Minggu, 08 Juli 2012

Ranking di Kelas, Masih Pentingkah?


Dulu nilai raport sangat dinanti banyak siswa. Setiap akhir tahun ajaran, mereka berdebar menunggu pembagian rapor. Di situ akan terpampang, berapa rangking yang diraih seorang siswa. Rangking 1, 2, 9, atau bahkan rangking terbuncit.
...................... 
Bila rangking terbaik diraih, betapa senang seorang siswa. Juga tak kalah senang dan bangga tentu dirasakan setiap orangtua yang anaknya berhasil menduduki rangking I di kelas atau bahkan di sekolahnya.
Itulah bukti hebatnya sang anak menorehkan prestasi belajar. Dan tentunya,’hebatnya’ orangtua membimbing anak pada jalur berprestasi.
Rangking di masa dulu sangat bermakna prestisius. Sebab, contohnya, ketika ada pertemuan keluarga mereka bertanya, “Bagaimana, anaknya Bude, ranking berapa sekarang?”
Kalau anak atau orangtua menjawab: ranking 1! Pasti senyum bangga dan memuji terkembang. Bentuk apresiasi verbal biasanya spontan keluar dengan sendirinya. Kalimat-kalimat seperti “Selamat ya Nak… kamu membuat Ibu bangga….” atau  “Kakak hebattt… kamu mampu memberi contoh adik-adik…” layak diucapkan dan penting. Lalu, kalau menjawab rangking 20, ya, payah deh.
Bagaimana pun dulu satu hal positif yang dapat kita ambil, ternyata ranking yang dulu kita lihat ditulis di depan papan tulis saat pengambilan raport atau diumumkan di pengeras suara saat kenaikan kelas, cukup penting.  Banyak siswa yang  merasa sangat tertantang mengejar nilai bagus, karena melihat namanya belum masuk 5 besar, atau baru bisa di rangking 2-3.
Bagaimana Sekarang?
Ada sebagian siswa bahkan orangtua beranggapan atau berkecenderungan rangking nilai di raport tidak menjadi sangat penting. Siswa cuek, berapapun nilai diraih di rapornya, yang penting naik kelas. Bahkan juga guru pun berpikir demikian (?) Benarkah?
Faktanya, mulai dari SD-SLTA, belakangan dalam rapor rangking tidak lagi dicantumkan.Siswa memang memproleh nilai bukti hasil belajar, tapi mereka tak tahu berada di posisi mana dirinya di sebuah kelas atau sebuah sekolah dalam hal nilai hasil belajar.
Ada beberapa sebab mengapa guru wali kelas kini banyak yang tak lagi mencantunkan rangking di rapor siswa. Ada kemungkinan guru tak sempat merekap nilai siswa sampai pada tahap perangkingan. Maka ketika rapor harus dibagikan, cukup hanya menuliskan deretan angka nilai bidang studi, tak ada rangking.
Di sebagian sekolah rangking atau peringkat nilai tetap menjadi catatan para wali kelas. Ini karena kebanyakan orangtua selalu ingin tahu rangking anaknya. Memang tidak tercantum di rapor, sehingga untuk mengetahui rangking harus menanyakan kepada guru. Ada juga walikelas yang memberikan tulisan rangking di sebalik salinan rapor, agar orangtua tidak perlu repot bertanya.
Namun sebaliknya, ada yang menilai bahwa tidak dicantumkannya rangking dalam raport sebagai sebuah kemajuan. Reasoningnya adalah untuk melahirkan kesadaran bahwa setiap anak itu istimewa. Anak yang pandai berhitung, belum tentu unggul di olahraga. Anak yang mahir di IPA, belum tentu merdu ketika diminta menyanyi di pelajaran seni suara. Walau demikian ada segelintir anak yang dianugerahi dengan multitalenta, maka pantas meraih rangking terbaik di sekolahnya.
Namun kenyataannya, anak-anak yang istimewa secara akademis, sering tidak akan berubah jauh rangkingnya. Artinya rangking 1-5 misalnya takan jauh dari si A, B, C, D, dan E. Siswa yang biasa-biasa, nampak sulit  meraih rangking terbaik. 
Menyadari potensi akkademis anaknya yang tak terlalu istimewa banyak juga orangtua yang tidak ngotot memaksa anaknya agar meraih rangking yang baik. Artinya berapapun rangking diraih, tak jadi masalah.
“Bagi saya sendiri rangking tidak begitu penting. Mengetahui anak sudah paham dengan pelajaran yang diberikan guru, itu sudah cukup. Melihat anak senang pergi ke sekolah, sudah membuat saya lega. Menyaksikan anak gemar membaca untuk membuka jendela dunia, adalah kenikmatan tersendiri. Membuat si kecil merasa aman dan bahagia serta  menikmati dunia dan kodratnya sebagai anak-anak, adalah sudah cukup,” ujar seorang ibu.
Pada akhirnya, rangking menjadi prioritas kesekian-sekian dan bukan yang pertama. Tidak ada target tertentu bahwa anak harus meraih rangking berapa. 

Rangking Tak Selalu Tentukan Masa Depan
Bagi orangtua  atau juga guru yang tidak lagi terlalu mengagungkang rangking di rapor siswa, mereka berpikir bahwa  rangking hanya segelintir urusan yang menyangkut kecerdasan akademik. Di luar itu, ada tugas lain bagi para orangtua dan guru untuk juga memacu urusan lain yang juga diperlukan di masa depan. Kecerdasan emosi, kecerdasan spiritual,  life skills, dan kemampuan bersosialisasi, juga harus diasah sejak kecil,  bila ingin anak kita sukses di kemudian hari.
Sering ada refleksi yang agak lucu ketika reuni sebuah sekolah. Ketika kita  bertemu rekan-rekan SMP atau SMA  belasan atau puluhan tahun lalu. Mereka pasti akan saling bertanya, jadi apa teman-temannya sekarang? 
Anita yang ranking 1 jadi dosen. Rangking 2 jadi karyawan swasta yang biasa-biasa saja. Rangking 3 jadi PNS. Rangking 15 buka toko mainan dan punya usaha provider internet, sudah berhaji.
Anak-anak  pintar lainnya di level setelah ranking I-III: 
-Jadi guru (PNS)
-Jadi bidan (PNS)
-Jadi perwira polisi
-Jadi insinyur pertambangan
-Jadi pegawai Kantor Pajak
-Jadi pengusaha jual-beli emas, punya 3 toko besar di 2 kota.
Tapi  anak-anak yang rangkingnya tidak diketahui karena saking banyaknya, secara duniawi  juga tak kalah sukses:
-Jadi anggota dewan
-Jadi pengusaha jual beli kaca
-Jadi pengusaha toko material bangunan yang sukses,
-Jadi pengusaha besi
-Jadi istri pejabat
-Jadi istri calon bupati
-Menjadi pengusaha catering,
-Jadi ibu rumah tangga, dll.
Artinya, memang tetap ada efek positif pentingnya rangking di sekolah. Siswa yang secara akademis istimewa akan merasa dihargai dan diperhatikan sehingga terus akan menjaga prestasi akademiknya. Maka si rangking satu, Anita, yang pintar pantas meraih gelar Doktor dan kini jadi dosen. 
Tapi juga harus diperhatikan, bahwa sekolah tetap harus secara adil dan bijaksana melayani peserta didik bagaimana pun tingkat akademisnya. Siswa yang secara akdemis tak menonjol harus difasilitasi agar potensi sisi lainnya dapat berkembang dan jadi modal hidupnya di kemudian  hari.
Sekali lagi rangking itu penting. Namun melihat kenyataan di lapangan di kehidupan kita dan orang lain (teman kita),  pada akhirnya kita berkesimpulan, ternyata rangking tidak terlalu menentukan mau jadi apa kita di kemudian hari. Banyak faktor lain yang akan menunjang kesuksesan anak, yang sering dilupakan para orangtua hanya karena sibuk konsentrasi untuk membuat anak meraih rangking yang bagus. 
Tentu belajar harus dilakukan setiap anak sekolah. Namun terus menerus belajar hingga lupa bermain  dan bersosialisasi dengan lingkungannya, hanya akan menciptakan anak yang pandai secara akademis, namun kaku dalam bergaul dan rendah kepeduliannya terhadap lingkungan, serta lemah menghadapi suatu masalah dalam hidupnya.
Ada teman bertanya pada seorang rekan lainnya di Facebook, bagaimana cara mendidik, hingga anak saya bisa rangking I? Rekan kita dengan jujur mengatakan, “Cara mendidiknya biasa saja, belajar seperlunya untuk penguatan kalau ada ujian. Sehari-harinya menikmati waktu di sela sekolah dan istirahat untuk membaca buku cerita, bersepeda dan bermain dengan teman-teman di kampung.”
Menjadi anak yang happy, menikmati kodrat dan dunianya yang alami, adalah keharusan.
Rangking I  atau 2 adalah anugerah. Namun jangan sampai kita terpaku pada sistem ranking. Sistem pendidikan saat ini  yang terfokus pada membuat “ranking” bukanlah hal yang terlalu penting yang harus dicari seorang anak SD hingga SLTA bahkan Perguruan Tinggi. Sebab yang penting adalah bagaimana seorang anak ketika dewasa bisa hidup mandiri, dengan potensi yang ada  pada dirinya, bukan lagi potensi yang ada di nilai raportnya.
(agus ponda/edk/kmps/nt/ganesha)

Tidak ada komentar: