Kamis, 12 Juli 2012

Hmm... Para Politikus Mulai Membidik Guru dan Siswa

Menjelang pemilukada, pemilu provinsi, pilpres serta pemilu legislatif, atmosfer dunia pendidikan bakal  tak kalah seru. Jenjang pendidikan SMA, SMK, MA dan perguruan tinggi, menjadi target untuk mendulang suara dari pemilih pemula. Di sejumlah daerah, naluri politik para politikus negeri ini agaknya telah mulai mencium kalau dunia pendidikan bisa menjadi basis yang strategis untuk menaikkan pamor politik. Tak heran jika para caleg dan calon kepala daerah berupaya meraih simpati terutama dari kalangan guru.
……………………………….
Dalam tiga bulan terakhir  ini di Ciamis Jawa Barat misalnya, poster-poster gambar calon legislative dan calon pemimpin daerah bertebaran di sepanjang  jalan utama, bahkan masuk hingga ke jalan-jalan di desa. Mulai dari gambar politikus tenar  nasional, provinsi, local hingga politikus yang belum terlalu dikenal masyarakat.
Di daerah lain juga demikian. Bahkan di hampir semua wilayah negeri ini. Konon di tahun 2012 ini saja  setidaknya ada  73 daerah yang telah dan akan menggelar pemilukada, 11 daerah diantaranya daerah yang menurut jadwal menggelar pemilukada 2011. Namun ditunda pada tahun 2012 ini .
Daerah terdekat  dengan Tatar Galuh, Kota Tasikmalaya, konon hanya sekitar sebulan lagi akan menggelar pilkada. Direncanakan pada tanggal 9 Juli 2012 mereka akan memilih walikota dan wakil walikota. Kabupaten Ciamis sendiri baru akan melaksanakan pilkada pada tahun  2013. Jadwal lainnya pilkada Jawa Barat yang juga akan berlangsung pada tahun 2013. Saking mepetnya jadwal  pilkada provinsi dan sejumlah  kabupaten, bukan tidak mungkin  ada  pilkada gabungan seperti terjadi di tahun 2008 lalu. Saat itu KPU Jabar mengadakan pilkada gabungan ini karena selisih akhir masa jabatan antara Gubernur Jabar dengan Bupati Sumedang kurang dari 30 hari. Selisih itu dihitung dari masa akhir jabatan Gubernur Jabar, 13 Juni 2008 dengan masa akhir jabatan Bupati Sumedang, 5 Juli 2008. Waktu pencoblosan pilkada gabungan ini adalah 13 April 2008.

Pendidikan Politik  bagi Guru
Sejumlah acara pun digelar mulai dari berbalut seminar, pengenalan tokoh, silaturahmi, ceramah/kuliah umum, bakti social, bantuan pendidikan dan lainnya. Tujuannya tiada bukan; menarik simpati  dan suara untuk sebuah kemenangan.
Apa pun wujudnya, baik secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi, kampanye politik merupakan bentuk propaganda yang telah mengarah pada politik praktis. Meski sebenarnya sudah ada larangan berkampanye di lembaga pendidikan sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008, mereka tetap melakukannya meski dengan cara sembunyi-sembunyi atau terang-terangan.
Pertanyaannya menghadapi hiruk pikuk pilkada, pilgub dan pemilu nasional, perlukah guru berpolitik?
Mas’udi, S.Pd., seorang guru di SMP 2 Neuheun Masjid Raya, Banda Aceh mengatakan, sebenarnya siapapun orangnya, perlu mengetahui politik. Sebab, dalam kegiatan pemenuhan kebutuhan hidup, selalu ada keputusan yang harus dibuat  atau ambil dengan pihak lain, baik secara individual, lebih-lebih secara kelompok.
“Ini adalah politik. Politik dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang atau kelompok untuk mempengaruhi dan mengendalikan pihak lain melalui pendekatan-pendekatan yang ditempuh agar mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Itu menurut saya,” ujarnya.
Apa yang dikatakan Mas’udi masuk akal dan akan selalu actual. Faktanya guru, sebagai individu dan kelompok profesi, selama ini banyak yang kurang memahami akan arti dan manfaat politik. Padahal secara kuantitas, jumlah pegawai negeri yang paling banyak di Indonesia berasal dari unsur pendidik (guru). Tapi jumlah guru yang sebanyak itu tidak memiliki kekuatan yang diperhitungkan oleh pihak lain, kecuali menjadi kekuatan pendulang suara di pilkada,  pilgub atau pemilu nasional.
Seharusnya disamping punya kekuatan untuk menghasilkan suara, juga punya  kekuatan atau pengaruh besar dalam  mempengaruhi kebijakan pemerintah, legislative dan kehidupan berbangsa serta bernegara.
“Akibatnya, jangannya ikut memberikan kekuatan besar untuk masalah kebangsaan, masalah guru sendiri terkadang tidak bisa diperjuangkannya.” Ujar  Mas’udi.
Memang pada akhirnya tak mengherankan, lemahnya pengaruh guru secara politis, berakibat rentannya guru dalam berbagai masalah. seperti tindakan kekerasan dan pelecehan banyak menimpa kehidupan guru, pemotongan rapel guru oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab. Tertundanya pembayaran gaji guru terpencil atau kontrak, penghapusan insentif bagi guru-guru yang mendapatkan tugas tertentu di sekolah (wakil kepala sekolah, wali kelas, pengelola pustaka dan sebagainya). Dan yang lebih tragis lagi adalah pemukulan terhadap guru.
“Bahkan ada wali murid yang memperkarakan guru hanya karena masalah sepele saja seperti keterlanjuran memukul murid yang tidak membahayakan. Dalam hal ini perlu dipahami bukan berarti guru tidak pernah salah, sebab kredibilitas dan kompetensi guru juga berbeda-beda.” Kata Mas’udi.

Peran Organisasi Guru
Jika kita bertanya mengapa guru tidak memiliki sesuatu kekuatan dan pengaruh besar dalam perpolitikan di Indonesia? Kuncinya sejauh mana induk organisasi guru (seperti PGRI, misalnya) yang ada sekarang ini mampu menciptakan para anggota dan pengurusnya untuk melek politik.
Pertama, organisasi PGRI harus selalu aktif  dan bukan diurus oleh non guru, mulai dari tingkat nasional sampai ke daerah. Dengan diurus oleh guru, maka PGRI akan bisa mengaspirasikan kepentingan-kepentingan guru yang sering sering terabaikan dan tidak terwakili suaranya dalam pengambilan keputusan-keputusan penting dari birokrasi pemerintahan dan lembaga legislatif.
Sebenarnya, guru perlu terlibat dalam pencaturan politik, baik di tingkat lokal, maupun nasional secara organisatoris. Keterlibatan guru dalam politik, bukanlah dalam politik praktis untuk kepentingan sesaat, melainkan suatu pandangan yang lebih berwawasan dalam memperbaiki masalah bangsa sebab guru dipandang lebih bermoral dan berpotensi dalam merubah suatu paradigma yang tidak relevan dengan kepribadian bangsa. Oleh karena itu guru harus menjadi subjek politik.
Banyak hal yang bisa dilakukan guru untuk bisa secara aktif terjun ke politik. Guru bisa menempuh beberapa cara antara lain, pertama melalui reorganisasi kepengurusan PGRI mulai dari tingkat nasional sampai tingkat daerah. Lalu, menyusun program kerja yang lebih baik. Sebab kemandulan organisasi PGRI yang terjadi sekarang ini karena kepengurusannya bukan dari kalangan pendidik. Sehingga kepentingan guru sering terabaikan dan tidak terwakili suaranya dalam pengambilan keputusan-keputsan penting dari birokrasi pemerintahan dan lembaga legislatif.  Kedua, organisasi PGRI yang sudah diakui eksistensinya secara nasional dapat mengusulkan diri untuk duduk dalam komisi pendidikan dalam lembaga legislatif sehingga dalam menetapkan suatu keputusan benar-benar menyentuh kepentingan guru dan pendidikan. Seperti penetapan anggaran pendidikan dan penggunaannya.
Ketiga, dalam memilih dan menetapkan pejabat pada lembaga atau instansi pendidikan harus melibatkan organisasi guru untuk mencegah selera penguasa. Jadi pengangkatan pejabat pada lembaga pendidikan seperti kepala dinas sampai kepala sekolah itu betul-betul yang mempunyai potensi untuk memajukan pendidikan dan memperhatikan kesejahteraan guru. Untuk itu perlu melibatkan guru didalamnya secara perwakilan. Sebab Pemda juga mempunyai unsur politis didalamnya dalam menyetujui seorang calon pejabat yang diangkatnya.
Selain itu untuk menambahkan semangat berpolitik di kalangan guru diperlukan cendikiawan yang mampu memobilitasi, mensosialisasikan makna dan manfaat serta pentingnya politik bagi guru yang dimulai dari bawah (button-up) dengan memanfaatkan momentum guru nasional.
Untuk mencapai masa depan yang lebih bermartabat tidaklah mungkin dengan mengharap sepenuhnya pada pihak lain. Sebab tidak berubahnya nasib suatu kaum, jika kaum itu tidak berusaha merubahnya. Jadi masa depan guru ada di tangan guru. Seiring berjalannya waktu dan kehiduoan bernegara, nantinya bukan tidak mungkin guru dapat berpolitik, karena guru memiliki potensi yang sangat besar, baik dari jumlahnya maupun pengetahuannya.

Pilihan Hati Nurani
Menyikapi kian dekatnya pesta demokrasi rakyat, guru harus lebih hati- hati dan cerdas menentukan pilihan hatinya, baik dalam pemilu legislatif maupun pemilu memilih kepala daerah/kepala negara. Guru memilih karena punya hak suara sebagai warga negara.
Banyak pihak yang mewanti-wanti agar guru plus anak didiknya tidak terjebak dalam kepentingan politik sesaat di daerahnya. Kenyataannya memang ada yang begitu namun sebagian lagi tidak mau lagi terjebak dalam kegiatan politik praktis.
Harus diingat bahwa, seorang pemimpin bukan tak mungkin mempertahankan kekuasaan dengan menggiring semua komponen termasuk para guru yang ujungnya merugikan anak didik. Padahal dalam UU guru  tidak boleh berpolitik praktis dan tidak boleh meninggalkan tugas serta fungsi pokoknya.
Guru mestinya berani menolak, atau sebaliknya harus berani menerima risiko jika dilibatkan ‘secara paksa’ oleh penguasa dalam kegiatan politik praktis. Tapi hal itu jarang terjadi karena banyak juga yang nasibnya berubah setelah jadi tim sukses calon kepala daerah yang akhirnya menang dan jabatannya langsung naik.
Akan tetapi seiring dengan perjuangan yang telah dicapai guru sendiri melalui PGRI dan wakil rakyat, guru  bakal lebih pintar memposisikan dirinya dalam hiruk pikuk  politik  daerah dan nasional. Terwujudnya Undang-undang Guru dan Dosen dan adanya kebijakan sertifikasi guru serta perbaikan kesejahteraan guru akan membuat guru berpikir rasional dan bukan emosional semata dalam menentukan pilihan hatinya pada pilkada, pilgub, pilpres dan pemilu legislatif.
 Kesejahteraan guru sekarang sudah tambah baik dan kelihatannya guru sudah tidak begitu dipengaruhi oleh kekuatan partai atau perorangan. Walaupun masih ada, tapi tak akan sekuat sebelumnya. Guru bisa ambil posisi, ambil sikap dan ambil pilihan sendiri. Jadi ketika para politikus mulai membidik guru dan anak didiknya, tenang saja kali!
(agus ponda/msdi/nt/ganesha)

Minggu, 08 Juli 2012

Antara “Samen” & Wisuda Sekolah


Acara kenaikan kelas dan perpisahan sekolah makin meninggalkan istilah lama bernama samen. Kini sekolah makin pede dengan istilah “Wisuda Sekolah”. Sudah tepatkan, istilah itu?
......................................................
Dulu, dalam masyarakat Sunda  dikenal istilah samen. Samen bukanlah kata yang asing buat mereka. Samen adalah kata yang menggambarkan ketika seluruh siswa merayakan kenaikan kelas dan merayakan kelulusan setelah mereka belajar selama tiga tahun di SLTP/SLTA atau 6 tahun di SD.
Acara samen biasanya kental dengan tradisi atau seni Sunda. Dalam samen terdapat pementasan kreasi seni siswa dalam rangkaian acara perpisahan dan kenaikan kelas. Intinya hampir seluruh rangkaian acara pementasan bernuansakan etnik Sunda. Kesannya, kental Sunda-nya, tradisional,  bersahaja, namun sakral dan mengesankan.  
Lalu ketika muncul istilah wisuda sekolah, dulu sebagian besar orang tertawa bahkan mencibir melihat anak TK/SD lulus menamatkan kegiatan belajar dengan prosesi wisuda. Demikian juga ketika anak SMP/SMA diwisuda ketika hendak meninggalkan sekolah, rasanya janggal dan tidak pas.
Anak TK diwisuda? Anak SD-SMA diwisuda? Seperti naif, terlalu berlebihan dan mengada-ngada.Belum pantas dan memang tak layak. Begitu kira-kira penilaian orang tentang kemunculan acara wisuda di TK, sekolah dasar, menengah pertama  dan menengah atas.
Sekarang tengoklah, di mana-mana sekolah lebih pede dengan acara wisuda bagi siswanya.  semua siswa kelas 3SLTP/SLTA atau kelas 6  SD berdandan bak seorang sarjana yang baru merampungkan studi S1- S3. Para siswa duduk dalam barisan ‘wisudawan/wisudawati’. Beberapa saat kemudian, satu persatu naik ke panggung dan mereka turun kembali dengan berkalung toga. Kepala sekolah punya kebiasaan baru: mengalungkan toga di atas samir para siswa sebagai tanda lulus, plus ijazah.
Mengapa muncul istilah wisuda sekolah? Apakah wisuda hanya cocok untuk acara pelepasan sarjana di Perguruan Tinggi?

Makna Wisuda
Istilah serupa dengan makna "Wisuda" dalam Bahasa Inggris biasanya yang sering digunakan adalah "Graduation". Ada yang meyakini bahwa kata wisuda berasal dari bahasa Sansekerta yaitu, “wisudda” yang berarti bersih, murni, atau habis sama sekali. Misalnya dalam kitab Ramayana, sebagaimana dikutib oleh P.J. Zoetmulder, ada ungkapan “Wisudha malilang langit” yang kira-kira artinya “langit sedang cerah dan terang benderang”. Agaknya dari kata ini kemudian orang Jawa mengambil bagian suku kata terdepannya saja yaitu “wis” sedang orang Melayu mengambil bagian dua suku kata terakhirnya yaitu “sudda” yang lantas menjadi “sudah”. Kini kita tahu dua kata itu artinya sama yaitu selesai atau berakhir.
Secara  khusus menurut orang Jawa, bahwa kata wisuda berasal dari dua suku kata yaitu ‘wis’ dan ‘sudah’. Kata ‘wis’ merupakan kata  yang berarti ‘sudah’, ‘ya’, ‘baiklah’, dan sebagainya. Kata ‘sudah’ merupakan kata yang berasal dari bahasa Indonesia yang berarti ‘sudah’ itu sendiri. Jadi jika digabung berdasarkan makna masing-masing kata yang telah saya jelaskan diatas, maka kata ‘wisuda’ dapat memiliki definisi ‘ya sudah’ atau ‘sudah’. Namun jika didefinisikan berdasarkan makna yang lebih bebas atau tergantung dengan konteks pemakaiannya, maka dapat berarti ‘ya sudah selesai’. Jadi ketika seorang mahasiswa/mahasiswi yang telah menyelesaikan pendidikannya menjalani wisuda, maka sebenarnya pihak kampus atau universitas hanya bermaksud berkata kepada mereka, ‘ya kalian sudah selesai belajar di sini’. 
Wisuda' dalam bahasa Indonesia biasanya lebih mengacu pada acara kelulusannya (graduation ceremony) daripada kelulusan itu sendiri (graduation).  Istilah wisuda mengandung makna pernyataan simbolik tentang berakhirnya suatu proses pemurnian atau pencerahan. Dengan demikian, mereka yang akan diwisuda ini adalah ibarat berlian yang sudah dimurnikan dari bongkahan batu cadas yang semula tak berharga. Ibarat lempengan besi yang kini menjadi keras dan bertuah, karena sudah ditempa dan diasah. Itulah yang sebenarnya di balik makna wisuda.
Secara harfiah wisuda berarti bersih, cermat dan jernih merupakan penganugerahan gelar akademis kepada mahasiswa yang telah berhasil menyelesaikan studinya dengan baik. Pada upacara wisuda diberikan ijazah atau sertifikat tanda kelulusan. Wisuda pertama kali diselenggarakan oleh  universitas-universitas di Eropa pada Abad Pertengahan. Dalam History Church Scotch karya Spottwold, disebutkan bahwa upacara wisuda (graduation) ini pertama kali diadakan pada tahun 1639.
Dengan demikian memang pada awalnya acara wisuda (graduation), diperuntukan bagi para mahasiswa bukan untuk siswa sekolahan. Wisuda bagi para mahasiswa merupakan prosesi akhir berupa penganugerahan gelar akademik setelah menamatkan studi dengan bobot SKS tertentu, tugas akhir dan sejumlah persyarakat lainnya di pergguran tinggi. 
Di sebagian besar universitas atau perguruan tinggi para wisudawan dan wisudawati mengenakan toga atau jubah, yaitu baju panjang berwarna hitam, lengannya lebar sebagai pakaian jabatan bagi Senat, Hakim Sarjana dipakai pada acara khidmat tertentu. Selain toga, juga mengenakan peci akademik. Sesuai tradisi, toga dan peci, yang bagian atasnya berkuncir berwarna hitam. Warna kuncir menandai gelar yang mereka terima. Para wisudawan dan wisudawati juga mengenakan kerudung di punggung untuk menunjukkan gelar tertinggi yang telah mereka sandang.
Pakaian ini berbentuk jubah dan membutuhkan sebuah kain panjang yang berukuran antara 2 sampai 6 meter. Kain ini dililitkan di tubuh. Toga dipakai oleh pria, sedangkan wanita menggunakan stola. Warga lain dilarang menggunakannya.
Dewasa ini toga hanya dikenakan pada kesempatan-kesempatan resmi dan pada lembaga-lembaga tertentu. Bentuk toga juga berubah menjadi semacama jubah tertutup. 
Di Indonesia sekarang ini, toga digunakan antara lain oleh para rohaniawan Kristen, hakim pada saat persidangan, dan mahasiswa-mahasiswi pada upacara wisuda dan juga para anak RA/TK hingga  SLTA saat acara perpisahna sekolah.

Jangan Berlebihan
Dengan demikian secara bahasa dan harfiah, wisuda sesungguhnya dapat dipakai untuk semua tingkatan pendidikan. Tradisi wisuda untuk prosesi penganugerahan gelar sarjana bagi mahasiswa yang telah selesai menempuh studi si Perguruan Tinggi, kini ditiru sekolah-sekolah, sah-sah saja.
Seorang kepala SMP di Ciamis mengaku mengadakan acara wisuda bagi siswa kelas IX, sebagai bentuk layanan kepada wali murid dan siswa.
“Tak ada maksud lain atau gagah-gagahan. Ini murni sebagai pelayanan terakhir dari kami pada mereka dan juga orangtua siswa.” ujarnya.
Menurutnya acara wisuda sebenarnya tak jauh berbeda dengan acara samen (istilah Sunda) atau perpisahan sekolah. Hanya bentuknya agak mirip wisuda sarjana.
Sedangkan konsekuensi ada penambahan biaya yang harus dikeluarkan secara pribadi oleh orangtua siswa, pihaknya mengaku tidak memaksanya.“Misalnya biaya pakaian, toga atau lainnya, kami tak mewajibkannya. Siswa sudah bisa hadir di acara puncak saja sudah senang.” katanya.
 Wisuda anak sekolah memang bukan wisuda mahasiswa perguruan tinggi. Maka bentuk acara, perak-perniknya sebaiknya jangan berlebihan. Memberi keriangan dan kebahagiaan pada anak didik yang telah selesai menempuh pendidikan selama 3 atau 6 tahun, adalah hal yang positif. Namun jangan sampai semua persembahan luar biasa dan wah itu ditumpahkan berlebihan di  sebuah ‘pesta wisuda sekolah”. 
Anak-anak sekolah harus diyakinkan bahwa nantinya bagi mereka akan ada kenangan terakhir yang paling besar dan lebih bermakna ketika mereka mampu menempuh pendidikan tinggi bernama wisuda sarjana. Kuncinya terus belajar, terus bersekolah di mana pun tempatnya. Jangan sampai kemeriahan wisuda sekolah menjadi yang terakhir bagi mereka karena selanjutnya mereka tak mau melanjutkan sekolah atau kuliah. Jangan sampai mereka berkata: “buat apa kuliah? Sekarang saja saya sudah merasakan bagaimana wisuda itu!”
Tentu kita harus yakinkan mereka bahwa belajar dan menuntut ilmu jangan  terhenti hanya karena mereka sudah merasakan bagaimana wisuda sekolah. Semewah, semegah, semeriah apapun acara wisuda sekolah, itu bukan akhir dari perjuangan menuntut ilmu dan keterampilan untuk bekal hidup mereka.
Nak, selamat bersekolah lagi! 
(agus ponda/ganesha)

Jadwal PLPG Belum Jelas, Para Guru Kian Penasaran


Uji Kompetensi Awal (UKA) guru hasilnya sudah diumumkan beberapa bulan lalu. Kini tiba giliran para guru yang lulus UKA mengikuti Pendidikan dan Pelatihan Profesi Guru (PLPG) tahun 2012.  Benarkah jadwalnya belum jelas?
…………………………….
Sama halnya dengan UKA, PLPG 2012 juga dikomandoi oleh Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Penjaminan Mutu Pendidikan (BPSDMP-PMP) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 
Kepala BPSDMP-PMP kemendikbud Syawal Gultom mengatakan pada pertengahan bulan April lalu pihaknya telah menandatangani kontrak pelaksanaan PLPG dengan seluruh LPTK (Lembaga Pendidikan dan Tenaga Kependidikan). Kontrak ini perlu mengingat LPTK adalah fihak yang terlibat dalam pelaksanaan PLPG.
Setelah kontrak diteken seluruh guru yang lulus UKA 2012 siap untuk dididik dan dilatih, menurut Gultom durasi PLPG ditetapkan 90 Jam dan akan berlangsung dalam sembilan hari dan kegiatan ini tidak dipungut biaya bahkan peserta akan diberikan uang makan. Selain itu akan dipersiapkan tempat penginapan di masing-masing LPTK.
Sesuai dengan hasil UKA yang dilaksanakan akhir Februari lalu jumlah peserta PLPG adalah 249.001 orang. Diakhir masa PLPG akan diadakan Ujian Kompetensi Akhir, bagi peserta yang lulus akan mendapatkan.

Peserta yang Gagal UKA
Bagi peserta yang gagal UKA kemendikbud sudah menyiapkan beberapa langkah, diantaranya bagi peserta yang tidak Lulus UKA akan mengikuti Diklat Khusus. Jika Guru yang tidak Sertifikasi pendidik profesional dan berhak memperoleh tunjangan profesi pendidik (TPP). Bagi yang belum lulus harus mengikuti PLPG susulan.
Jika berhasil lulus Diklat Khusus, maka tahun depan yang bersangkutan tidak perlu ikut UKA lagi dan bisa langsung ikut PLPG periode 2013. Sebaliknya bagi yang tidak lulus diklat khusus tahun depan harus ikut UKA lagi sebagai saringan masuk PLPG.

PLPG Harus Matang
Sebagaimana diketahui, jika dilihat dari kualifikasi pendidikan, mendikbud Muhammad Nuh, mengatakan bahwa  211.858 peserta UKA tempo lalu merupakan lulusan S1, 34.614 peserta lulusan D2, 19.039 orang guru lulusan SMA, dan sisa lainnya lulusan SMP, SMA, D1, D3, S2 dan S3. “Dari ratusan ribu guru yang mengikuti uji kompetensi yang lulusan S3 hanya 9 orang. Tapi mungkin saja jurusan S3 yang diambil bukan jurusan pendidikan,” kata Nuh.
Dengan adanya hasil tersebut, Nuh menyimpulkan bahwa berdasarkan hasil distribusi nilai UKA 2012 perlu dirancang secara khusus untuk pendidikan dan latihan guru dalam rangka sertifikasi serta perencanaan yang matang.
“Yakni, mulai dari metodologi dan materi agar kompetensi guru setelah mengikuti Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG) memperoleh hasil yang signifikan,” tukasnya.

Jadwal Belum Jelas (?)
Sementara itu, di daerah hingga kini para guru masih belum mendapat kejelasan kapan pelaksanaan PLPG dimulai. Berdasarkan pantauan Ganesha, para guru Kabupaten Ciamis akan mengikuti PLPG di beberapa rayon.  Ada yang dekat ada pula yang cukup jauh.
Berdasarkan pengumuman dari BPSDMP-PMP) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui http://sergur.kemdiknas.go.id/, guru TK akan mengikuti PLPG di Rayon 110 UPI Bandung, guru-guru SD  sebagian besar akan mengikuti PLPG di Rayon 111 Universitas Negeri Yogyakarta dan sebagian kecil di Universitas Siliwangi Tasikmalaya.
Untuk guru SMP mereka akan mengikuti PLPG di Unsil Tasikmalaya dan UPI Bandung. Guru SMA di UPI Bandung dan Unsil Tasikmalaya, guru SMK  juga di UPI Bandung dan Unsil Tasikmalaya, sedangkan guru SLB di UPI Bandung. 
Kepala BPSDMP-PMP kemendikbud Syawal Gultom, mengatakan sekitar awal Juni 2012 PLPG dimulai, namun justru sejak pertengahan Mei 2012, sudah ada beberapa Rayon yang memulai PLPG.
Rayon 111 Universitas Negeri Yogyakarta misalnya memulai PLPG gelombang I pada tanggal 19-28 Mei 2012 dan gelombang 2 pada tanggal  30 Mei – 8 Juni 2012. Gelombang 3 direncanakan tanggal 11 – 20 Juni 2012. Gelombang 4 tanggal 22 Juni- 1 Juli, gelombang 5 tanggal 3-12 Juli, gelombang 6 tanggal 14-23 Juli, gelombang 7 tanggal  25 Juli- 3 Agustus dan gelombang 8 tanggal 6-15 agustus 2012.
Jadwal PLPG di rayon 111 UNY gelombang 1-2, pesertanya baru guru-guru di wilayah provinsi Yogyakarta. Meski jadwal tersebut sudah ada, untuk kabupaten Ciamis belum ditentukan akan masuk pada gelombang yang mana. Itu sebabnya banyak guru penasaran. 
Anikah Soraya, · Guru Kelas di SLB Sindangsari misalnya mempertanyakan hadwal pasti kapan guru Ciamis mengikuti PLPG di rayon UNY. Guru lain juga sama.
“Saya mohon dengan sangat, jadwal PLPG untuk Kab. Ciamis segera ditayangkan, biar jelas,” kata guru lainnya, Hamim Mulyana. 
Tbagus SN asal Rancah, juga mempertanyakan jadwal PLPG guru Ciamis. “Kapan ya?” tanyanya.  
Hingga laporan ini diturunkan, dari Rayon UPI Bandung juga belum ada informasi khusus terkait Jadwal PLPG. Untuk Rayon 136 Unsil juga demikian. 
Menanggapi banyaknya pertanyaan jadwal PLPG, Disidik Kabupaten Ciamis, juga belum memberikan keterangan resmi. Kepala Sub Bagian Kepegawaian Dinas Pendidikan Kab Ciamis Drs. U. Sukiman pun mengaku belum menerima jadwal pasti untuk PLPG Kabupaten Ciamis. 
“Kami juga masih menunggu jadwal dari beberapa Perguruan Tinggi, jadi para guru mohon bersabar,” ujarnya.  
(agus ponda/ganesha/dnt)

Ranking di Kelas, Masih Pentingkah?


Dulu nilai raport sangat dinanti banyak siswa. Setiap akhir tahun ajaran, mereka berdebar menunggu pembagian rapor. Di situ akan terpampang, berapa rangking yang diraih seorang siswa. Rangking 1, 2, 9, atau bahkan rangking terbuncit.
...................... 
Bila rangking terbaik diraih, betapa senang seorang siswa. Juga tak kalah senang dan bangga tentu dirasakan setiap orangtua yang anaknya berhasil menduduki rangking I di kelas atau bahkan di sekolahnya.
Itulah bukti hebatnya sang anak menorehkan prestasi belajar. Dan tentunya,’hebatnya’ orangtua membimbing anak pada jalur berprestasi.
Rangking di masa dulu sangat bermakna prestisius. Sebab, contohnya, ketika ada pertemuan keluarga mereka bertanya, “Bagaimana, anaknya Bude, ranking berapa sekarang?”
Kalau anak atau orangtua menjawab: ranking 1! Pasti senyum bangga dan memuji terkembang. Bentuk apresiasi verbal biasanya spontan keluar dengan sendirinya. Kalimat-kalimat seperti “Selamat ya Nak… kamu membuat Ibu bangga….” atau  “Kakak hebattt… kamu mampu memberi contoh adik-adik…” layak diucapkan dan penting. Lalu, kalau menjawab rangking 20, ya, payah deh.
Bagaimana pun dulu satu hal positif yang dapat kita ambil, ternyata ranking yang dulu kita lihat ditulis di depan papan tulis saat pengambilan raport atau diumumkan di pengeras suara saat kenaikan kelas, cukup penting.  Banyak siswa yang  merasa sangat tertantang mengejar nilai bagus, karena melihat namanya belum masuk 5 besar, atau baru bisa di rangking 2-3.
Bagaimana Sekarang?
Ada sebagian siswa bahkan orangtua beranggapan atau berkecenderungan rangking nilai di raport tidak menjadi sangat penting. Siswa cuek, berapapun nilai diraih di rapornya, yang penting naik kelas. Bahkan juga guru pun berpikir demikian (?) Benarkah?
Faktanya, mulai dari SD-SLTA, belakangan dalam rapor rangking tidak lagi dicantumkan.Siswa memang memproleh nilai bukti hasil belajar, tapi mereka tak tahu berada di posisi mana dirinya di sebuah kelas atau sebuah sekolah dalam hal nilai hasil belajar.
Ada beberapa sebab mengapa guru wali kelas kini banyak yang tak lagi mencantunkan rangking di rapor siswa. Ada kemungkinan guru tak sempat merekap nilai siswa sampai pada tahap perangkingan. Maka ketika rapor harus dibagikan, cukup hanya menuliskan deretan angka nilai bidang studi, tak ada rangking.
Di sebagian sekolah rangking atau peringkat nilai tetap menjadi catatan para wali kelas. Ini karena kebanyakan orangtua selalu ingin tahu rangking anaknya. Memang tidak tercantum di rapor, sehingga untuk mengetahui rangking harus menanyakan kepada guru. Ada juga walikelas yang memberikan tulisan rangking di sebalik salinan rapor, agar orangtua tidak perlu repot bertanya.
Namun sebaliknya, ada yang menilai bahwa tidak dicantumkannya rangking dalam raport sebagai sebuah kemajuan. Reasoningnya adalah untuk melahirkan kesadaran bahwa setiap anak itu istimewa. Anak yang pandai berhitung, belum tentu unggul di olahraga. Anak yang mahir di IPA, belum tentu merdu ketika diminta menyanyi di pelajaran seni suara. Walau demikian ada segelintir anak yang dianugerahi dengan multitalenta, maka pantas meraih rangking terbaik di sekolahnya.
Namun kenyataannya, anak-anak yang istimewa secara akademis, sering tidak akan berubah jauh rangkingnya. Artinya rangking 1-5 misalnya takan jauh dari si A, B, C, D, dan E. Siswa yang biasa-biasa, nampak sulit  meraih rangking terbaik. 
Menyadari potensi akkademis anaknya yang tak terlalu istimewa banyak juga orangtua yang tidak ngotot memaksa anaknya agar meraih rangking yang baik. Artinya berapapun rangking diraih, tak jadi masalah.
“Bagi saya sendiri rangking tidak begitu penting. Mengetahui anak sudah paham dengan pelajaran yang diberikan guru, itu sudah cukup. Melihat anak senang pergi ke sekolah, sudah membuat saya lega. Menyaksikan anak gemar membaca untuk membuka jendela dunia, adalah kenikmatan tersendiri. Membuat si kecil merasa aman dan bahagia serta  menikmati dunia dan kodratnya sebagai anak-anak, adalah sudah cukup,” ujar seorang ibu.
Pada akhirnya, rangking menjadi prioritas kesekian-sekian dan bukan yang pertama. Tidak ada target tertentu bahwa anak harus meraih rangking berapa. 

Rangking Tak Selalu Tentukan Masa Depan
Bagi orangtua  atau juga guru yang tidak lagi terlalu mengagungkang rangking di rapor siswa, mereka berpikir bahwa  rangking hanya segelintir urusan yang menyangkut kecerdasan akademik. Di luar itu, ada tugas lain bagi para orangtua dan guru untuk juga memacu urusan lain yang juga diperlukan di masa depan. Kecerdasan emosi, kecerdasan spiritual,  life skills, dan kemampuan bersosialisasi, juga harus diasah sejak kecil,  bila ingin anak kita sukses di kemudian hari.
Sering ada refleksi yang agak lucu ketika reuni sebuah sekolah. Ketika kita  bertemu rekan-rekan SMP atau SMA  belasan atau puluhan tahun lalu. Mereka pasti akan saling bertanya, jadi apa teman-temannya sekarang? 
Anita yang ranking 1 jadi dosen. Rangking 2 jadi karyawan swasta yang biasa-biasa saja. Rangking 3 jadi PNS. Rangking 15 buka toko mainan dan punya usaha provider internet, sudah berhaji.
Anak-anak  pintar lainnya di level setelah ranking I-III: 
-Jadi guru (PNS)
-Jadi bidan (PNS)
-Jadi perwira polisi
-Jadi insinyur pertambangan
-Jadi pegawai Kantor Pajak
-Jadi pengusaha jual-beli emas, punya 3 toko besar di 2 kota.
Tapi  anak-anak yang rangkingnya tidak diketahui karena saking banyaknya, secara duniawi  juga tak kalah sukses:
-Jadi anggota dewan
-Jadi pengusaha jual beli kaca
-Jadi pengusaha toko material bangunan yang sukses,
-Jadi pengusaha besi
-Jadi istri pejabat
-Jadi istri calon bupati
-Menjadi pengusaha catering,
-Jadi ibu rumah tangga, dll.
Artinya, memang tetap ada efek positif pentingnya rangking di sekolah. Siswa yang secara akademis istimewa akan merasa dihargai dan diperhatikan sehingga terus akan menjaga prestasi akademiknya. Maka si rangking satu, Anita, yang pintar pantas meraih gelar Doktor dan kini jadi dosen. 
Tapi juga harus diperhatikan, bahwa sekolah tetap harus secara adil dan bijaksana melayani peserta didik bagaimana pun tingkat akademisnya. Siswa yang secara akdemis tak menonjol harus difasilitasi agar potensi sisi lainnya dapat berkembang dan jadi modal hidupnya di kemudian  hari.
Sekali lagi rangking itu penting. Namun melihat kenyataan di lapangan di kehidupan kita dan orang lain (teman kita),  pada akhirnya kita berkesimpulan, ternyata rangking tidak terlalu menentukan mau jadi apa kita di kemudian hari. Banyak faktor lain yang akan menunjang kesuksesan anak, yang sering dilupakan para orangtua hanya karena sibuk konsentrasi untuk membuat anak meraih rangking yang bagus. 
Tentu belajar harus dilakukan setiap anak sekolah. Namun terus menerus belajar hingga lupa bermain  dan bersosialisasi dengan lingkungannya, hanya akan menciptakan anak yang pandai secara akademis, namun kaku dalam bergaul dan rendah kepeduliannya terhadap lingkungan, serta lemah menghadapi suatu masalah dalam hidupnya.
Ada teman bertanya pada seorang rekan lainnya di Facebook, bagaimana cara mendidik, hingga anak saya bisa rangking I? Rekan kita dengan jujur mengatakan, “Cara mendidiknya biasa saja, belajar seperlunya untuk penguatan kalau ada ujian. Sehari-harinya menikmati waktu di sela sekolah dan istirahat untuk membaca buku cerita, bersepeda dan bermain dengan teman-teman di kampung.”
Menjadi anak yang happy, menikmati kodrat dan dunianya yang alami, adalah keharusan.
Rangking I  atau 2 adalah anugerah. Namun jangan sampai kita terpaku pada sistem ranking. Sistem pendidikan saat ini  yang terfokus pada membuat “ranking” bukanlah hal yang terlalu penting yang harus dicari seorang anak SD hingga SLTA bahkan Perguruan Tinggi. Sebab yang penting adalah bagaimana seorang anak ketika dewasa bisa hidup mandiri, dengan potensi yang ada  pada dirinya, bukan lagi potensi yang ada di nilai raportnya.
(agus ponda/edk/kmps/nt/ganesha)

Sstt...! Saya Akan Lebih Baik dari Guru Lain


Bukan rahasia lagi, di Indonesia, minat baca guru sangat rendah. Padahal aktivitas pokok guru adalah membaca, mencari dan mentransfer ilmu. Kenyataannya setiap hari,  guru sudah merasa cukup dengan membaca satu bab saja materi ajar  saat berada di kelas.  Itu pun harus dilakukan karena di depannya ada para murid. Kalau tidak, ya tidak ‘membaca’ seharian.  Anehkan?
…………………………………………….
Dalam makna enteng,  membaca adalah sebuah kata kerja yang menyatakan keadaan subjek yang sedang merekam data tahap demi tahap, menandai atau mengenali huruf per huruf untuk dirangkai menjadi kata dan selanjutnya menjadi sebuah kalimat. Maka membaca dalam hal ini berarti aktivitas mata, hati dan pikiran ketika ‘memergoki’ sebuah tulisan.Mau tak mau Anda harus memaknai susunan hurup atau kata di depan mata dengan cara mengucapkannya atau cukup di dalam hati.
Namun dalam makna luas membaca salah satunya berarti aktivitas seseorang untuk mencari, menggali, menemukan informasi atau ilmu dari bahan bacaan.
Bagi guru membaca berarti  kegiatan dalam rangka memperoleh informasi, pengetahuan atau kualifikasi tertentu, baik yang berkorelasi langsung dengan materi ajar maupun tidak.Atau bisa juga hanya sebagai compensatory reading, yakni kegiatan membaca untuk kepuasaan pribadi atau dikenal dengan membaca bersifat rekreasi (hiburan). Namun intinya Anda memperoleh informasi, hal-hal baru atau terbarukan, menambah pengetahuan atau petunjuk dari apa yang dibaca.
Dalam hal ini baik dengan tujuan meningkatkan profesionalisme keguruan maupun hanya semata hiburan, minat baca guru sangat rendah. Padahal kata Andrie Wongso, membaca adalah sebuah aktivitas pengembangan diri (self improvement). Dengan membaca apapun jenis bukunya minimal ada satu pelajaran, satu pengetahuan, dan satu solusi atau manfaat di dalamnya 
Jika guru tak mau membaca, atau jauh dari kegiatan membaca, apakah membaca buku, jurnal, membaca media massa cetak (koran, majalah, taboid) atau media online (internet), maka ia sebenarnya ‘tidak mau’ menambah ilmu, pengetahuan, tidak mau mendapat solusi, tak mau mendapat hal-hal yang bermanfaat buat dirinya apalagi buat orang lain (murid misalnya).
Jadi kegiatan membaca sesungguhnya adalah kegiatan yang dikategorikan sebagai kegiatan orang-orang cerdas.Ia tahu dan merasakan manfaat dari kegiatannya, sedangkan mereka yang tak suka membaca, sesungguhnya  itu pilihan yang ‘kurang cerdas.’’ Yang membuatnya juga kurang cerdas mengkaitkan hal yang bersifat teoritis (dari bacaan) dengan kehidupan nyata.
Pengalaman juga mengatakan, siapa yang rajin membaca, maka ia akan kaya akan ilmu, namun bila kita malas membaca, maka kemiskinan ilmu akan terasa. Guru yang rajin membaca, otaknya ibarat mesin pencari google di internet. Bila ada siswa yang bertanya, memori otaknya langsung bekerja mencari dan menjawab pertanyaan para siswanya dengan cepat dan benar.
Guru-guru tentu tak ingin dikategorikan sebagai kelompok professional yang justru ‘kurang cerdas.” Membaca jadi pilihan Anda untuk lebih cerdas, lebih pintar, lebih intelek dan lebih disegani rekan atau anak didik juga masyarakat. Dengan catatan ada makna positif dari hasil aktvitas membaca untuk diri dan orang lain.
Mulai saat ini jangan kasih tahu orang lain, bahwa Anda akan lebih baik dimulai dari kebiasaan membaca. Anda akan memperbaharui cara, gaya atau metode mengajar berkat manfaat membaca. Mulai hari ini Anda akan mengawali aktivitas di sekolah dengan lebih  baik, lebih fresh karena info dari sebuah buku, tulisan di tabloid, koran atau majalah. Jadi mulai hari ini Anda harus dapat melawan kebiasaan malas membaca agar Anda diam diam jauh lebih baik dari guru lainnya. Oke?
(agus ponda/ganesha)