII), Forum Musyawarah Guru Jakarta (FMGJ), dan Forum Aksi Guru Indonesia (FAGI). Alasan untuk melakukan boikot adalah karena keputusan uji ulang tersebut dinilai melanggar asas umum pemerintahan yang baik, yakni asas motivasi dan kepastian hukum.
“Pemerintah tidak percaya dengan data, instrumen, dan perangkat uji kompetensi yang mereka buat sendiri, yang mereka laksanakan sendiri dan sekarang mereka ragukan sendiri,” ujar Guntur.
Namun Nuh tetap berkeyakinan, uji ulang kompetensi guru itu mutlak dilakukan guna mengukur kinerja para guru yang telah dinyatakan lulus uji kompetensi.
“Maksudnya untuk mengukur, apakah seorang guru yang sudah bersertifikasi ada peningkatan kualitas atau tidak. Harus ada ukuran kinerja atas sertifikat itu, sehingga dilakukan pengukuran kinerja,” ujarnya.
Tuntutan dan Desakan
Kemendikbud memang bukan tanpa sebab akan menguji ulang guru bersertifi-kat. Selama ini santer banyak pihak mengaku tidak puas dengan kinerja guru bersertifikat. Alih-alih lulus sertifikasi, dikatagorikan professional, ternyata  masih banyak guru bersertifikat yang tidak mengalami perubahan dalam kualitas kerjanya di  sekolah maupun di luar lingkungan sekolah. Padahal mereka telah mendapat pendidikan dan latihan serta uji kompetensi. Mereka juga sudah menikmati tunjangan profesi yang berakibat naiknya pendapatan bulanan sebesar 100%.
Kritikan, sindiran serta temuan ilmiah menunjukkan guru bersertifikat tidak dibarengi dengan peningkatan profesonalismenya dalam tugas dan kewajibannya sehari-hari. Sebelum dan setelah bersertifikat, cara mengajar tak berubah, kedisiplinan dan ketaatan pada waktu dan tugas tergolong  rendah.  Signifikansi antara pelatihan, pendidikan, tunjangan dan penghargaan yang mereka terima dengan  peningkatan kinerja seolah tidak ada. Padahal uang  negara yang digelontorkan untuk membayar guru bersertifikat bukan jumlah yang kecil. Dan itu tidak dilakukan untuk PNS di intansi lainnya.Tak ada jalan lain, Kemendikbud menjawab tuntutan itu dengan tes ulang guru bersertifikat. Mungkin dengan cara ini, ‘ketukan-ketukan keras’ ke pintu Kemendikbud akan terhenti.

DPR Mendukung
Agenda Kemendikbud menguji ulang guru bersertifikat, mendapat dukungan kalangan wakil rakyat di Senayan. Ini memang sesuai pula dengan kerasnya suara anggota DPR yang selama ini menyoal kinerja guru bersertifikasi. Apa yang diaspirasikannya dituruti Kemendikbud.
Anggota Komisi Pendidikan DPR, Raihan Iskandar beralasan, banyak guru yang telah tersertifikasi justru kurang maksimal dalam mengajar.
“Selain untuk mengetahui ada atau tidaknya peningkatan guru pascas ertifikasi, adanya uji ulang ini juga untuk membangun kesadaran guru agar selalu meningkatkan diri,” ujar Raihan.

Tak ada Hubungan Finansial
Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidik dan Peningkatan Mutu Pendidikan, Kemendikbud Syawal Gultom  mengatakan bahwa pelaksanaan uji kompetensi guru bersertifikat ini untuk dasar pembinaan dan penilaian kinerja, tanpa ada konsekuensinya dengan pembayaran tunjangan profesi pendidik yang sudah mereka terima.
Inilah sebenarnya yang jadi kekhawatiran guru selama ini. Mereka takut jika ‘gagal’ dalam uji ulang, tunjangan profesi akan terhenti.
“Penolakan para guru karena belum paham. Tidak ada kaitannya dengan risiko finansial seperti penghentian tunja-ngan pendidikan profesi. Untuk melaku-kan itu, perlu dicari payung hukumnya,” kata Syawal Gultom, di Jakarta.
Menurut Syawal, guru-guru yang menolak uji kompetensi bagi guru bersertifikat, berarti menolak penilaian kinerja yang mulai diberlakukan tahun 2013. Hasil uji kompetensi guru, termasuk guru bersertifikat, sebagai awal untuk penilaian kinerja dan pembinaan guru yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan setiap guru.
Syawal mengatakan, meskipun guru sudah dinyatakan profesional, kompe-tensinya tetap perlu diuji dalam waktu tertentu. Uji kompetensi bagi guru yang akan ikut sertifikasi dan yang sudah bersertifikat dilakukan untuk kepenting-an pembinaan guru yang lebih baik.
Kata Syawal, uji kompetensi guru bersertifikat akan dilaksanakan secara online serentak di seluruh Indonesia. Para guru yang tidak memenuhi standar minimum akan dibina dan dilatih pada tahun 2013 dengan sistem online.
Sebagai perbandingan, pada uji kom-petensi awal (UKA) bagi calon guru yang akan disertifikasi, didapati kompetensi guru secara nasional rendah, yakni 42,25. Di jenjang TK, kompetensi guru 58,87, SD (36,86), SMP (45,15), SMA (51,35), SMK (49,07), dan pengawas (32,58).
Lalu bagaimana nanti hasil Uji Ulang Guru bersertifkat? Jangan- jangan,… jangan-jangan? Atau malah lebih baik? Kita tunggu saja hasilnya.
(agus ponda/ganesha)

Ini Dia 20 Kebiasaan Guru yang Membahayakan

Banyak faktor yang menentukan keberhasilan pendidikan di sekolah. Banyak variabel, mengapa sebuah sekolah mampu melahirkan siswa yang berprestasi atau sebaliknya tak mampu mengantarkan para siswanya berprestasi.
................................................................
Ya, faktor guru sangat dominan adanya. Peran guru sangat penting  terhadap baik buruknya mutu pendidikan. Ada ungkapan “guru kencing berdiri murid kencing berlari,” rasanya ini masih belum usang. Guru berkualitas cenderung dapat melahirkan siswa yang berkualitas pula (berprestasi). Guru yang berkinerja rendah, maka akan melahirkan peserta didik yang biasa-biasa saja bahkan tak tanpa prestasi yang bisa dibanggakan.
Bila sampai sangat ini mutu pendidikan di Indonesia dinilai oleh berbagai pihak masih relatif rendah, maka perlu diakui salah satu penyebab utamanya adalah kualitas kompetensi guru relatif rendah, di samping faktor-faktor lain yang menjadi penyebabnya. Misalnya, sarana prasarana pendidikan yang kurang refresentatif, manajemen pendidikan yang masih carut marut.
Mengapa masih banyak guru yang belum profesional alias tidak berkualitas? Berdasarkan hasil riset dan survey berbagai pihak ditemukan beberapa penyakit yang bersarang pada diri guru sehingga guru tersebut tidak profesional dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya. Ada beberapa kebiasaan  berbahaya yang mengancam kualitas guru dalam melaksanakan tugas sehingga berdampak negatif terhadap upaya peningkatan mutu pendidikan, diantaranya :
1. ASMA (Asal masuk kelas). Ketika guru masuk ke kelas tanpa disertai persiapan dan perencanaan matang secara tertulis dan sistematis.
2.ASAM URAT (Asal Sampai Materi Urutan tidak Akurat). Cara menyajikan materi pelajaran masih konvensional, sering memakai metode CBSA (Cul Budak Sina Anteng), metode tugas mencatat paling sering dilakukan. Kadang-kadang batas materi pelajaran yang disampaikan gurupun tidak tahu.
3.BATUK (Baca Ngantuk). Umumnya guru malas membaca, sekali-kali membaca kantuk datang menggoda akhirnya membaca tak tahan lama. Karena jarang membaca ilmunya tidak bertambah, wawasannya tidak luas. Materi pelajaran yang diberikan kepada siswa tidak mengikuti perubahan dan perkembangan ilmu pengetahuan. Jadilah guru yang jumud, kaku bahkan ortodok.
4. DIABETES (Dihadapan Anak Bekerja Tidak Series)
5. DIARE (Di kelas Anak diRemehkan). Potensi, bakat dan minat anak kurang diperhatikan, sehingga proses belajar mengajar monoton, tidak menumbuh kembangkan potensi anak didik tapi justru sering membunuh potensi, bakat dan minat anak didik.
6. GATAL (Gaji Tambah Aktifitas Lesu). Gaji ingin terus bertambah, tapi melaksanakan tugas kewajiban tidak mau berubah. Mengikuti sertifikasi sangat ambisi padahal kurang memiliki kompetensi tujuan utamanya ingin berpenghasilan tinggi mendapat gaji tunjangan profesi.
7. GINJAL (Gaji Nihil Jarang Aktif dan Lambat). Gaji minus tiap bulan karena habis oleh kredit bank akhirnya hilanglah gairah bekerja, pudar semangat mengajar.
8. HIPERTENSI (Hilang Perhatian Terhadap Nasib Siswa). Prestasi siswa tidak diperhatikan, mau pintar atau bodoh masa bodo, tidak ada upaya pengayaan bagi siswa berprestasi dan tidak ada upaya perbaikan atau remedial kepada siswa yang masih kurang berprestasi.
9.KANKER (Kantong Kering). Gaji satu bulan habis satu minggu, karena besar pasak daripada tiang, tinggi kemauan rendah kemampuan. Penghasilan tidak memenuhi kebutuhan, akibatnya hilanglah semangat melaksanakan tugas, malas masuk kelas, sering mangkir tidak hadir.
10. KUDIS (Kurang Disiplin) melaksanakan tugas asal-asalan tidak tepat waktu, tidak akurat rencana dan program.
11. KURAP (Kurang Rapih). Penampilan pisik (performan) acak-acakan, persiapan administrasi KBM asal-asalan.
12. KUSTA (Kurang Strategi). Tampil mengajar dihadapan siswa hanya menggunakan metode ceramah sehingga membosankan, tidak menggunakan berbagai metoda mengajar sehingga tidak membangkitkan semangat belajar siswa.
13. MUAL (Mutu Amat Lemah) masih banyak guru yang belum memiliki kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial dan kompetensi profesional yang ideal. Kurang menguasai materi pelajaran dan metoda pembelajaran.
14. LESU (Lemah Sumber). Buku sumber pelajaran hanya mengandalkan buku paket, tidak memiliki buku referensi yang vareatif dan representatif sehingga wawasannya sempit.
15. LIPER (Lekas Ingin Pergi). Tidak betah berada di sekolah, tidak antusias masuk ke kelas bahkan sebaliknya ingin segera pulang untuk mencari penghasilan tambahan. Kadang-kadang usaha sampingan diutamakan tugas utama mengajar dilupakan.
16. PROSTAT (Program dan Strategi tidak dicatat). Ketika KBM tidak disertai Silabus dan RPP, tanpa dilengkapi program dan strategi mengajar yang ditulis sistematis.
17. REMATIK (Rendah Motivasi Anak Tidak Simpatik). Tidak semangat ketika mengajar dihadapan anak didik, performan tidak menarik  sehingga anak didik tidak simpatik bahkan sebaliknya antipati akhirnya melemahkan bahkan menghilangkan gairah belajar. Tampil mengajar tidak menyenangkan siswa.
18. STRUK (Suka Terlambat Untuk masuk Kelas)
19. T B C (Tidak Bisa Computer) alias gaptek (gagap teknologi), tidak ada usaha untuk meng-up grade kompetensi diri, sehingga penguasaan teknologi informasi dan komunikasi kalah oleh siswa.
20. TIPUS (Tidak Punya Selera). Ketika melaksanakan kegiatan belajar mengajar dihadapan siswa tidak semangat, kurang gairah.

Waspada
Waspadalah jenis-jenis kebiasaan di atas jangan sampai terus dilakukan para guru. Apabila macam-macam jenis kebiasaan kronis tersebut di atas bersemayam dalam sikap mental dan psikologis guru sehingga mengalami komplikasi akut, maka sangat membahayakan terhadap kualitas pendidikan siswa. Jenis-jenis kebiasaan  mental di atas termasuk penyakit menular yang dapat melumpuhkan bahkan membunuh potensi yang dimiliki siswa. Dampak negatifnya potensi yang dimiliki siswa bukan meningkat menjadi kompetensi tapi justru membuat siswa impotensi, kurang berprestasi.
Sebelum berbagai kebiasaan di atas semakin mewabah dan merambah pada jiwa setiap guru, maka perlu segera melakukan tindakan antisipatif dan preventif dengan meminum obat mujarab yaitu “IMTAK” dan “IPTEK” (meningkatkan kualitas keimanan dan merealisasikan ketakwaan serta menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi).
Seberapapun besar dana yang disediakan untuk memperbaiki dan meningkatkan mutu pendidikan bila tidak ditunjang oleh mutu pendidik karena sudah terjangkit kebiasaan negatif seperti di atas, yakinlah prestasi siswa sulit bangkit.
Be Good A Teacher or Never ( lebih baik tidak jadi guru daripada jadi guru tidak baik. Ok!?
(diadopsi dari tulisan Dedi Suherman, Guru SDN 1 Jati  Bandung Barat)