Kamis, 12 Juli 2012

Hmm... Para Politikus Mulai Membidik Guru dan Siswa

Menjelang pemilukada, pemilu provinsi, pilpres serta pemilu legislatif, atmosfer dunia pendidikan bakal  tak kalah seru. Jenjang pendidikan SMA, SMK, MA dan perguruan tinggi, menjadi target untuk mendulang suara dari pemilih pemula. Di sejumlah daerah, naluri politik para politikus negeri ini agaknya telah mulai mencium kalau dunia pendidikan bisa menjadi basis yang strategis untuk menaikkan pamor politik. Tak heran jika para caleg dan calon kepala daerah berupaya meraih simpati terutama dari kalangan guru.
……………………………….
Dalam tiga bulan terakhir  ini di Ciamis Jawa Barat misalnya, poster-poster gambar calon legislative dan calon pemimpin daerah bertebaran di sepanjang  jalan utama, bahkan masuk hingga ke jalan-jalan di desa. Mulai dari gambar politikus tenar  nasional, provinsi, local hingga politikus yang belum terlalu dikenal masyarakat.
Di daerah lain juga demikian. Bahkan di hampir semua wilayah negeri ini. Konon di tahun 2012 ini saja  setidaknya ada  73 daerah yang telah dan akan menggelar pemilukada, 11 daerah diantaranya daerah yang menurut jadwal menggelar pemilukada 2011. Namun ditunda pada tahun 2012 ini .
Daerah terdekat  dengan Tatar Galuh, Kota Tasikmalaya, konon hanya sekitar sebulan lagi akan menggelar pilkada. Direncanakan pada tanggal 9 Juli 2012 mereka akan memilih walikota dan wakil walikota. Kabupaten Ciamis sendiri baru akan melaksanakan pilkada pada tahun  2013. Jadwal lainnya pilkada Jawa Barat yang juga akan berlangsung pada tahun 2013. Saking mepetnya jadwal  pilkada provinsi dan sejumlah  kabupaten, bukan tidak mungkin  ada  pilkada gabungan seperti terjadi di tahun 2008 lalu. Saat itu KPU Jabar mengadakan pilkada gabungan ini karena selisih akhir masa jabatan antara Gubernur Jabar dengan Bupati Sumedang kurang dari 30 hari. Selisih itu dihitung dari masa akhir jabatan Gubernur Jabar, 13 Juni 2008 dengan masa akhir jabatan Bupati Sumedang, 5 Juli 2008. Waktu pencoblosan pilkada gabungan ini adalah 13 April 2008.

