Selasa, 29 Mei 2012

Menjadi Guru Sebenarnya Menyenangkan

Menjadi guru bukan impian saya, tapi impian teman saya sejak kecil. Juga mungkin impian Anda. Waktu kecil ia membayangkan berdiri di depan kelas, bermain dan berbincang bersama mereka sepertinya sesuatu yang menggembirakan. Dan, cukup menakjubkan bahwa angan-angan itu kini tercapai.
……………………………….

Dahulu teman saya itu tidak berani berbicara, apalagi di depan orang banyak. Itu saja sebenarnya cukup menutup pelu-angnya untuk menjadi guru. Sebab seorang guru dituntut pintar bicara dan harus bicara. Kalau bicaranya setengah jam sekali, siswa bisa pada tidur atau kabur dari kelas.
Sekarang pertanyaannya, dari mana ceritanya Anda jadi Guru? Tentu kisahnya beragam. Dari yang ujug-ujug, tanpa cita-cita bahkan mimpi, sampai yang benar-benar terobsesi jadi guru di kala kecil.
“Kalau saya memulai profesi ini dengan mengajar privat. Berawal dari satu anak, dua anak, kemudian kelompok berlanjut satu kelas dengan jumlah murid terbesar sebanyak 45 siswa. Bermula dari anak-anak usia 3 tahun sampai kemudian karyawan. Akhirnya jadi guru,” ujar teman saya itu.
Ia kini mengaku bahwa menjadi guru adalah pembelajaran yang sangat baik untuk dirinya. “Saya belajar bertanggung jawab, disiplin, sekaligus ketegasan,” ucapnya yakin dan tulus.
Konon, menjadi guru membuat dirinya belajar pula untuk mendengarkan, memper-hatikan dan memaafkan. “Tentu, sampai saat ini pun saya masih belajar untuk semua hal di atas.” katanya. Ya guru memang tugasnya mendidik dan mengajar, tapi ia juga jangan lupa untuk terus belajar. Biar ilmunya kian banyak dan berisi, biar ilmunya up to date dan tak basi  selalu.

Sejak Hari Pertama
Pearl Rock Cane, seorang professor Pendidikan di Teachers College, Columbia University pernah mengatakan bahwa tidak seperti jenis pekerjaan lainnya, pegawai baru diberi tugas terbatas untuk tahun pertama ia bekerja sebelum kemudian ia dianggap cukup berpengalaman untuk memikul tang-gung jawab yang lebih tinggi atau membuat keputusan mandiri, maka seorang guru ha-rus melakukan itu semua sejak hari pertama ia mengajar. Dan seringkali guru baru justru mendapatkan kelas yang paling sulit. Ini betul sekali.
Menjadi guru kemudian menyadarkan bahwa tugas kita tidak hanya mengajar, tapi seringkali seorang guru pun terserap ke dalam kehidupan pribadi mereka (siswa).
Kelembutan, kasih sayang dan ketega-san adalah hal yang berbeda. Namun kita se-ringkali terjebak di dalamnya. Dengan alasan sayang kita membolehkan mereka mencontek, atas nama ketegasan kita melakukan hukuman fisik kepada anak, dan lain-lain.
“Saya cukup tegas untuk masalah yang berkaitan dengan moral. Memang itu jadi dilema tersendiri. Tapi saya berusaha meme-gang teguh keyakinan saya. Saya tidak sampai sih merobek ulangan anak yang mencontek,” ujar dia.
Ia mengaku dirinya sebenarnya terkadang ka-sihan melihat anak-anak kesulitan menjawab soal ulangan atau tes. Tapi menurutnya, ia akan lebih merasa bersalah lagi jika guru  membiarkan mereka berbuat kecurangan. “Saya tidak ingin anak-anak itu hancur ketika nanti mereka menhadapi dunia yang sesungguhnya,” begitu ia beralasan jauh.

Toleransi
Salah satu kebaikan yang ia pelajari selama menjadi guru adalah betapa anak-anak mempu-nyai toleransi yang tinggi terhadap sebuah kesalahan. Mereka sungguh pemaaf. Sung-guh tepat kata Pearl Rock Cane, “Ruang kelas menawarkan potensi untuk perubahan dan pertumbuhan bagi siswa dan guru.”
Guru dan siswa belajar bersama untuk menjadi lebih baik.
Teman saya ini, masih ingat ketika ia gagal menyampaikan pembelajaran di sebuah kelas, ketika anak-anak memusuhinya.
“Saya mungkin akan meninggalkan pekerjaan ini selamanya seandainya saat itu mereka tidak memberikan saya kesempatan. Saya begitu kagum dengan ketulusan mereka.” kenangnya.
Di tengah anak-anak, guru seharusnya selalu merasa belajar hal-hal baru yang menakjubkan, yang kadang tak mampu kita lihat sebagai orang dewasa.
Kini yakinkanlah bahwa menjadi guru tugas yang sangat mulia. Maka hari-hari di sekolah bakal terasa mengasyikkan. Pikiran Anda akan dipenuhi oleh keinginan untuk menciptakan pembelajaran yang menarik dan memudahkan bagi mereka. Kepuasan seorang guru adalah ketika mereka (anak didik) menikmati pengajaran yang saya berikan. Apalagi jika itu bisa memotivasi mereka.
Itu sebanya guru harus membuat suasana kelas menjadi menyenangkan. Ini adalah salah satu alternatif untuk mengoptimalkan proses belajar dan mengajar. Logikanya jika suasana di kelas menjadi menyenangkan akan mem-buat siswa lebih fokus pada kegiatan yang sedang berlangsung dan ketika fokus maka perhatian anak hanya pada satu kegiatan, tidak ada pikiran mereka untuk mengalihkan pada kegiaaan yang lain. Oleh karena itu dampak positif yang diperoleh, metari yang diberikan oleh guru akan lebih mudah dipa-hami dan diresapi anak. Dan itu akan berbekas seumur hidupnya.
Salah satunya kisah ini. Adalah mengharu-kan ketika suatu hari seorang anak berkata kepada seorang guru “Ibu Ani, saya sekarang kuliah di jurusan komputer. Saya juga mengajar design, seperti yang pernah Ibu ajarkan ke saya. Saya ajarkan pula ke anak didik saya. Terima kasih ya, Bu.
Anda mungkin bakal menangis haru bila menerima surat atau SMS dari murid Anda duku seperti itu.  Walau mungkin saja anak itu berlebihan, tapi itu kenyataan. Walau mungkin Anda hanya mengajari ia sedikit saja tentang design kala di SMK dulu.
Negeri ini membutuhkan guru-guru berkualitas untuk menjawab tantangan dalam mendidik generasi baru.
Dan jika Anda ingin membuat perubahan, kecil atau besar dalam kehidupan orang lain, menjadi guru adalah salah satu pilihan terbaik dan menyenangkan.
(agus ponda/ganesha/diadopsi dari enggarnt)

Ini Dia Empat Tipe Kepala Sekolah

Sebagai sebuah organisasi, sekolah merupakan lembaga yang bersifat kompleks dan unik. Di dalamnya terdapat berbagai dimensi yang saling terkait dan menentukan. Berkembang tidaknya sekolah sangat dipengaruhi oleh kepemimpinan kepala sekolah. Ia seorang  pejabat formal, manajer,  pendidik, juga sekaligus sebagai staf.
………………………………………..

Sebagai pejabat formal kepsek diangkat melalui proses, prosedur dan peraturan yang berlaku. Artinya tidak sembarang guru dapat menjadi ‘orang nomor satu” di sebuah sekolah. Serangkaian proses seleksi harus dijalani, mulai dari persyaratan administrasi, tes hingga hal lainnya.
Berkembang tidaknya sebuah sekolah memang pertama-tama ditentukan oleh faktor pemimpin. Itu sebabnya  tidak bisa seseorang  ujug-ujugnya menjadi kepala sekolah. Salah-salah mengangkat kepala sekolah, sebuah sekolah malah bertambah buruk kualitasnya.
Jika diibaratkan tubuh manusia, pemimpin adalah otaknya. Otak adalah bagian utama yang membuat seluruh organ tubuh berfungsi. Otak memungkinkan seluruh tubuh melakukan suatu pekerjaan, menghasilkan sesuatu atau mencapai suatu tujuan sesuai ide sang otak. Bahkan selagi otak berfungsi dengan baik, seseorang dapat bepergian ke mana saja meski tidak memiliki tangan dan kaki.
Sebagaimana otak manusia yang dipilahkan ke dalam tipe genius, cerdas, normal dan bawah normal, kualitas pimpinan sebagai “otak sekolah” juga beragam. Ada pemimpin sekolah yang cerdas, kreatif, dan penuh tanggung jawab, tapi ada pula yang kurang kreatif, kurang cerdas dan kurang bertanggung jawab.
Pemimpin bertugas untuk membimbing dan mengarahkan bawahan agar bekerja sesuai tujuan sekolah. Oleh karena itu, pemimpin sekolah dituntut memiliki keberanian dan kemampuan menggerak-kan bawahan, siswa dan wali murid agar arahan dan instruksinya didengar dan dilaksanakan.
Secara sederhana, tipe kepemimpinan kepala  sekolah dapat dikelompokkan sebaga berikut ini:

1.Tipe Tim Leader/Pemimpin Profesional
Ini adalah tipe paling ideal. Pemimpin tipe ini fokus pada tujuan sekolah dan mampu menjalin hubungan baik dengan seluruh stake holder sekolah.
Team Leader sekolah haruslah orang yang paling paham tujuan, cara dan langkah-langkah mencapai target program dan target kerja secara terprogram, mensupervisi dan mengevaluasi, serta mempertanggung jawabkannya dalam bentuk laporan kerja.
Melalui seperangkat program kerja, tim leader berani dan mampu mengendalikan dan mengarahkan guru, pegawai, siswa dan wali murid untuk mencapai tujuan sekolah.
Kemampuannya menjalin hubungan baik dengan bawahan dan seluruh stake holder memungkinkan kerjasama yang kompak dan penuh kesadaran. Tipe ini mirip pola kepemimpinan tim sepak bola. Setiap tim biasanya memiliki kapten yang bertugas pengatur tim. Sebagai pemimpin, kapten sepakbola juga turut bermain dengan baik.
Karakteristik dan pola kepemimpinan team leader di sekolah tidak boleh asal bentuk. Team leader adalah guru terbaik di sekolah. Dia mampu memberikan contoh terbaik bagaimana menyusun program, rencana pembelajaran berikut instrumen yang diperlukan. Dia juga paling mampu memberi contoh pembelajaran terbaik.
Selain itu guru tersebut harus memiliki kelebihan itu memungkinkannya mampu mensupervisi dan mengevaluasi kinerja bawahannya.
Hubungan baik dan kesamaan panda-ngan memungkinkan semua orang bekerja sama secara kompak. Dia juga harus memi-liki kelebihan lain, terutama dalam hal ke-pemimpinan, managemen dan administrasi, sehingga mampu mengendalikan pengelo-laan sekolah sesuai garis kebijakan dan tujuan yang ditetapkan.
Tipe kepsek ini memerlukan kesamaan pandangan, kemampuan dan semangat juang seluruh tim, sehingga tugas dapat dibagi merata.

2. Tipe Pemimpin Idealis
Ini adalah tipe paling umum. Pemimpin idealis adalah orang yang fokus pada tujuan, hingga kadang kurang menjalin hubungan baik dengan semua komponen sekolah.
Kepemimpinan tipe idealis merupakan yang paling umum di sekolah-sekolah rintisan yang maju. Mereka mampu mencapai hasil bahkan lebih baik dari tipe tim leader. Ia fokus pada tujuan menjadikan guru dan pegawai harus bekerja keras. Akibatnya, mereka kadang merasa berat dan tertekan ketika berada di bawah pemimpin idealis yang sarat dengan target kerja betapaun kondisi dan kemampuan bawahannya.
Tipe ini mengacu pada tipe kepemimpinan birokrasi, militer dan perusahaan yang dihadapkan pada target kerja yang ketat. Tipe ini cocok untuk sekolah rintisan atau sedang bermasalah. Pemimpin yang tegas diperlukan ketika berhadapan dengan situasi yang tidak solid, tidak efektif atau terancam.

3. Tipe Kepsek “Nyantai”
Ini adalah tipe kepemimpinan yang buruk dan paling umum terjadi di sekolah-sekolah pedesaan. Kepala sekolah memiliki jalinan hubungan baik dengan bawahan, siswa dan wali murid tetapi bukan dalam konteks memuluskan tercapainya tujuan sekolah.
Kepala sekolah semacam ini biasanya paling disukai bawahan. Meski tidak efektif, suasana sekolah biasa terasa kompak, karena hubungan baik tersebut lebih menonjol dari segi hubungan pertemanan, bukan relasi profesional.
Ciri paling umum dari tipe kepala sekolah ‘nyantai’ ini adalah ia tadinya merupakan guru paling berpengaruh di sekolah karena kemampuan berkomunikasinya, meski sebenarnya bukan guru terbaik. Penguasaan konsep kerja sepenggal-penggal, tapi banyak berbicara meski sebenarnya tidak fokus.
Selain itu dalam penguasaan managemen, administrasi, dan didaktik-metodik rendah, bahkan di bawah guru kebanyakan. Akibatnya, dia tidak mampu melaksanakan tugas-tugas supervisi, evaluasi, apalagi membimbing guru yang lain.
Tipe kepsek nyantai umumnya mempunyai kualitas kepemimpinan (leadership) yang rendah dan instan, sehingga disertai dengan terjadi kepemimpinan terbalik. Kepala sekolah justru segan dan tidak berani memberi instruksi pada bawahan, padahal seharusnya bawahan yang segan kepadanya.
Akan tetapi kepsek tipe ini memiliki kemampuan berinteraksi dengan guru, siswa dan wali murid yang baik, sehingga sering kali mampu menutupi kelemahan sekolah. Ciri lainnya, managemen sekolah kurang efisien, karena suka mengadakan kegiatan yang berskala massive.
Sudah barang tentu kepemimpinan seperti ini tidak efektif. Arah program dan kualitas pembelajaran di sekolah tidak akan terfokus pada tujuan yang seharusnya ditetapkan dengan cermat.
Meski demikian, tipe kepemimpinan seperti ini bukan tidak ada gunanya. Kepemimpinan semacam ini biasanya dibutuhkan untuk kepentingan jangka pendek. Para pemimpin semacam ini biasanya dibutuhkan oleh para politisi, tapi bukan sekolahan.
Mereka mampu memobilisasi massa, seperti menggerakkan demonstrasi atau dukung mendukung pejabat. Pada tingkat tertentu mereka mampu memanipulasi emosi banyak orang hingga tanpa berfikir panjang tergerak mendukung atau menentang sesuatu.

4. Tipe Gambar/Simbol
Ini adalah tipe kepemimpinan paling buruk, tetapi banyak juga sekolah yang dipimpin oleh pemimpin semacam ini. Pemimpin hanya berperan sebagai gambar atau simbol belaka.
Keberadaannya seolah hanya sebagai syarat kelengkapan saja. Kepemimpinan semacam ini dapat dijumpai pada kepala sekolah dengan ciri-ciri,  seperti jarang berbicara mengenai urusan riil di sekolah, karena tidak memiliki konsep pengelolaan sekolah (zero vision) dan fokus pemikirannya tidak ke sekolah.
Tipe ini juga ditandai dengan pekerjaan ‘tanda tangan saja, karena secara riil tidak menguasai tugasnya, baik edukatif, managerial hingga administratif.
“Pada dasarnya tipe kepsek ini lebih nyaman berada di luar sekolah, dan merasa kurang hidup saat berada di sekolah. Ini aneh sekali bagi kami,” aku seorang guru SD di Kabupaten Ciamis.
Kepsek simbol ini, cenderung pasrah dan biasa mewakilkan tugas sepenuhnya pada orang lain. Dan yang paling sering dilakukannya adalah menghindari supervisi, evaluasi dan kurang suka ikut pelatihan (managamen, administrasi dan pembelajaran).
Ciri lain, ia kurang suka melakukan rapat dan evaluasi dengan guru, pegawai maupun stake holder sekolah yang lain, karena tidak tahu apa yang harus dibahas. Bahkan akhirnya ia jarang berinteraksi dengan siswa secara langsung, karena visi edukatifnya lemah.
Ia juga sering menunda-nunda pekerjaan, mencari-cari alasan, menyalahkan situasi, aturan atau orang lain karena pada dasarnya tidak mampu melaksanakan tugas, juga tidak berani mengatasi keadaan.
Sudah pasti, ini bukan tipe kepala sekolah yang ideal, sebab pada dasarnya pemimpin semacam ini adalah orang yang tidak siap memimpin.
Secara mental, mereka tidak memiliki kemampuan dan keberanian seorang pemimpin. Selain tidak efektif, pemimpin simbol menjadikan suasana sekolah cenderung tidak kondusif.
Itulah secara singkat empat tipe kepala sekolah. Kepsek di sekolah Anda termasuk tipe yang mana? Silahkan cocokan saja.
(ganesha/ausaid/nt)

Inilah Empat Tipe Guru Terbaik

Kualitas bangsa tergantung dari generasi penerus. Kualitas generasi penerus tergantung dari guru yang membinanya. Sebagus apapun sistem yang dibuat, namun ketika guru tidak mau memberikan yang terbaik maka sistem yang baik tadi sia-sia belaka. Metode pembelajaran, sistem pengajaran, metode pengajaran atau apapun itu, tanpa peran serta guru sebagai garis depan pembinaan negeri, tentu juga akan sia-sia.
...........................................
Lalu, bagaimana supaya kita bisa menjadi guru terbaik? Mengutip tulisan Dhony Firmansyah, seorang motivator Biologi di Indonesia (BioMotivator),  ada empat tipe guru yang bisa dikatakan sebagai tipe terbaik.

Pertama
Tipe guru yang baik, yaitu guru yang menjelaskan. Tipe guru seperti ini dimiliki oleh hampir semua sekolah di negeri kita. Tipe guru pertama ini mementingkan penyampaian ilmu, selesainya materi, namun tidak memperdalam sehingga dirinya tidak mengetahui secara pasti apakah siswa paham atau tidak. Karena dia hanya sekedar menjelaskan. Akhirnya, ilmu yang disampaikan hanya sekedar pengetahuan. Tidak berdampak pada kehidupan nyata.
Akibatnya, ilmu agama sebatas pengeta-huan. Departemen Agama misalnya, pernah diklaim sebagai departemen dengan tingkat korupsi tertinggi. Padahal di dalamnya penuh dengan orang yang mengerti agama. Namun sayang, karena agama hanya sekedar pengeta-huan, walhasil agama tidak dipraktikkan.

Kedua
Tipe guru yang lebih baik, yaitu guru yang mempraktikkan. Apa-apa yang diajarkan tidak hanya dijelaskan, namun juga diwujudkan dalam kehidupan nyata. Jika dirinya mengatakan, “Jangan membuang sampah sembarangan.” Dirinya adalah orang yang pertama melakukan. Jadi apa yang disampaikan sama dengan apa yang diperbuat.
Pelajaran bukan sekedar pengetahuan, namun juga harus dipraktikkan. Nah, tentu Anda pernah mendengar istilah pendidikan karakter, bukan. Pendidikan karakter ini berusaha mempraktikkan apa-apa yang disampaikan guru sebagai kebajikan dalam kehidupan.

Ketiga
Guru yang terbaik, guru yang terbaik adalah guru yang menginspirasi. Bukan hanya menjelaskan, mempraktikkan, namun ingin keadaan yang lebih baik. Bukan hanya ingin negeri ini bebas korupsi, namun ingin bagaimana masyarakatnya saling berbagi kebaikan. Dia ingin kehidupan yang lebih sukses, lebih hebat, lebih mulia dan lebih manfaat. Tipe guru seperti inilah yang bisa mengubah wajah negeri. Tipe guru inilah yang saat ini dinanti.

Keempat,  Sabar Menghadapi Murid
Seorang guru yang dicintai oleh anak didiknya adalah yang sabar dalam menghadapi mereka pada saat proses belajar mengajar. Kesabaran seorang guru akan membuat anak didik merasa nyaman dalam belajar. Tidak saja merasa nyaman, kesabaran seorang guru juga membuat anak didik mempunyai waktu yang cukup untuk lebih bisa memahami pelajaran yang dihadapinya. Inilah kunci yang sangat penting dalam meraih keberhasilan di dunia pendidikan.
Sabar seringkali dipahami dengan tidak tepat. Oleh karena itu, sebelum memahami persoalan sabar dalam mengajar ini, ada baiknya bagi kita untuk memahami arti sabar itu sendiri. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, sabar mempunyai dua makna, yakni (1) tahan menghadapi cobaan (tidak lekas marah, tidak lekas putus asa, tidak lekas patah hati); tabah; (2) tenang; tidak tergesa-gesa; tidak terburu nafsu.
Berangkat dari pemahaman sabar berdasarkan kamus tersebut, seorang guru yang bisa sabar dalam mengajar ia melakukan dua hal penting yakni:
Tahan dalam Segala Keadaan
Menghadapi sikap anak didik yang tidak sesuai dengan harapan, tidak sedikit dari guru yang menunjukkan sikap tidak sabar. Sikap dari anak didik yang tidak sesuai dengan harapan itu bisa jadi berupa perilaku anak didik yang tidak memerhatikan pelajaran, melanggar kesepakatan, tidak mengerjakan tugas, atau bahkan tidak segera bisa menangkap pelajaran yang telah disampaikannya. Tidak sabar yang demikian biasanya ditunjukkan dengan sikap jengkel atau bahkan amarah. Inilah sesungguhnya tipe guru yang tidak tahan dalam menghadapi keadaan muid-muridnya.
Namun, bagi seorang guru yang bisa bersabar tentu akan mendapatkan hasil yang menyenangkan. Hal ini disebabkan para guru yang sabar mempunyai keyakinan bahwa hal yang tidak diinginkan dan yang terjadi pada anak didiknya tidaklah kekal. Cepat atau lambat perilaku anak didik yang tidak diinginkan tersebut pasti akan berubah. Apa yang terjadi pada anak didik sekarang tentu tidak akan terus-menerus terjadi dalam keadaan demikian, apalagi seiring dengan masa tumbuh dan berkembang anak didik. Apalagi, sang guru secara terus-menerus pula mendampingi anak didiknya dalam proses belajar mengajar. Dengan demikian, diyakini bahwa setiap anak didik sedang menjalani proses untuk menjadi lebih baik.
Di samping itu, tahan dalam segala keadaan atau sabar sangat diperlukan bagi seorang guru saat mendampingi anak didiknya karena dipercaya bisa menimbulkan energi positif. Hal ini bisa terjadi karena pada saat seorang guru membangun sifat kesabaran, ada proses harapan atau doa agar anak didiknya berubah menjadi lebih baik. Tentu akan berbeda jika seorang guru telah kehilangan kesabarannya, yang terjadi adalah rasa marah, apalagi bercampur aduk rasa jengkel, dan yang lebih menyedihkan adalah sang guru diam-diam mengumpat di dalam hati. Bila sudah begini, bukan lebih baik yang terjadi, malah semakin parah.
Di sinilah sesungguhnya sifat sabar dari seorang guru menjadi mutlak untuk dimiliki dalam mendampingi anak didiknya. Bukan sekadar ia akan menjadi guru yang akan dicintai oleh para muridnya. Akan tetapi, lebih dari itu, hal ini penting dalam rangka mencapai keberhasilan dalam proses belajar mengajar.

Tenang atau Tidak Tergesa-gesa
Seorang guru yang mempunyai sifat sabar dalam mendampingi anak didiknya tentu akan bersikap tenang atau tidak tergesa-gesa. Hal ini penting sekali agar anak didik dapat mengikuti proses belajar mengajar dengan baik. Sebab, daya tangkap setiap anak didik ketika mendengar penjelasan dari sang guru tentu berbeda antara satu dengan yang lainnya. Ada anak didik yang hanya diterangkan dengan beberapa kalimat saja langsung sudah bisa memahami apa yang telah disampaikan oleh gurunya. Namun, ada juga anak didik yang membutuhkan waktu agak lama dibandingkan dengan teman-teman sekelasnya. Anak didik yang agak lambat dalam menangkap dan memahami pelajaran ini tentu harus diperhatikan pula oleh guru. Pada saat yang seperti ini seorang guru dibutuhkan kesabarannya untuk menjelaskan dengan beberapa kalimat tambahan atau bahkan pengulangan kepada anak didiknya.
Setiap guru memang mempunyai target agar setiap dari pertemuan yang dilakukannya bersama anak didiknya dapat mencapai tujuan yang diharapkan. Hal ini memang sudah seharusnya. Sebab, tanpa target untuk mencapai keberhasilan dalam belajar mengajar tentu apa yang dilakukan oleh seorang guru menjadi asal-asalan dan tidak terarah. Namun, dalam rangka untuk mencapai keberhasilan dalam proses belajar mengajar tentu dibutuhkan ketenangan dalam diri seorang guru agar proses belajar mengajar itu pun dapat berjalan dengan baik. Dalam hal ini, seorang guru tidak boleh tergesa-gesa. Justru ketergesaan yang dilakukan oleh seorang guru biasanya malah mengacaukan rencana yang sudah dirangcang dengan baik dalam rangka mencapai keberhasilan tujuan belajar mengajar.
Seorang guru yang selalu tergesa-gesa akan membuat anak didiknya tidak nyaman dalam mengikuti proses belajar mengajar. Ia merasa seperti dikejar-kejar untuk segera menyelesaikan pekerjaan yang satu untuk menuju pekerjaan yang lain. Apalagi, pada saat yang seperti ini sang guru malah berkomentar, misalnya, "Mengerjakan begitu saja lambat amat, sih." Komentar yang seperti ini sungguh akan dirasakan tidak nyaman bagi anak didik.
Mengerjakan segala sesuatu dengan tenang atau tidak tergesa-gesa bukan berarti selalu lambat dalam melakukan pekerjaan. Tenang yang dimaksudkan di sini lebih kepada membangun kesabaran dalam proses yang sedang dijalaninya. Maka, seorang guru yang bisa tenang dalam proses belajar mengajar akan bisa memimpin jalannya belajar mengajar dengan baik. Anak didik pun dapat belajar dengan lebih berkonsentrasi. Dengan demikian, guru dan anak didik sama-sama bisa fokus untuk mencapai keberhasilan dalam belajarnya.
Itu dua hal penting yang dapat dilakukan oleh seorang guru dalam rangka membangun kesabaran ketika bersama anak didiknya. Ini adalah kunci yang penting agar seorang guru bisa lebih menikmati dan merasakan bahagia dalam menjalankan tugasnya. Hal ini bisa terjadi karena guru yang sabar bisa tenang dan menikmati proses belajar mengajar dengan baik. Sebaliknya, tanpa kesabaran seorang guru akan banyak mengeluh mengenai anak didiknya.
"Jika sudah begini, rasa optimisme pun tak bisa terbangun dengan baik," ujar seorang guru yang juga penulis, Akhmad Muhaimin Azzet.
Mengaitkan kesabaran dan rasa optimisme ini sebagaimana pemaparan di atas, jelas diketahui bahwa kesabaran yang dibangun oleh seorang guru adalah kesabaran dalam arti yang benar. Bukan kesabaran dalam arti mudah menyerah dan mengalah. Melainkan kesabaran yang dinamis dalam menyikapi segala persoalan dengan cara pandang dan berpikir yang positif. Tipe guru bersikap demikian, ia akan mendapatkan banyak sekali manfaat, yakni di samping akan dicintai anak didiknya, bahkan tak jarang hingga mereka lulus sekolah, juga sangat mendukung dalam meraih keberhasilan mencapai tujuan belajar mengajar.
Apakah Anda salah satunya?
(agus ponda/dnt)

UN 2012: Jujur Nggak, Ya?

Pelaksanaan Ujian Nasional 2012 tinggal hitungan hari. Rangkaian UN tahun ini akan dimulai pada tingkat SMA/SMK,  tanggal 16-19 April 2012, disusul UN SMP/MTs, 23-26 April 2012, serta tingkat SD/MI/SDLB akan digelar pada tanggal 7-9 Mei 2012.  Kecurigaan sejumlah kalangan dan  fakta tahun sebelumnya, bahwa masih ada UN yang curang,  memaksa pihak Kemedikbud mendengungkan slogan UN  ”Jujur dan Berprestasi”.  Mungkinkah terjamin sebuah kejujuran?
…………………………………
Mungkinkah... kita kan slalu bersama? Itu lirik lagu “Mungkinkah” yang dulu ngetop dinyanyikan Andre Taulani dengan grup band Stinky. Kenyataannya mereka bubar, alias tak lagi bersama. Bagaimana dengan Ujian Nasional  2012, mungkinkah, mereka akan bersama-sama menjaga kejujuran?
Pertanyaan yang sulit dijawab dengan pasti. Sebab kejujuran sebenarnya tidak sulit ditunjukkan, sebaliknya ketidakjujuran, tak akan mungkin blak-blakan dipertontonkan. Kecuali ketahuan.
Entah sudah berapa kali, kata “jujur” diteriakan, dalam hal Ujian Nasional di tengah tudingan, dugaan dan isu bahwa UN dari tahun ke tahun selalu saja ada yang curang.  Namun yang pasti, tahun ini nampaknya tuntutan agar pelaksanaan UN harus jujur lebih dahsyat digelorakan semua pihak.   
Kemedikbud tak lagi berdiam diri. Tak cukup lagi, tudingan ada UN yang curang tahun sebelumnya, hanya dijawab, itu hanya sedikit, atau kalaupun ada hanya enol koma sekian persen saja.  Tidak cukup lagi, kasus kecurangan UN dipandang hanya kasus kecil dan tidak mengganggu kredibilitas UN secara keseluruhan.Maka tahun ini Kemendikbud  membentangkan slogan “Jujur dan Berprestasi” dalam pelaksanaan ujian nasional (UN) tahun 2012. Slogan yang  bukan sekadar jargon, tapi harus benar-benar diwujudkan.
Itu sebabnya Mendikbud Muhammad Nuh, berharap semua siswa yang mengikuti UN yang akan diselenggarakan pada pertengahan April hingga Mei itu, dapat mengerjakan soal dengan baik dan tidak berlaku curang. “Setiap siswa harus bisa berlaku adil dan tidak curang dalam melaksanakan ujian, karena meskipun lulus, tapi kalau curang, maka akan menjadi beban moril.” pesannya.
Pesan M.Nuh itu, hanya kepada siswa. Padahal pelaksanaan UN melibatkan banyak unsur. Dan kecurangan UN selama ini yang dituduhkan, bukan semata kecurangan yang dilakukan para siswa, tapi oleh pihak lainnya.
Anggota Komisi X DPR-RI, Ahmad Zainuddin,  mengatakan slogan “UN  Jujur” tak cukup ditujukan kepada siswa, tapi juga kepada sejumlah oknum yang selama ini tidak bertanggung jawab. Artinya kecurangan UN bukan semata terjadi pada siswa, justru sejumlah temuan memastikan, bahwa ada pihak sekolah yang membuat sistem kecurangan dalam pelaksanaan UN.
“Ini tidak boleh dibiarkan terus berlanjut, pemerintah harus menindak tegas setiap pelanggaran yang dilakukan oleh pihak sekolah. Kalau perlu diumumkan saja sekolah yang terbukti melakukan kecurangan saat UN, agar masyarakat mengetahuinya,” tegas politisi PKS itu kepada sejumlah media di Jakarta, Kamis (5/4).
Karena sudah banyak kecurangan sekolah dalam UN terbukti, maka tahun ini adalah saatnya Kemdikbud melakukan langkah kongkrit dan lebih tegas memberantas kecurangan UN. “Kemendikbud harus bisa membuktikan slogan pelaksanaan Ujian Nasional tahun 2012 ini.” ujar Ahmad.
Sulit Terwujud?
Namun nampaknya tak mudah  memastikan pelaksa-naan UN benar-benar jujur. Sejumlah faktor menjadi peng-halang keinginan mulia terse-but. Menurut Ahmad, salah satunya  tentang karakter kejujuran. Ia menilai kejujuran dari seseorang itu tidak datang dengan sendirinya. Tapi butuh waktu. Kalaupun  ada yang mau jujur, tapi malah bisa dikalahkan oleh ketidak-jujuran orang-orang lainnya.
Ahmad Zainuddin mendesak agar pengawasan pelaksanaan UN tahun ini diperketat. Sebab disinyalir kecurangan UN masih terjadi jika tidak ada komitmen yang kuat dari semua pihak untuk UN yang jujur.
Untuk itu ia mengajak semua pihak, baik siswa maupun sekolah dan pemerintah, agar melaksanakan UN dengan jujur. “Kami berharap pelaksanaan UN tahun ini dapat menghasilkan prestasi siswa yang meningkat, tidak saja nilai kognitif tetapi juga nilai afektif dan psikomotoriknya. Masyarakat juga diminta untuk ikut serta memantau dan mengawasi pelaksanaan ujian siswa, agar kecurangan UN dapat dihindari. “Ayo beresin UN”, serunya.
Faktor lainnya, selama ini pihak sekolah tak mau ada siswa yang gagal dalam UN. Ini karena menyangkut gengsi sekolah dan takut menerima reaksi negatif dari pihak orangtua siswa bila anaknya tak lulus UN. Maka siswa yang berpotensi tak mampu meraih nilai standar  UN, akan ‘dibantu’  sedangkan siswa yang diyakini lolos, dipastikan tetap pada jalur yang aman. Akibatnya sekolah menghalalkan segala cara hanya untuk mengejar prestasi lulus UN sempurna. Hasilnya, UN-nya berprestasi, namun tidak jujur.
Faktor lainnya, sejumlah pihak menemukan sistem ketidakjujuran dalam UN sudah ‘mendarah daging”. Sistem ini dilakukan pihak sekolah dengan ‘menugaskan’ beberapa guru’ ikut sibuk menjawab soal-soal UN untuk dibagikan ke siswa. Atau menambal soal-soal yang tidak dijawab dengan benar oleh siswa sehingga nilai yang bakal didapat nantinya minimal memenuhi standar kelulusan.
Kesulitan lainnya untuk memberantas UN curang adalah, ‘sifat tahu sama tahu’. Biasanya sebuah sekolah yang sedang me-lakukan misi perbantuan pada siswa  yang sedang menjawab soal UN, dibiarkan saja oleh pihak pengawas atau pihak peninjau lainnya. Karena, di pihak lainnya, sekolah lain pun melakukan hal seperti itu, Sehingga “sehati” untuk sama-sama menjaga kelancaran “misi penyelamatan” anak didik.
Faktor lainnya, ada sejumlah daerah yang justru, kepala daerahnya memesan hasil UN yang sangat memuaskan. Maka sekuat tenaga dengan segala jurus, pihak terkait dan  sekolah mengamankan pesanan sang kepala daerah. Ini demi nama baik dan gengsi daerah tersebut dalam bidang pendidikan.
Terkait faktor ini, Mendikbud M, Nuh pernah mengatakan bahwa permintaan kepala daerah  agar di daerahnya 100% UN lulus,  itu hal yang wajar.
“Itu wajar. Terus, apakah juga boleh kepala daerah meminta jangan lulus semuanya?” tanya Nuh.
Namun kata Nuh,  permintaan kepala daerah seperti itu harus disikapi dengan bijak oleh Disdik dan sekolah.
Nuh tidak memungkiri jika tuntutan kepala daerah supaya kelulusan unas 100 persen sering salah persepsi. Ujung-ujungnya, jajaran dinas pendidikan, kepala sekolah, hingga guru nekat melanggar aturan UN. Misalnya dengan membocorkan kunci jawabah kepada siswa.
Menurut Nuh, rata-rata angka kelulusan tahun lalu di daerah sudah baik. Yaitu 90 persen ke atas. Yang harus dibenahi adalah, memperkuat kejujuran dalam pelaksanaan UN. “Mesti ada saja yang tidak lulus. Apa-kah jika ada yang sakit, harus dipaksakan lulus,” katanya. Nuh mewanti-wanti jangan sampai kepala daerah mengorganisir jajarannya menjalankan pelanggaran UN.
 (agus ponda/ganesha/nt)

Model PAK Berubah ke PKG,

Naik Pangkat “Tak Mudah Lagi”
Mulai tahun 2013,  kenaikan pangkat seorang guru dipastikan tidak mudah lagi. Sistem baru itu bernama Penilaian Kinerja Guru (PKG) yang akan berlaku secara efektif mulai tanggal 1 Januari 2013.
.............................................
Apa itu Penilaian Kinerja Guru (PKG)? Banyak guru yang belum paham PKG, namun tak sedikit pula yang mulai mengenalinya. Salah satunya, Rusdianto, seorang guru di Bangka. Rupanya ia sudah cukup memahami tentang  PKG. Menurutnya PKG adalah istilah baru yang akan digunakan untuk menilai kinerja guru khususnya untuk kenaikan pangkat model baru pada tahun 2013 nanti.
“Adanya sistem penilaian kinerja guru yang baru ini. Seorang guru kini tidak mudah lagi naik pangkat, apalagi yang penilaian kinerjanya berlabel hanya “cukup” saja.” Katanya.
Artinya, untuk bisa naik pangkat, lanjut Rusdianto, seorang guru tidak bisa lagi mengandalkan pengetahuan lamanya. Pengetahuan guru harus selalu diupdate. Seorang guru kini akan dinilai langsung ketika mengajar di kelas. Kemudian, guru pun harus banyak berlatih menulis untuk hasil karya ilmiahnya karena hal ini merupakan kewajiban yang harus dilakukan sejak seorang guru berpangkat Guru Pertama (golongan III a).  Guru harus punya banyak buku untuk referensi penulisan karya ilmiahnya. Intinya, pekerjaan guru menjadi lebih banyak.

Tiga Fase
Dengan akan berlakunya sistem PKG ini, maka pengaturan kenaikan pangkat seorang guru konon sudah akan mengalami tiga fase. Fase pertama adalah kenaikan pangkat otomatis, yaitu dalam kurun 4 tahun sekali. Hal ini mirip dengan kenaikan pangkat pada jenjang struktural. Kenaikan pangkat ini segera diganti pemerintah dengan sistem perhitungan angka kredit karena apabila tetap diberlakukan, maka banyak guru yang akan dengan mudah pensiun pada golongan IV e. Fase kedua adalah kenaikan pangkat yang menggunakan angka kredit kumulatif (sesuai dengan permenpan Nomor 84/1993 dan permendiknas Nomor 025 tahun 1995). Kenaikan pangkat ini lebih bersifat administratif karena besarnya poin angkat kredit lebih banyak ditunjukkan oleh prestasi kuantitas administrasi yang dihasilkannya, mulai dari kegiatan utama seorang guru seperti menyusun program pengajaran, menyajikan program pengajaran, melaksanakan evaluasi belajar, dan seterusnya. Kenaikan pangkat ini pada akhirnya diganti pemerintah karena disinyalir masih banyak guru yang hanya sekedar melengkapi bukti administrasi saja yang notabene dianggap “fiktif”.
Sementara itu, fase ketiga adalah kenaikan pangkat guru yang menggunakan PKG (Penilaian Kinerja Guru), yang akan diberlakukan efektif mulai awal tahun 2013 nanti. Konsep PKG ini muncul sejak diterbitkannya Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan RB (Reformasi Birokrasi) Nomor 16 Tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya.
Perubahan ini boleh dibilang perubahan yang sangat drastis dibandingkan dengan kenaikan pangkat tahun-tahun sebelumnya. Kalau dahulu ada kenaikan pangkat otomatis, menjadikan guru santai menunggu saatnya naik pangkat, kemudian dirubah peraturannya dengan sistem kredit point. Ternyata banyak guru naik pangkatnya melesat bak roket mengangkasa.
 Inilah yang membuat banyak PNS lain barangkali iri dengan kepangkatan guru. Apalagi kemudian ditambah lagi adanya tunjangan sertifikasi bagi guru-guru yang secara administratif “professional”, maka tambah iri lagi.

Praktis, Kuantitatif & Kualitatif
Peraturan tersebut memang bertujuan untuk meningkatkan kompetensi dan profesionalisme guru sebagai tenaga profesional yang mempunyai fungsi untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional (sesuai dengan amanat Undang-undang No. 14 Tahun 2005, Pasal 4). Selain itu, peraturan ini juga bertujuan memberikan ruang serta mendukung pelaksanaan tugas dan peran guru agar menjadi guru yang profesional.
Dengan adanya perubahan ini, maka secara otomatis terjadi pula perubahan mendasar dalam teknik perhitungan kenaikan pangkat seorang guru. Penilaian Kinerja Guru ini lebih berorientasi praktis, kuantitatif dan kualitatif sehingga diharapkan para guru akan lebih bersemangat untuk meningkatkan kinerja dan profesionalitasnya.
Perubahan penting yang terjadi pada sistem penilaian kinerja guru model baru ini adalah pada sisi jenis jabatan dan kepangkatan guru. Pada model penilaian angkat kredit kinerja guru yang baru ini terdapat 4 jenis jabatan dan pangkat guru, yaitu: Guru Pertama untuk golongan III a dan III b; Guru Muda untuk golongan III c dan III d; Guru Madya untuk golongan IV a, IV b, dan IV c; dan Guru Utama untuk golongan IV d dan IV e.
Perubahan mendasar ini terjadi dengan alasan tidak ada lagi seorang guru yang tidak berpendidikan minimal S1/D4 dan diwajibkan seorang guru memiliki sertifikat pendidik. Sedangkan beban mengajar guru adalah  antara 24 jam-40 jam tatap muka/minggu atau bagi guru BK, membimbing 150-250 siswa/tahun.
Apabila pada penilaian angka kredit sebelumnya tidak ada kewajiban untuk melaksanakan kegiatan Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB), maka pada model perhitungan angka kredit yang baru ini, seorang guru wajib mengikuti kegiatan Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan yang terdiri dari kegiatan Pengembangan Diri (PD) dan Publikasi Ilmiah dan/atau Karya Inovatif (PI) sesuai dengan jenjang kepangkatan guru yang bersangkutan. Paling tidak, semenjak seorang guru bergolongan III a saja, maka dia wajib mengikuti kegiatan PKB, PD dengan angka kredit kumulatif sebesar 3 dari kegiatan tersebut. Sementara itu, bila golongannya sudah mencapai III b - c, maka angkat kredit dari PKB, PD adalah 3 AK dan/atau angka kredit dari unsur Karya Inovatif sebesar 4 AK.
Semakin besar golongan dan jabatan seorang guru, maka semakin besar angka kredit yang wajib diperoleh dari kegiatan Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan serta Publikasi Ilmiah / Karya Inovatif (Karya Ilmiahnya).
Namun demikian, hadirnya peraturan baru PKG, akan semakin membuat guru terpacu untuk menyiapkan diri semaksimal mungkin. Atau, ada hal yang paling mencemaskan adalah muncul sikap apatis seorang guru yang mungkin saja selama ini terlanjur gembira karena bisa menikmati tunjangan sertifikasi dan fungsionalnya, kini berubah menjadi duka karena ternyata begitu sulitnya untuk urusan kenaikan pangkatnya. Artinya, banyak guru yang harus pasrah dengan pangkat yang disandangnya selama bertahun-tahun.
Celakanya lagi, guru yang tidak dapat memenuhi kewajibannya dalam beberapa kurun waktu tertentu dalam pengumpulan angka kredit untuk kenaikan pangkatnya akan dikenakan sanksi berupa pencabutan tunjangan profesi serta tunjangan fungsionalnya. Nah!
(agus ponda/rus/bps/nt/ganesha)

Minggu, 06 Mei 2012


Yang Belum Berhasil, Masih Ada Kesempatan
Lulus UKA, Selanjutnya PLPG


Uji Kompetensi Awal (UKA) 2012 sudah diumumkan. Seperti biasa, ada yang lulus ada pula yang belum lulus. Mendikbud masih memberi harapan, tahun depan yang belum lulus bisa kembali mengukur kemampuan dirinya.
............................
Akhirnya Uji Kompetensi Awal (UKA) 2012 diumumkan secara online, 18 Maret 2012. Dari pengumuman itu, tertera jumlah guru yang lulus pada Uji Kompetensi Awal  ini ternyata tidak memenuhi kuota yang telah ditentukan oleh pemerintah, yakni 250 ribu. Hanya sekitar 248.733 guru yang dapat melanjutkan ke tahap Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG). 
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Moh. Nuh mengatakan kelulusan tersebut ditentukan oleh nilai rata-rata serta memenuhi standar kompetensi minimal untuk menjadi guru profesional.Penentuan jumlah kelulusan ditentukan oleh nilai rata-rata dan standar deviasi dari hasil yang diperoleh dari uji kompetensi kemarin. “Oleh karena itu, keluarlah angka 248.733 guru yang lulus uji kompetensi awal,” kata Nuh di Gedung Kemendikbud, Jakarta, Senin (19/3). 
Ia mengatakan pihaknya tidak ingin memaksakan diri untuk memenuhi kuota sertifikasi guru yang telah disediakan. ”Kami lebih memilih guru yang benar-benar layak, ketimbang sekedar memenuhi kuota yang ada,” kata dia.
Menurut mantan rektor ITS itu, banyak sekali pertimbangan lain dalam menentukan kelulusan UKA ini. Selain nilai dan kuota, juga dipertimbangkan soal sebaran guru. Dia menjelaskan, tidak mungkin yang diluluskan dalam UKA itu hanya guru-guru yang ada di perkotaan saja. Sebab, guru-guru di daerah terpencil juga perlu ikut PLPG untuk peningkatan profesi mereka.
Awalnya, jumlah guru yang terdaftar untuk mengikuti UKA sebanyak 285.884, namun pada pelaksanaannya 4.868 guru tidak ikut. Artinya, hanya 281.016 guru yang resmi mengikuti UKA pada tanggal 25 Februari lalu. ”Dari jumlah tersebut, hanya ada 248.733 guru yang dinyatakan lulus UKA,” imbuhnya.
Pengumuman lulus UKA dapat diakses langsung di www.sergur.kemdiknas.go.id. Dalam laman itu pula distribusi guru per kabupaten atau kota dan per jenjang pendidikan dipaparkan. 
Hasil UKA sertifikasi bagi guru dalam jabatan tahun 2012 ini diambil berdasarkan keputusan Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Kebudayaan dan Penjaminan Mutu Pendidikan Nomor 12344J/KP/2012 tanggal 16 Maret 2012 tentang Penetapan Kelulusan Peserta Uji Kompetensi Awal Sertifikasi Guru dalam Jabatan Tahun 2012.
Meski demikian dijelaskannya bagi para peserta yang tidak lulus dalam UKA akan mendapatkan pembinaan. Mereka juga masih memiliki kesempatan untuk mengikuti uji kompetensi berikutnya. 
”Pemerintah bertekad, yang belum lulus boleh mengikuti pelatihan dan diperkenankan ikut uji kompetensi yang akan datang,” ujar Nuh.
Ditambahkannya pembinaan kepada para guru yang tidak lulus dalam proses UKA tersebut rencananya akan dilaksanakan pada bulan Mei mendatang. Sehingga, pada tahun ajaran baru mereka memiliki semangat serta energi baru dalam mengajar.
”Kami rencanakan pembinaan itu akan dilaksanakan bulan Mei-Juni. Sehingga, ada perbaikan saat mengajar di tahun ajaran baru,” katanya.
Dari 285.000 guru yang berasal dari 497 kabupaten/kota yang mengikuti UKA, 337 kabupaten di antaranya memiliki nilai di bawah rata-rata nasional. Nilai rata-rata nasional yang berhasil dicapai guru dari uji kompetensi tersebut hanya 42,25.

Latihan Profesi
Guru-guru yang dinyatakan lulus UKA tersebut dapat melanjutkan ke langkah selanjutnya, yakni mengikuti pendidikan dan latihan profesi guru (PLPG). Setelah mendapatkan pendidikan dan pelatihan, para guru tersebut tidak serta merta langsung mendapatkan sertifikasi. Pasalnya, mereka juga harus melalui Uji Kompetensi Akhir. 
“Ingat, Kemendikbud tidak me mungut biaya apa pun dari guru untuk pengumuman hasil uji kom petensi tersebut. Jangan per caya pada orang yang berjanji akan membantu kelulusan uji kompetensi dan jangan memberikan uang kepada siapa pun untuk jaminan kelulusan uji kompetensi,” tegas Nuh.
Lanjut Nuh, ”Mereka akan diuji lagi, namanya Uji Kompetensi Akhir. Kalau tidak lulus, mereka bisa mengikuti pembinaan didalamnya. Kita memang menginginkan yang berkualitas,” tandas mantan Menkominfo itu.
Lebih lanjut Nuh mengatakan, proses itu bukan hanya sekedar untuk mengukur kompetensi dari calon guru profesional, namun untuk mengukur kinerja dari lembaga penyelenggara PLPG. Lembaga penyelenggara PLPG memiliki taruhan dan tanggungjawab besar untuk meningkatkan nilai dari para peserta.
”Kalau yang kita kirim nilai awalnya 60 dan uji akhir juga 60, artinya tidak memberikan manfaat. Kalau tidak bagus, kita pertimbangkan untuk tahun depan tidak kita beri jatah lagi. Semuanya harus dievaluasi,” paparnya.
Mantan Rektor ITS Surabaya itu juga meminta penyelenggara PLPG mengubah konsep pelatihan, yaitu dengan melatih satu per satu peserta didik, bukan membangun desain pendidikan yang berlaku untuk semua. Nuh menegaskan penyelenggara PLPG yang dinilai tidak berhasil memberikan hasil akhir yang signifikan tidak akan diberikan kesempatan lagi di tahun mendatang. 

Prihatin
Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI), Dr. Sulistiyo, mengaku prihatin walau hasil UKA yang rendah sudah dapat diprediksi sebelumnya. “Artinya mutu guru saat ini masih rendah sebab mereka dihasilkan oleh lembaga pendidikan guru yang sangat heterogen dan banyak yang belum memenuhi syarat sesuai tuntutan perundang-undangan,” jelas Sulistyo. 
Sulistyo juga beralasan, hingga saat ini, tidak ada pembinaan profesi terhadap guru dan minimnya kesadaran meningkatkan profesi guru. Untuk itu, PGRI mengusulkan bahwa ke depan sangat dibutuhkan adanya peta kompetensi sehingga uji kompetensi dilaksanakan untuk semua guru serta pembinaannya dapat lebih terarah.
(agus ponda/jps/kjkt/gns/nt)

Waspadai Gejala Burnout pada Guru!

Istilah burnout pertama kali diperke- nalkan oleh Herbert Freudenberger pada 19.73. Ia merupakan seorang ahli psikologi klinis pada lembaga pelayanan sosial di New York yang menangani remaja bermasalah. Freudenberger memberikan ilustrasi, sindrom burnout seperti gedung terbakar habis {burned-out). Suatu gedung yang mulanya berdiri megah dengan berbagai aktivitas di dalamnya, setelah terbakar, yang tampak hanya kerangka luarnya.
.................................
Ilustrasi ini memberikan gambaran bahwa orang yang terkena burnout, dari luar segalanya tampak utuh, tapi di dalamnya kosong, penuh masalah. Burnout terjadi pada sebagian besar orang yang banyak memberikan layanan kemanusiaan, termasuk guru yang memberikan layanan pendidikan pada siswa di sekolah. Apabila terkena burnout, ia akan memiliki efek psikologis yang buruk terhadap rendahnya aspek moral, seperti membolos, telat kerja, mudah tersinggung, dan keinginan untuk pindah.
Konsep diri dan sikap negatif muncul sehingga perhatian dan perasaan terhadap orang lain jadi tumpul. Dengan demikian, burnout menjadi sebuah risiko dari pekerjaan yang dapat terjadi pada semua profesi, termasuk guru. Bahkan, menurut Kleiber Ensman, bibliografi terbaru yang memuat 2496 publikasi tentang burnout di Eropa menunjukkan 43 persen burnout dialami pekerja kesehatan dan sosial, 32 persen dialami guru (pendidik), 9 persen dialami pekerja administrasi dan manajemen, 4 persen pekerja di bidang hukum dan kepolisian, dan 2 persen dialami pekerja lainnya.
Mengapa guru dapat terkena burnout? Menurut Supriadi (2004), mengutip penelitian Fullan dan Stiegerbauer, dalam satu tahun guru berurusan dengan 200.000-an jenis urusan dengan karakteristik berbeda. Ini merupakan sumberstres dan penyebab burnout.
Selain itu, Farber (1991) mengemukakan, keacuhan siswa, ketidakpekaan penilik sekolah/pengawas, orang tua siswa yang tidak peduli, kurangnya apresiasi masyarakat terhadap pekerjaan guru, bangunan fisik sekolah yang tidak baik, hilangnya otonomi, dan gaji yang tidak memadai merupakan beberapa faktor yang turut berperan menimbulkan burnout pada guru. Karena itu. mengajar dapat dikategorikan sebagai pekerjaan dengan tingkat stres tinggi.
Sistem pendidikan memiliki semua elemen yang diasosiasikan dengan stres struktur yang birokratis, evaluasi yang terus-menerus terhadap proses dan hasil akhir, dan interaksi intensif yang terus meningkat dengan para murid, orang tua murid, rekan kerja, kepala sekolah, dan komunitas.
Selain itu, meningkatnya kenakalan murid, sikap apatis murid, kelas yang terlalu penuh, gaji yang tidak mencukupi, orang tua yang tidak suportif atau selalu menuntut, keterbatasan anggaran, beban ad-ministrasi yang terus meningkat, kurangnya dukungan infrastruktur, dan opini publik yang selalu negatif juga berkontribusi pada meningkatnya tingkat stres. Ini mengakibatkan guru mengalami burnout.

Menular
Yang paling mengkhawatirkan, ternyata burnout memiliki kecenderungan menular. Bila di sebuah sekolah ada guru yang merasa tertekan dan mengalami burnout, guru-guru lain dapat dengan mudah menjadi tidak puas, sinis, serta malas-malasan. Tidak lama kemudian, seluruh organisasi menjadi tempat yang tidak menarik dan tidak bersemangat. Karena itu, pencegahan terjadinya burnout pada guru perlu diupayakan dengan baik.
Untuk membantu mencegahnya, Sutjipto dalam penelitiannya merekomendasikan agar para pembina lapangan mampu menciptakan birokrasi yang peduli pada kesulitan guru; melakukan pembinaan yang profesional; melakukan hubungan profesional yang tidak kaku, akrab, dan tidak bersikap otoriter; melakukan dukungan sosial yang cukup bermaknakepada guru; dan melakukan kebijakan pembinaan yang dapat meningkatkan kepuasan kerja guru. Yang lebih penting adalah usaha guru itu sendiri. Guru seyogianya mewaspadai munculnya burnout. Selain merugikan diri sendiri, burnout juga berdampak pada pendidikan dan citra guru yang sampai hari mi perlu diperjuangkan.
Alternatif yang dapat dilakukan, antara lain, menjaga kesehatan fisik dengan olahraga rutin, makan makanan yang halal dan baik; refreshing, rekreasi, hiburan untuk menghilangkan kepenatan; meningkatkan hubungan yang harmonis dengan orang lain; meningkatkan wawasan dengan membaca, menulis, dan ikut kegiatan yang bermanfaat. Dan, jangan lupa tetap berdoa, bertakwa, dan bertawakal kepada Allah SWT. 
(sumber: lpmpdki)


Duh, Hasil Uji Kompetensi Guru Rendah
Tetap Bisa Ikut Sertifikasi (?) 


Jawaban soal yang diberikan para guru dalam Uji  Kompetensi Awal (UKA) tanggal 26 Februari lalu, kini sedang dalam tahap pemindaian. Belum tuntas, namun hasilnya sudah mulai tergambar. 
................................................

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Mohammad Nuh mengaku kecewa dengan hasil uji kompetensi awal guru yang digelar bulan lalu. Meski  baru hasil sementara, rata-rata hasil uji kompetensi awal (UKA) guru tidak memuaskan. 
M.Nuh menjelaskan, dari hasil pemindaian yang baru berjalan 82 persen , menunjukkan bahwa nilai rata-rata guru SD hanya mencapai angka 35 dari 100 soal yang dikerjakan.Sementara untuk guru bidang studi  IPA dan IPS hanya mampu mencapai rata-rata nilai 46. 
"Per hari ini, pemindaian nilai UKA baru mencapai 82 persen. Dari data yang ada sementara, saya semakin yakin  tentang pentingnya UKA ini. Kenapa? Ketahuan semua kualitas dan kompetensi kawan-kawan kita. Ada yang dapat nilai 100, ada yang dapat 10, ada yang dapat 30, ada yang dapat 15. Bahkan, guru SD rata-rata nilainya hanya 35, dan guru IPA/IPS rata-rata nilainya hanya 46," ungkap Nuh di ruang kerjanya, Kamis kamis lalu.
Dari hasil nilai UKA sementara itu, lanjut Nuh, juga dapat diketahui daerah-daerah yang memiliki guru berkualitas dan tidak. Ia menyebutkan, daerah-daerah yang memiliki nilai rata-rata UKA tertinggi sementara, antara lain Sukabumi, Magelang, Pasuruan,  Rembang, Surakarta, Denpasar, dan  Banyumas. Sedangkan daerah yang nilai rata-rata sementara terendah antara lain, Sumba Tengah, Papua, Morotai, Barito, Mentawai, dan  Maluku.
"DKI Jakarta yang ibukota saja tidak masuk di jajaran nilai rata-rata tertinggi. Ini baru nilai sementara. Pokoknya, nanti tanggal 18 Maret, saya akan beberkan semuanya. Biar semua tahu bagaimana nilai para guru kita ini. Saya rasa dua hari ke depan  pemindaian hasil UKA sudah bisa capai 100 persen," jelasnya.

Guru Senior Tak Terbukti Buruk
Sementara dari ukuran usia guru, mantan Menkominfo ini memaparkan bahwa guru usia tua tidak terbukti bernilai buruk. Pasalnya, berdasarkan data sementara ini ditunjukkan bahwa 82 persen dari jumlah  guru usia antara 25 - 55 tahun dinyatakan lulus UKA.
"Justru guru yang yang usia di bawah 25 tahun yang sementara berjumlah 172 orang, 41 orangnya tidak lulus UKA. Dari data ini menunjukkan bahwa pihak yang menilai guru tua tidak mampu mengerjakan soal ujian itu salah. Mereka buktinya sebagian besar lulus UKA meskipun ini baru hasil sementara," tukasnya.
Bahkan, jika dipetakan berdasarkan jurusan sarjana masing-masing guru yang mengikuti UKA, ternyata guru-guru itu rata-rata tidak sebidang dengan mata pelajaran yang mereka ajarkan di sekolah. "Misalnya, sarjana pertanian mengajar matematika. Sarjana ekonomi mengajar Bahasa Indonesia. Ketahuan semua kan?" serunya.

Dua Kemungkinan
Sementara itu Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Penjaminan Mutu Pendidikan (BPSDMP dan PMP) Kemendikbud Syawal Gultom mengatakan, kini jawaban soal memang sedang dipindai. Diperkirakan pertengahan Maret sudah akan selesai.
Syawal berpendapat, uji kompetensi ini berfungsi ganda, yakni sebagai seleksi dan pemetaan. 
"Dilihat dari fungsi seleksi tentu ada batas nilai. Dilihat dari pemetaan kita akan lihat dari mata pelajaran mana saja yang kesulitan karena akan digunakan untuk dua fungsi, yaitu untuk pendidikan dan umpan balik bagi lembaga pendidikan yang akan melatih mereka dan umpan balik bagi LPTK yang akan melatih guru itu," jelasnya.
Menyinggung hasil buruk uji kompetensi awal guru, pengamat pendidikan Sugito, meminta banyak pihak untuk tidak serta merta menyimpulkan kualitas guru rendah.
Seperti dilansir Kantor Berita Radio Nasional, menurut Sugito kendati belum dapat melihat hasil dari uji kompetensi itu secara menyeluruh, namun ada 2 faktor penyebab kurang maksimalnya guru dalam mengikuti uji kompetensi.
“Kalau hasilnya seperti itu, ada dua kemungkinan yakni soalnya terlalu tinggi dan sulit atau kedua memang kompetensi guru rendah,” katanya lagi.
Mengenai soal pada UKA guru, Nuh mengatakan bahwa soal UK sudah sesuai standar. Ia sendiri belum paham benar apa yang terjadi pada peserta UKA.
“Saya belum tahu mengapa nilai mereka rendah sekali, apa memang belum siap? Tapi semua soal sudah disesuaikan dengan apa yang selama ini mereka  ajarkan ke murid," kata Nuh.
Tentang buruknya hasil UKA, nampkanya para guru juga tak mau disalahkan. Dari para guru peserta UKA, didapatkan pengakuan bahwa mereka tidak mengetahui kriteria kelulusan. Tidak ada sosialisasi kepada peserta nilai minimal yang harus dicapai.
“Kalau ada standar nilai yang harus kami penuhi, mungkin kami akan lebih baik mempersiapakan diri menghadapi UKA, tapi ini katanya, asal masuk kuota saja berdasarkan rangking?”kata seorang guru yang tak mau disebutkan namanya.

Bisa Sertifikasi (?)
Hasil sementara UKA yang tidak memuaskan tersebut dimungkinkan akan merubah kebijakan Kemdikbud tentang kuota 250.000 guru dalam sertifikasi 2012.  Bila sebelum UKA, Nuh mengisyarakatkan apapun hasil UKA, kuota tetap 250.000 harus terisi, kini ia berpikir ulang. 
“Dengan adanya hasil sementara ini tidak menutup kemungkinan bahwa kuota sertifikasi guru tahun 2012 sebanyak 250 ribu  ini tidak  akan terpenuhi.
 "Ya tidak apa-apa jika tidak terpenuhi. Tidak boleh dipaksanakan. Kalau memang ada sisa kuota, biarin saja. Masa harus dipaksakan penuh? Padahal kualitas gurunya tidak sesuai," jelasnya.  
Namun ucapan Mendikbud itu, berbeda dengan pendapat Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidik dan Peningkatan Muti  Pendidikan (BPSDMP-PMP) Syawal Gultom bahwa uji kompetensi guru tersebut tidak ada istilah lulus atau tidak lulus. Sehingga dengan demikian, 250 ribu  kouta sertifikasi guru tetap diberikan kepada guru kendati hasilnya tidak maksimal.
“Artinya kuota 250 ribu sertifikasi guru tetap  terpenuhi, karena menurut  Gultom, uji kompetensi adalah untuk perengkingan saja, tidak ada istilah lulus dan tidak lulus. Jadi Pak Gultom mengatakan  itu hanya perengkingan saja,” tambah kata Sugito dalam perbincangan bersama Pro 3 RRI, Sabtu (10/3).

Penjelasan senada dilontarkan, Kepala Pusat Pengembangan Profesi Pendidik, Badan Pengembangan SDM Pendidikan dan Penjaminan Mutu Pendidikan Kemendikbud, Unifah Rosyidi. Meskipun guru harus menjalani uji kompetensi awal (UKA) untuk bisa masuk kuota sertifikasi guru tahun 2012 yang digelar secara nasional dengan soal-soal teori pedagogi dan profesional dari pemerintah pusat, tiap provinsi tetap memiliki kuota, namun, kuota guru yang disertifikasi ditetapkan berdasarkan nilai UKA. "Perankingan tidak dilakukan secara nasional, tetapi di tiap provinsi. Ini tetap adil untuk guru-guru dari tiap provinsi yang kemajuan pendidikannya berbeda-beda," kata Unifah.
Kuota sertifikasi guru tahun ini ditetapkan 250.000 guru. Sedangkan guru yang ikut UKA pada bulan lalu, baik guru kelas (SD) maupun guru mata pelajaran secara nasional berjumlah sekitar 286.000 guru. "Tiap provinsi tetap ada kuotanya. Tetapi penetapannya berdasarkan perankingan hasil UKA guru di provinsi tersebut," jelas Unifah. 
Duh, jadi mana yang benar, ya?

(agus ponda/jps/okzn/kbrn/ganesha)


Mei, Proses Akreditasi Sekolah Dimulai
Sibuk Mendadak, Setelah Itu Melempem Lagi

Akreditasi seringkali menjadi hal yang merepotkan bagi warga sekolah. Proses yang berulang setiap 5 tahun sekali ini, seringkali menjadi kekhawatiran dan perjuangan panjang bagi sekolah. Hal ini terkait dengan banyaknya perangkat administrasi dan bukti fisik yang harus disiapkan. Padahal semuanya untuk kepentingan sekolah juga dan manfaatnya luar biasa.
………………………………
Koordinator Unit Pelaksana Akreditasi (UPA) Kabupaten Ciamis, Dr. Nono Mulyono mengatakan, saat ini di Kabupaten Ciamis seluruh Sekolah Dasar sudah terakreditasi, sedangkan Taman Kanak-kanak masih ada yang belum terakreditasi karena baru berdiri. 
“Saat ini banyak yang tinggal mengulang akreditasi,” jelas Nono di ruang kerjanya. 
Bila sebelumnya Proses yang berulang setiap 4 tahun sekali, sekarang sekolah yang sudah terakreditasi harus mengulang proses tersebut setiap 5 tahun sekali.
Lanjut Nono, jumlah sekolah yang berminat mengikuti akreditasi ulangan cukup banyak. Sedangkan kuota yang tersedia terbatas. Sehingga UPA terpaksa melakukan seleksi dengan cara merangking sekolah yang berminat akreditasi. 
“Kemudian dipotong sesuai jumlah kuota,” kata Nono yang juga menjabat sebagai Pengawas di UPTD Pendidikan Kecamatan Baregbeg.

Manfaat Akreditasi
Walaupun persiapan akreditasi cukup panjang dan menyita sesungguhan, banyaknya sekolah yang mengajukan permohonan akreditasi karena manfaatnya sangat terasa oleh pengelola sekolah. Sekolah yang belum terakreditasi tidak boleh menyelenggarakan Ujian Nasional sendiri. Dia harus ikut ke sekolah yang sudah terakreditasi. Itupun sekolah yang sudah terakrediasi tersebut harus mempunyai nilai akreditasi A atau B. Bila nilai akreditasinya C, sekolah tersebut tidak bisa ditumpangi. Hanya boleh menyelenggarakan UN sendiri saja. 
Selain itu, menurutnya, bagi sekolah yang belum terakreditasi tidak bisa menyelenggarakan ujian akhir sekolah dan menerbitkan ijasah. “Ijasahnya harus ditandatangani sekolah induk”, kata Nono. 
Persyaratan sekolah yang akan diakreditasi, jelas Nono, diantaranya harus sudah memiliki lulusan dan kelasnya lengkap tidak boleh ada yang bolong.
Nono mengungkapkan, setiap tahun diadakan proses penilaian akreditasi. Pelaksanaannya diawali sekitar bulan April berupa konsolidasi data. Berikutnya pada bulan Mei hingga Agustus dilakukan penilaian akreditasi. Bulan Agustus hingga Oktober data hasil akreditasi diolah dan dikelola di tingkat propinsi. Pada bulan Nopember diserahkan ke pusat dan bulan Desember dikeluarkan sertifikat akreditasi. 
Status sekolah menurutnya, terbagi atas 2 status, yaitu terakreditasi dan tidak terakreditasi. Yang terakreditasi terbagi atas grade A, B, dan C.

Delapan Standar
Dalam penilaian akreditasi, ada sekitar 8 standar pendidikan yang dijadikan pokok penilaian. Kedelapan standar itu adalah standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pengelolaan keuangan, standar penilaian, standar sarana, standar prasarana, dan standar ketenagaan. “Dalam proses tersebut dinilai pula kesesuaian kompetensi guru dengan pelajaran yang diampunya,” jelas Nono. Bila tidak sesuai maka nilainya dikurangi. 
Selama mengikuti akreditasi sekolah diwajibkan menjawab sejumlah pertanyaan. Untuk tingkat TK/RA diajukan 105 pertanyan, tingkat SD/MI 157 pertanyaan, SMP/MTs 169 pertanyaan. Tingkat SMA dan SMK pertanyaannya tidak sama. Untuk tingkat SMK yang diakreditasi adalah program studi atau jurusan. Jadi bila memiliki 4 jurusan maka masing-masing mendapat satu sertifikat akreditasi. 
Berdasarkan nilai dari jawaban pihak sekolah terhadap pertanyaan yang diajukan maka diperoleh status akreditasinya. Bila nilainya kurang dari 56 maka tidak lulus akreditasi. Nilai 56 hingga 75 status akreditasinya C, nilai 76 hingga 85 status akreditasinya B dan status akreditasi A bila nilainya 86 hingga 100.

Semua Harus Standar Nasional 
Tujuan utama akreditasi, kata Nono yang baru 2 tahun menjadi pengurus UPA, adalah untuk penjaminan mutu. Agar penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan standar yang berlaku,  yaitu 8 standar pendidikan.
Ia mengatakan, hingga kini jumlah asesor UPA Kabupaten Ciamis sebanyak 5 orang yang terdiri dari satu koordinator, sekretaris, bendahara dan 2 anggota. Diajukan oleh Disdik Kabupaten Ciamis ke propinsi. Di tingkat propinsi terdapat Badan Akreditasi Propinsi yang khusus melakukan penilaian terhadap SMA dan SMK serta MA. 
Nono mengungkapkan, kewenangan UPA hanyalah sebatas melakukan penilaian saja. Lembaga tersebut tidak bisa mempercepat atau menunda waktu penilaian. Serta tidak bisa melakukan tindakan terhadap sekolah yang tidak memenuhi standar akreditasi. 
Selama bertugas menjadi asesor, dia menilai hampir semua akreditasi dianggap sebagai kegiatan dadakan. Dipersiapkan hanya akan akreditasi saja setelah itu tidur lagi. Setelah akreditasi diam saja. 
“Harapan pemerintah bukan seperti itu, hasil akreditasi dijadikan sebagai titik awal untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan yang ada sehingga akreditasi yang akan datang lebih baik lagi,” ucap doktor lulusan UPI Bandung  itu.
Ia mengingatkan, pemerintah berharap tahun 2024 seluruh sekolah sudah terakreditasi dengan nilai akreditasi A. “Artinya,  semua sekolah di tahun tersebut harus sudah berstandar nasional,” pungkasnya. 
(Arief/Ganesha)
Menulis Karya Ilmiah, Siapa Takut?
“Untuk kenaikan jabatan/pangkat setingkat lebih tinggi dari Guru Pertama, pangkat Penatan Muda, Golongan Ruang III/a sampai dengan Guru Utama, pangkat Pembina Utama, Golongan Ruang IV/e wajib melakukan kegiatan pengembangan keprofesian berkelanjutan yang meliputi sub unsur pengembangan diri....”
...................................................................
Demikian bunyi petikan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi nomor 16 Tahun 2009, tentang Jabatan Fungsional dan Angka Kreditnya. 









Adanya Peraturan Menteri ini disikapi berbeda beragam oleh guru. Adanya yang bersikap proaktif dalam artian mempersiapkan sejak isu tersebut ada dan ada yang pasif dalam artian masih menunggu sosialisasi formal dari Dinas Pendidikan setempat. 
Reaksi yang paling serius adalah ada-nya kekhawatiran yang berlebih yang di-alami oleh guru. Kecemasan tersebut ber-kaitan adanya hambatan kenaikan jabatan atau golongan ruang. Jika tidak membuat karya ilmiah maka akan menjadi guru Penata Muda seumur hidup. Kecemasan ini beralasan mengingat rendahnya keinginan guru untuk membuat karya ilmiah, bahkan mungkin belum merasa mampu membuat karya tulis. Benarkah?
Kepala SMAN 8 Pekanbaru H. Nurfaisaid, mengatakan sebenarnya guru mampu membuat karya tulis ilmiah. Masalahnya mereka masih membutuhkan pemahaman teknik dan cara penulisan karya ilmiah yang layak dan benar.
“Itu masalahnya,” ujar Nurfaisaid. Akibatnya kata Nurfaisaid, kalaupun ada ide dan keinginan untuk menulis karya ilmiah yang berkaitan dengan tugasnya, para guru lebih sering menunda-nunda waktu untuk melakukan penulisan karya ilmiah, daripada memulainya. 

Dimulai dengan PTK atau  Menulis di Media Massa
Salah satu karya ilmiah yang sangat memungkinkan untuk dibuat  para guru adalah  menulis hasil Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Sebelum melangkah jauh, pihak sekolah secara internal saja sudah bisa memfasilitasi guru untuk mampu menulis PTK. Misalnya menggelar Pelatihan Penelitian Tindakan Kelas. 
Lanjut Nurfaisaid, PTK merupakan penelitian tindakan yang dilakukan pada proses pembelajaran di kelas. PTK ini bagi semua guru sudah biasa, karena hampir setiap hari melakukannya di kelas.
Salah sseorang guru, H. Yusri  mengatakan, sebenarnya untuk melakukan karya tulis ilmiah berupa penelitian tindakan kelas tidaklah susah. Hanya saja, persoalannya, selama ini hasil karya ilmiah yang dilakukan untuk kenaikan pangkat yang diajukan, setelah dilakukan penilaian banyak karya ilmiah guru yang dikembalikan. Sehingga ini berdampak pada frustasi guru untuk mengajukan karya ilmiah yang kedua kalinya.
Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi nomor 16 Tahun 2009, tentang Jabatan Fungsional dan Angka Kreditnya juga mengatur ketentuan kenaikan pangkat guru dengan golongan kepangkatan III-a yang ingin naik menjadi III-b, wajib membuat tiga buah makalah yang berkaitan dengan bidang ajarnya.
Kemudian ketentuan kenaikan dari III-b ke III-c, wajib menulis artikel dan dimuat di koran atau majalah yang resmi baik level nasional maupun lokal yang telah ber- ISSN. Ketentuan seperti ini juga berlaku untuk usulan kenaikan golongan kepangkatan dari III-c ke III-d. Khusus untuk kenaikan dari III-d ke IV-a, guru wajib membuat penelitian dan hasilnya penelitian itu diterbitkan di jurnal yang memiliki ISSN (International Standard Serial Number) yang dikeluarkan LIPI.

Solusi Cerdas
Salah seorang Pengurus Ikatan Guru Indonesia (IGI) Kalimantan Selatan, Muhammad Ahsanul Huda, menuturkan, ada banyak langkah yang bisa dilakukan para pendidik menghadapi Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi nomor 16 Tahun 2009.
“Guru adalah pendidik yang cerdas. Ada-nya kebijakan pemerintah tersebut harusnya disikapi dengan cara elegan,” ujar Ahsanul.
Lanjut Ahsanul, ada beberapa solusi yang harus dilakukan oleh guru yang cerdas. Pertama, secara proaktif meminta klarifikasi/sosialisasi oleh pihak yang berwenang untuk menjelaskan perkara tersebut. Dinas Pendidikan Kota/Kabupaten misalnya. Guru tidak boleh terprovokasi oleh pihak-pihak tertentu sehingga memunculkan kecemasan yang berlebih.
Kedua, jika kebijakan tersebut setelah diklarifikasi/sosialisasi oleh pihak yang berwenang, maka harus ada prasangka baik kepada pemerintah. Pemerintah pasti telah menyiapkan sejumlah kebijakan untuk mencerdaskan guru untuk membuat karya ilmiah. “Jadi Pemerintah tidak akan menuntut sesuatu yang berlebih kepada guru sebelum memberikan bekal kepada guru.” ujarnya.
Ketiga, mengaktifkan kembali Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) atau yang semisal untuk mengadakan workshop yang berkaitan dengan pembuatan karya ilmiah. Cara ini sangat efektik dan ekonomis. Dikatakan efektif karena workshop yang dilaksanakan oleh MGMP yang bersangkutan sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkan oleh guru. Ekonomis karena pengurus cukup mendatangkan narasumber yang benar-benar mengerti tentang karya ilmiah (PTK, misalnya). “Narasumber ini bisa dari kalangan guru sendiri yang telah melaksanakan karya ilmiah.” sarannya.
Keempat, mendorong sekolah tempat guru bertugas untuk melaksanakan workshop atau In House Training (IHT). Dana kegiatan tersebut dapat bersumber dari dana Block Grant atau bersumber dari Komite Sekolah.
Kelima, tambah Ahsanul, dengan mendorong organisasi-organisai guru seperti PGRI, KGI/IGI (Klub Guru Indonesia/Ikatan Guru Idonesia) untuk melaksanakan kegiatan yang bersifat praktis. Sehingga ketika kegiatan tersebut dilaksanakan oleh mereka (PGRI, KGI/IGI) tidak berorentasi pada keuntungan. “Jadi mengikuti workshop atau In House Training (IHT) berkualitas dan murah.” cetusnya.
Keenam, kata Ahsanul, membuat karya ilmiah itu sebenarnya mudah. Guru telah membuatnya dengan tidak langsung. Ketika guru melaksanakan pembelajaran kemudian mendapatkan masalah dan guru melakukan beberapa rekayasa, akhirnya mampu menyelesaikan masalah pembelajaran yang ia alami. 
“Ini adalah bagian dari PTK. Pengala-man dalam proses pembelajaran yang dimanajemen dengan pola tertentu adalah PTK. Jadi PTK itu mudah,” ucap Ahsanul.
Ketujuh, menggandeng mahasiswa perguruan tinggi untuk melaksanakan karya ilmiah. Jika karya ilmiah ini berbetuk Penelitian Tindakan Kelas (PTK), maka PTK ini dapat dilaksanakan dengan prinsip kolaborasi. 
“Ini adalah bentuk kerja sama simbiosis mutualisme yang cerdas. Hasil PTK ini adalah kolaborasi antara pengalaman guru dan kedalaman teori oleh mahasiswa. Sehingga PTK tersebut sangat solutif. Ini adalah pengalaman saya sendiri.” katanya. 
Kedelapan, adalah dengan memanfaatkan era teknologi dan informasi. Untuk guru pemula model ini sangat efektif. Guru hanya “berselancar” di dunia maya (internet) dengan mengetik “PTK” atau “karya ilmiah guru” maka akan didapat ratusan contoh tentang PTK. 
“Tinggal mengedit yang perlu diedit maka jadilah PTK dengan sejumlah data yang telah disesuaikan dengan data faktual siswa yang ada di sekolahan guru yang bersangkutan.” saran Ahsanul.
Kesembilan, otodidak plus. Menurutnya, melaksanakan karya ilmiah semisal PTK perlu ilmu. Ilmu ini berkaitan dengan teori dan praktek. Mendapatkan ilmu PTK secara teori dapat dipelajari sendiri (otodidak) jika ada diantara teori PTK yang tidak dapat dimengerti maka solusinya adalah teman sejawat. 
Untuk praktik, prinsip PTK kalaborasi teman sejawat adalah solusi praktisnya. Strategi ini sangat cocok untuk guru pemula.
Kesepuluh, reunifikasi dengan dosen. Dosen adalah gurunya guru. Ketika guru bermasalah dengan proses pembelajaran atau yang lainnya, dosenlah solusinya. 
“Dunia Dosen lebih terbiasa dengan pembuatan karya ilmiah. Sehingga pembua-tan PTK atau karya ilmiah dengan dibantu oleh Dosen kita lebih terarah dan dapat dipertanggungjawabkan.” tutup Ahsanul.
Singkatnya, para guru tak perlu risau menghadapi ketentuan soal kenaikan pangkat mereka. Menulis karya ilmiah bisa dilakukan dengan cerdas, efektif dan ekonomis, baik berupa PTK, artikel di media massa maupun publikasi karya ilmiah di jurnal.
Jadi ketika pemerintah mewajibkan guru untuk membuat karya ilmiah, siapa takut? Yang perlu ditakutkan adalah ketika guru terbelenggu kemalasan dan keraguan untuk menulis. Selamat mencoba menaikan  reputasi dan tentunya, pangkat Anda. 
(agus ponda/nt/ganesha)