Pendidikan Politik  bagi Guru
Sejumlah acara pun digelar mulai dari berbalut seminar, pengenalan tokoh, silaturahmi, ceramah/kuliah umum, bakti social, bantuan pendidikan dan lainnya. Tujuannya tiada bukan; menarik simpati  dan suara untuk sebuah kemenangan.
Apa pun wujudnya, baik secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi, kampanye politik merupakan bentuk propaganda yang telah mengarah pada politik praktis. Meski sebenarnya sudah ada larangan berkampanye di lembaga pendidikan sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008, mereka tetap melakukannya meski dengan cara sembunyi-sembunyi atau terang-terangan.
Pertanyaannya menghadapi hiruk pikuk pilkada, pilgub dan pemilu nasional, perlukah guru berpolitik?
Mas’udi, S.Pd., seorang guru di SMP 2 Neuheun Masjid Raya, Banda Aceh mengatakan, sebenarnya siapapun orangnya, perlu mengetahui politik. Sebab, dalam kegiatan pemenuhan kebutuhan hidup, selalu ada keputusan yang harus dibuat  atau ambil dengan pihak lain, baik secara individual, lebih-lebih secara kelompok.
“Ini adalah politik. Politik dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang atau kelompok untuk mempengaruhi dan mengendalikan pihak lain melalui pendekatan-pendekatan yang ditempuh agar mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Itu menurut saya,” ujarnya.
Apa yang dikatakan Mas’udi masuk akal dan akan selalu actual. Faktanya guru, sebagai individu dan kelompok profesi, selama ini banyak yang kurang memahami akan arti dan manfaat politik. Padahal secara kuantitas, jumlah pegawai negeri yang paling banyak di Indonesia berasal dari unsur pendidik (guru). Tapi jumlah guru yang sebanyak itu tidak memiliki kekuatan yang diperhitungkan oleh pihak lain, kecuali menjadi kekuatan pendulang suara di pilkada,  pilgub atau pemilu nasional.
Seharusnya disamping punya kekuatan untuk menghasilkan suara, juga punya  kekuatan atau pengaruh besar dalam  mempengaruhi kebijakan pemerintah, legislative dan kehidupan berbangsa serta bernegara.
“Akibatnya, jangannya ikut memberikan kekuatan besar untuk masalah kebangsaan, masalah guru sendiri terkadang tidak bisa diperjuangkannya.” Ujar  Mas’udi.
Memang pada akhirnya tak mengherankan, lemahnya pengaruh guru secara politis, berakibat rentannya guru dalam berbagai masalah. seperti tindakan kekerasan dan pelecehan banyak menimpa kehidupan guru, pemotongan rapel guru oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab. Tertundanya pembayaran gaji guru terpencil atau kontrak, penghapusan insentif bagi guru-guru yang mendapatkan tugas tertentu di sekolah (wakil kepala sekolah, wali kelas, pengelola pustaka dan sebagainya). Dan yang lebih tragis lagi adalah pemukulan terhadap guru.
“Bahkan ada wali murid yang memperkarakan guru hanya karena masalah sepele saja seperti keterlanjuran memukul murid yang tidak membahayakan. Dalam hal ini perlu dipahami bukan berarti guru tidak pernah salah, sebab kredibilitas dan kompetensi guru juga berbeda-beda.” Kata Mas’udi.

Peran Organisasi Guru
Jika kita bertanya mengapa guru tidak memiliki sesuatu kekuatan dan pengaruh besar dalam perpolitikan di Indonesia? Kuncinya sejauh mana induk organisasi guru (seperti PGRI, misalnya) yang ada sekarang ini mampu menciptakan para anggota dan pengurusnya untuk melek politik.
Pertama, organisasi PGRI harus selalu aktif  dan bukan diurus oleh non guru, mulai dari tingkat nasional sampai ke daerah. Dengan diurus oleh guru, maka PGRI akan bisa mengaspirasikan kepentingan-kepentingan guru yang sering sering terabaikan dan tidak terwakili suaranya dalam pengambilan keputusan-keputusan penting dari birokrasi pemerintahan dan lembaga legislatif.
Sebenarnya, guru perlu terlibat dalam pencaturan politik, baik di tingkat lokal, maupun nasional secara organisatoris. Keterlibatan guru dalam politik, bukanlah dalam politik praktis untuk kepentingan sesaat, melainkan suatu pandangan yang lebih berwawasan dalam memperbaiki masalah bangsa sebab guru dipandang lebih bermoral dan berpotensi dalam merubah suatu paradigma yang tidak relevan dengan kepribadian bangsa. Oleh karena itu guru harus menjadi subjek politik.
Banyak hal yang bisa dilakukan guru untuk bisa secara aktif terjun ke politik. Guru bisa menempuh beberapa cara antara lain, pertama melalui reorganisasi kepengurusan PGRI mulai dari tingkat nasional sampai tingkat daerah. Lalu, menyusun program kerja yang lebih baik. Sebab kemandulan organisasi PGRI yang terjadi sekarang ini karena kepengurusannya bukan dari kalangan pendidik. Sehingga kepentingan guru sering terabaikan dan tidak terwakili suaranya dalam pengambilan keputusan-keputsan penting dari birokrasi pemerintahan dan lembaga legislatif.  Kedua, organisasi PGRI yang sudah diakui eksistensinya secara nasional dapat mengusulkan diri untuk duduk dalam komisi pendidikan dalam lembaga legislatif sehingga dalam menetapkan suatu keputusan benar-benar menyentuh kepentingan guru dan pendidikan. Seperti penetapan anggaran pendidikan dan penggunaannya.
Ketiga, dalam memilih dan menetapkan pejabat pada lembaga atau instansi pendidikan harus melibatkan organisasi guru untuk mencegah selera penguasa. Jadi pengangkatan pejabat pada lembaga pendidikan seperti kepala dinas sampai kepala sekolah itu betul-betul yang mempunyai potensi untuk memajukan pendidikan dan memperhatikan kesejahteraan guru. Untuk itu perlu melibatkan guru didalamnya secara perwakilan. Sebab Pemda juga mempunyai unsur politis didalamnya dalam menyetujui seorang calon pejabat yang diangkatnya.
Selain itu untuk menambahkan semangat berpolitik di kalangan guru diperlukan cendikiawan yang mampu memobilitasi, mensosialisasikan makna dan manfaat serta pentingnya politik bagi guru yang dimulai dari bawah (button-up) dengan memanfaatkan momentum guru nasional.
Untuk mencapai masa depan yang lebih bermartabat tidaklah mungkin dengan mengharap sepenuhnya pada pihak lain. Sebab tidak berubahnya nasib suatu kaum, jika kaum itu tidak berusaha merubahnya. Jadi masa depan guru ada di tangan guru. Seiring berjalannya waktu dan kehiduoan bernegara, nantinya bukan tidak mungkin guru dapat berpolitik, karena guru memiliki potensi yang sangat besar, baik dari jumlahnya maupun pengetahuannya.

Pilihan Hati Nurani
Menyikapi kian dekatnya pesta demokrasi rakyat, guru harus lebih hati- hati dan cerdas menentukan pilihan hatinya, baik dalam pemilu legislatif maupun pemilu memilih kepala daerah/kepala negara. Guru memilih karena punya hak suara sebagai warga negara.
Banyak pihak yang mewanti-wanti agar guru plus anak didiknya tidak terjebak dalam kepentingan politik sesaat di daerahnya. Kenyataannya memang ada yang begitu namun sebagian lagi tidak mau lagi terjebak dalam kegiatan politik praktis.
Harus diingat bahwa, seorang pemimpin bukan tak mungkin mempertahankan kekuasaan dengan menggiring semua komponen termasuk para guru yang ujungnya merugikan anak didik. Padahal dalam UU guru  tidak boleh berpolitik praktis dan tidak boleh meninggalkan tugas serta fungsi pokoknya.
Guru mestinya berani menolak, atau sebaliknya harus berani menerima risiko jika dilibatkan ‘secara paksa’ oleh penguasa dalam kegiatan politik praktis. Tapi hal itu jarang terjadi karena banyak juga yang nasibnya berubah setelah jadi tim sukses calon kepala daerah yang akhirnya menang dan jabatannya langsung naik.
Akan tetapi seiring dengan perjuangan yang telah dicapai guru sendiri melalui PGRI dan wakil rakyat, guru  bakal lebih pintar memposisikan dirinya dalam hiruk pikuk  politik  daerah dan nasional. Terwujudnya Undang-undang Guru dan Dosen dan adanya kebijakan sertifikasi guru serta perbaikan kesejahteraan guru akan membuat guru berpikir rasional dan bukan emosional semata dalam menentukan pilihan hatinya pada pilkada, pilgub, pilpres dan pemilu legislatif.
 Kesejahteraan guru sekarang sudah tambah baik dan kelihatannya guru sudah tidak begitu dipengaruhi oleh kekuatan partai atau perorangan. Walaupun masih ada, tapi tak akan sekuat sebelumnya. Guru bisa ambil posisi, ambil sikap dan ambil pilihan sendiri. Jadi ketika para politikus mulai membidik guru dan anak didiknya, tenang saja kali!
(agus ponda/msdi/nt/ganesha)

Tidak ada komentar: